TBM Beradaptasi di Tengah Transformasi Gerakan Literasi
Pandemi Covid-19 bak pedang bermata dua bagi gerakan literasi. Larangan pertemuan fisik mengganggu kerja-kerja literasi, tetapi sekaligus mengakselerasi gerakan literasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mendorong transformasi gerakan literasi di Tanah Air. Praktik literasi berbasis digital pun lebih mendominasi. Taman bacaan masyarakat yang menjadi ujung tombak gerakan literasi di desa-desa perlu beradaptasi agar tetap eksis di tengah transformasi itu.
Guru Besar Universitas Negeri Malang Djoko Saryono mengatakan, di satu sisi, pandemi menghadang gerakan literasi. Namun, di sisi lain, pandemi juga mendorong transformasi gerakan literasi melalui digitalisasi.
Literasi digital menjadi primadona. Sementara gerakan literasi konvensional yang mengandalkan pertemuan fisik justru terseok-seok karena terkendala larangan berkegiatan tatap muka untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Akan tetapi, kondisi ini juga memicu ketimpangan literasi. Sebab, literasi digital sangat bergantung pada akses jaringan internet, perangkat elektronik, dan sumber daya.
Pascapandemi, masyarakat semakin akrab dengan digitalisasi. Hal ini menuntut taman bacaan masyarakat (TBM) beradaptasi dalam menjalankan gerakan literasi.
”Mau tidak mau, TBM tidak bisa mengandalkan cara-cara konvensional,” ujarnya dalam webinar ”Membangun Fondasi Masyarakat untuk Literasi yang Berkelanjutan”, Sabtu (9/9/2023).
Menurut Djoko, TBM harus menerapkan strategi baru untuk masuk ke berbagai lini. Caranya, dengan memecah diri untuk membangun jaringan dengan banyak pihak, tetapi tetap terikat dalam forum TBM.
”Itulah strategi amuba yang bisa digunakan untuk menyelamatkan TBM ketika menghadapi situasi baru pascapandemi,” ucapnya.
Djoko mengatakan, produk literasi cetak dan digital bisa berjalan beriringan. Jadi, keduanya tidak perlu dipertentangkan, tetapi justru dimanfaatkan untuk mengoptimalkan gerakan literasi.
”Saling kohesi dan saling membantu mengembangkan itu. Namun, di Indonesia tidak begitu. Produk cetak banyak yang gulung tikar,” katanya.
Literasi digital menjadi primadona. Sementara gerakan literasi konvensional yang mengandalkan pertemuan fisik justru terseok-seok karena terkendala larangan berkegiatan tatap muka untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Ia mencontohkan sejumlah TBM yang berinovasi dengan memanfaatkan teknologi. Di Malang, Jawa Timur, misalnya, para guru diberi akses siaran melalui jaringan radio untuk memperkaya pengetahuan masyarakat.
Akan tetapi, tren literasi digital juga menunjukkan kesenjangan antardaerah. Sebab, fasilitas, sarana, dan perangkat digital tidak merata.
”Ada kesenjangan literasi antardaerah, antarwilayah, antarkota, dan antarpinggiran perdesaan. Jadi, ada ketimpangan baru yang menghadang Indonesia, yaitu ketimpangan literasi,” katanya.
Ketua Forum TBM Opik mengatakan, TBM mempunyai beragam fungsi, seperti sebagai ruang informasi, memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, dan ruang berjejaring. Pada level tertentu, TBM juga menjadi tempat rekreasi dengan menyediakan buku genre tertentu dan mengakomodasi fasilitas layanan ramah anak.
”Persentasenya (TBM sebagai tempat rekreasi) masih sangat sedikit. Kami masih banyak berurusan dengan menghadirkan ruang informasi di tengah masyarakat,” ujarnya.
Opik menuturkan, pihaknya mendata 2.338 TBM di seluruh Indonesia. Sekitar 80 persen di antaranya berada di perdesaan. Sejumlah TBM berinovasi dengan membuat buku, mengalihwahanakan menjadi film, dan membuat produk kerajinan.
Dukungan kebijakan
Gerakan literasi di perdesaan juga membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah daerah. Sumber bacaan yang dekat dengan masyarakat diharapkan meningkatkan minat baca warga.
Opik mencontohkan kebijakan Pemerintah Tana Tidung, Kalimantan Utara, yang membangun TBM di setiap desa. Setiap TBM mendapatkan dukungan dana Rp 20 juta per tahun untuk pembelian buku dan biaya operasional.
”Kami mencoba mencari mitra, berhubungan dengan komunitas lain. Kemudian, optimalisasi advokasi kebijakan dari daerah sampai nasional,” katanya.
Dukungan dari lembaga mitra juga tak kalah penting. Di Kaltara, misalnya, sejumlah TBM bekerja sama dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi), program kemitraan antara Pemerintah Australia dan Indonesia.
Manajer Inovasi Kaltara Handoko Widagdo mengatakan, pihaknya menemukan buku-buku di TBM dan perpustakaan desa tidak sesuai dengan minat anak. Jadi, pihaknya menghibahkan 50-100 buku bermutu kepada setiap TBM.
”Kemudian kami menghubungkan TBM dengan pihak desa, CSR (program tanggung jawab sosial perusahaan), dan sebagainya untuk pengadaan buku-buku anak yang sesuai,” ujarnya.