Angka Partisipasi Perguruan Tinggi Perlu Dikaji Ulang
Perbedaan data angka partisipasi kasar perguruan tinggi bisa berdampak pada pengambilan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengkaji perhitungan angka partisipasi kasar atau APK perguruan tinggi yang selama ini masih berbeda antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan Badan Pusat Statistik. Namun, lebih dari itu, APK seharusnya dimaknai lebih dari sekadar angka, mahasiswa yang lulus diharapkan menjadi lulusan yang siap kerja, berkompeten, dan berdaya saing.
Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, APK PT tahun 2022 telah mencapai 39,37 persen atau sudah melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, yakni 37 persen. Sementara BPS mencatat, APK PT masih berada di angka 31,16 persen.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengatakan, jika berbeda, perhitungan APK yang tujuannya untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di perguruan tinggi (PT) akan sangat berpengaruh pada penyusunan kebijakan pendidikan tinggi oleh pemerintah. Metode perhitungan yang digunakan seharusnya jumlah mahasiswa pada PT dibagi jumlah penduduk usia 19-23 tahun dan dinyatakan dalam satuan persen.
”Ini yang saya sering katakan bertahun-tahun, selalu salah. Ini datanya dua-duanya dari pemerintah, jadi data mana yang benar, ini ada masalah di sistem pendidikan kita,” kata Budi dalam diskusi yang digelar Universitas Yarsi, Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Budi menghitung, jika jumlah mahasiswanya pada 2022 mencapai 9.743.658 orang, kemudian dibagi empat menjadi 2.435.914 dan dibagi 11,5 juta jumlah penduduk usia 19-23 tahun, maka APK PT hanya 23,86 persen. Angka ini masih jauh dari target RPJMN 2024.
Maka dari itu, Budi meminta Kemendikbudristek dan BPS untuk saling berkoordinasi agar statistik APK PT Indonesia bisa dihitung dengan tepat. Selain itu, Budi juga meminta alokasi dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah diubah menjadi 75 persen untuk perguruan tinggi swasta dan 25 persen ke perguruan tinggi negeri.
”Karena PTN sudah mau apalagi, modal pertama PTN saja sudah luar biasa. Modal pertama pendirian negeri saja digelontorkan luar biasa,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian dari Partai Golkar menambahkan, perbedaan perhitungan APK PT antara Kemendikbudristek dan BPS ini perlu diperiksa ulang. Sebab, perhitungan ini juga menjadi salah satu dasar DPR untuk mempertimbangkan anggaran pendidikan tinggi.
”Dulu awal-awal di DPR, APK PT masih jauh di bawah, konon sekarang sudah melebihi RPJMN. Kami senang saja mendapatkan laporan ini, tetapi apakah laporan ini ’ABS’ (asal bapak senang) atau tidak, ini harus kita periksa. Mudah-mudahan data yang ada bisa dilakukan pendalaman lagi,” kata Hetifah.
Ini datanya dua-duanya dari pemerintah, jadi data mana yang benar, ini ada masalah di sistem pendidikan kita.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Diktiristek, Kemendikbudristek, Nizam juga tidak mengetahui ikhwal perbedaan data APK PT tersebut. Pihaknya menghitung dengan rumus jumlah mahasiswa 9,5 juta mahasiswa dibagi jumlah penduduk usia 19-24 tahun, lalu hasilnya didapatkan 39,37 persen. Namun, dia menegaskan APK PT tidak serta-merta dimaknai sebagai tingkat kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
”Saya tidak tahu kenapa APK masih 32 persen menurut BPS, tetapi APK seharusnya dimaknai sebagai angkatan kerja yang siap produktif punya kompetensi tinggi, berdaya saing, dan kompetitif, bukan sekadar membawa ijazah, ini PR (pekerjaan rumah) besar kita,” kata Nizam.