Perguruan Tinggi Indonesia Makin Otonom, Saatnya Ikuti Standar Internasional
Perguruan tinggi Indonesia dipacu untuk meningkatkan kualitas yang mengacu pada standar internasional. Untuk itu, kepercayaan pemerintah agar perguruan tinggi dapat mengatur dirinya sendiri menjadi kunci untuk merdeka.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Perguruan tinggi diberi keleluasaan mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat sesuai kebutuhan dan misi yang diembannya. Kini, keberhasilan Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak lagi jadi beban tiap dosen dan tidak ditentukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek, Kiki Yuliati, di webinar 'Silaturahmi Merdeka Belajar : Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi', Kamis (7/9/2023) mengatakan, sudah saatnya perguruan tinggi Indonesia meningkatkan kualitasnya agar sejajar dengan perguruan tinggi di kancah internasional. “Memang masih ada yang kualitasnya kurang, tapi sudah lebih banyak yang baik dan sangat baik. Justru untuk mendorong yang masih di bawah bisa naik, sedangkan yang sudah baik semakin bisa meningkatkan standarnya. Standar nasional pendidikan tinggi seperti yang berlaku di internasional hanya mengunci bagian penting atau framework. Jadi sudah waktunya perguruan tinggi diberi otonomi,” ujar Kiki.
Menurut Kiki, dengan terbitnya Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, paradigma Kemendikbudristek pun berubah untuk lebih memberikan kepercayaan pada pimpinan perguruan tinggi dan memberi otonomi guna menentukan standar pendidikan yang lebih baik. Hal ini untuk mendorong insan perguruan tinggi mengurus dirinya sendiri dan menentukan keunggulannya.
Kiki menegaskan, tiap perguruan tinggi tetap harus memastikan Tri Dharma Perguruan Tinggi berjalan, meskipun ada fokus. Penugasan para dosen mengikuti misi yang ditetapkan tiap perguruan tinggi. Dengan demikian, pemenuhan Tri Dharma Perguruan Tinggi bukan lagi jadi beban individu dosen, namun diatur oleh perguruan tinggi.
Siap berimprovisasi
Wakil Direktur Bidang Akademik Politeknik Negeri Jember Suratno mengatakan, perguruan tinggi kini memiliki produk hukum yang memberikan ruang gerak untuk berimprovisasi dan berinovasi guna menghadirkan sistem mutu agar dapat mencapai visi jangka panjang dan misi yang diemban. Kekakuan aturan selama ini membuat dosen dan institusi kesulitan untuk menyesuaikan dengan struktur kurikulum yang fleksibel.
Menurut Suratno, pendidikan vokasi didorong mengembangkan project based learning (PBL). Namun, selama ini di lapangan ada banyak keluhan sulitnya mengaitkan PBL dengan struktur rencana pembelajaran karena sudah dipatok secara rigid oleh pemerintah. Misal dalam 16 minggu perkuliahan dibagi ada jam tatap muka, terstruktur, dan mandiri.
“Padahal ketika masuk dalam ruang PBL, yang melaksanakan produksi dan proyek ada banyak pengaruh. Semisal untuk prodi pertanian, ada PBL produksi melon dengan durasi dua bulan atau 60 hari panen dan PBL selesai, tidak cukup lentur jika harus sesuai aturan 16 minggu. Kami menyambut baik dengan kelenturan atau fleksibilitas yang kini diberikan pada perguruan tinggi,” kata Suratno.
Perguruan tinggi, ujar Suratno, juga merasa semakin yakin untuk mendiversifikasi bentuk lain tugas akhir mahasiswa. Dalam dua tahun terakhir, sebenarnya pengganti tugas akhir sudah diakui dari kegiatan yang diikuti mahasiswa. Selain itu, mahasiswa yang berprestasi di program kreativitas mahasiswa atau kejuaraan lain di tingkat nasional/internasional juga sudah bisa diakui sebagai pengganti tugas akhir.
Suratno menyebutkan juga hal baru dalam penilaian mahasiswa yakni pass atau fail. Selama ini ada keberatan dosen untuk merestui mahasiswa ikut Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) atau belajar di luar kampus karena di proses akhir harus merekognisi nilai. Padahal, standar penilaian berbeda-beda untuk beragam MBKM flagship maupun yang mandiri.
“Dengan membuka opsi penilaian pass atau fail jadi memudahkan dosen dan mitra. Pembelajaran di luar prodi pun cukup dengan mengatakan mahasiswa lulus atau gagal tanpa penilaian dengan indikator yang rumit,” kata Suratno.
Sementara irtu, Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Politeknik Caltex Riau Maksum Ro’is Adin mengatakan, perguruan tinggi kini diberi peluang untuk menghadirkan proses pembelajaran sesuai kebutuhan dunia usaha/dunia industri (DUDI) dan dunia kerja. Dari sisi administrasi, perguruan tinggi swasta (PTS) merasa nyaman karena akreditasi wajib kini gratis.
“Kebebasan yang diberikan pemerintah ini bukan sebebas-bebasnya tanpa arah. Justru perguruan tinggi diberikan kebebasan untuk naik ke atas. Dengan akreditasi wajib yang gratis, kami jadi berkesempatan memetakan lebih serius prodi mana yang akan diarahkan untuk akreditasi internasional.
Rektor Universitas Teknologi Sumbawa Chairul Hudaya menyebutkan dua poin penting yang berdampak untuk PTS di daerah. Universitas ini memiliki 33 prodi, dan 17 di antaranya harus menggunakan akreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Jika biaya satu akreditasi sekitar Rp 50 juta atau lebih, maka paling tidak butuh anggaran Rp 900 juta – Rp 1 miliar.
“Untuk PTS di daerah biaya itu cukup besar, apalagi biaya kuliah tidak bisa besar. Anggaran itu kini bisa digunakan untuk memberikan insentif dosen melakukan riset dan pengabdian masyarakat, serta pengembangan kampus,” ujar Chairul.
Lalu, dengan tidak diberlakukannya pembagian waktu proses pembelajaran atau 1 satuan kredit semester (SKS) yang rigid, namun hanya menetapkan per semester 45 jam, maka dosen dan perguruan tinggi pun lebih mudah mengatur apa yang ingin dicapai. Apalagi, kebijakan MBKM yang memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk belajar langsung di industri atau desa lewat program yang dikembangkan Kemendikbudristek maupun perguruan tinggi secara mandiri, ternyata memberi dampak baik bagi mahasiswa.
“Dari tracer study atau penelusuran alumni, waktu tunggu untuk bekerja kini hanya 3,7 bulan atau di bawah 6 bulan,” kata Chairul.