Hendak ke Mana Pendidikan Tinggi Indonesia?
Tanpa perbaikan yang menyeluruh dan penegakan nilai-nilai luhur pendidikan yang perlu dijaga dan diamalkan seorang dosen, arah pendidikan tinggi Indonesia dalam membina dosen menjadi kabur.
Bak menganalogikan dengan buku “Robohnya Surau Kami” (RSK) sebuah kumpulan cerpen karya Ali Akbar Navis, benteng terakhir yakni pendidikan kita akhirnya runtuh juga. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang WNI yang semasa hidupnya hanya beribadah dan beribadah.
Isu perjokian karya ilmiah di dunia akademik, yang selama ini ibarat gunung es di bawah laut mulai terkuak. Harian Kompas tiga hari berturut-turut melalui tim investigasinya mengangkat berita: “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah,” “Usaha Perjokian Merajalela Bagai Pabrik Karya Ilmiah,” dan “Perguruan Tinggi Masih Mendewakan Gelar”, pada minggu lalu. Tampaknya ini masalah serius dan “bom waktu” yang meledak setelah diangkat oleh Kompas.
Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.
Guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Sedangkan kata profesional diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Ini dibuktikan dengan diraihnya sertifikat pendidik, bentuk pengakuan yang diberikan kepada dosen sebagai tenaga profesional.
Sebagai tenaga profesional, seorang dosen dalam kegiatan belajar dan mengajar harus mengindahkan norma dan aturan serta berproses secara etis untuk menjadi guru besar. Namun, menurut catatan Kompas perguruan tinggi di Indonesia dinilai masih mengagungkan-agungkan gelar bukan kompetensi, fokus menyiapkan dosen “super” yang pada gilirannya memicu kegiatan perjokian publikasi ilmiah yang merobohkan sendi-sendi dunia pendidikan itu sendiri.
Paradoks Dosen
Di perguruan tinggi seolah-olah pengembangan intelektualitas dan pengetahuan masih menjadi faktor utama dalam kegiatan pendidikan. Tingkat intelektualitas akan membentuk pola pikir peserta didik yang diajar dosen. Dengan memiliki pengetahuan yang memadai, maka ia dapat mengembangkan pemikiran positif dan konstruktif bagi dirinya dan lingkungan di mana ia berada. Pada gilirannya, ia akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi bangsa dan negaranya.
Baca juga: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah
Namun, yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah perguruan tinggi lebih mementingkan pengembangan intelektualitas yang berasal dari aspek pengajaran serta mengabaikan aspek pendidikan berupa pembinaan moral secara seksama dan masif.
Seorang dosen pada dasarnya bukan hanya seseorang yang mengajarkan pengetahuan di bidang keilmuan tertentu kepada para peserta didik. Ia juga dituntut untuk mendidik, terutama dalam menanamkan dan membina nilai-nilai, antara lain berupa adab, kedisiplinan, kejujuran, keadilan, keharmonisan, kesantunan, serta taat norma dan aturan di masyarakat.
Apalah artinya seseorang memiliki kecerdasan intelektual dan berpengetahuan, tetapi mempunyai nilai-nilai yang buruk. Banyak pejabat yang menjadi koruptor bukan karena mereka berintelektualitas rendah, tetapi karena moralnya rusak akibat tidak tertanamnya nilai-nilai luhur selama menuntut ilmu di bangku pendidikan.
Selain melakukan pengajaran dan pendidikan sekaligus secara berimbang, seorang dosen dituntut mampu mengelola pelbagai paradoks. Sebagai seorang dosen, ia dituntut mengamalkan kearifan lokal di samping berwawasan global. Terlebih lagi perguruan tinggi di mana ia berada, mempunyai visi menjadi perguruan tinggi kelas dunia dan membangun kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan internasional.
Baca juga: Jalan Terjal Para Dosen Menembus Jurnal Internasional
Seorang dosen yang membina karir di dunia akademis perlu menata dan mengembangkan diri baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, hingga ia kelak menjadi calon guru besar. Ia harus mengurus jenjang jabatan akademik secara bertahap; mulai dari asisten ahli, lektor, dan lektor kepala sebelum menjadi guru besar (profesor).
Namun seperti yang disinggung oleh Kompas, perjokian telah memainkan peranan penting bagi dosen yang fokus pada jalur pendek melalui jalan pintas dalam penerbitan publikasi ilmiah di jurnal internasional. Banyak dosen terindikasi menggunakan tidak saja jasa joki dalam menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional, tetapi juga memakai jasa agen jurnal-jurnal abal-abal alias predator.
Dalam menggeluti dunia akademis, seorang dosen tidak saja terikat dalam kontrol internal perguruan tinggi. Ia juga diberi kebebasan untuk berkreasi dan berkarya dalam mengajarkan materi pokok sesuai dengan bidang studinya serta mengisinya dengan pendidikan karakter yang sesuai dengan tema pembelajaran di kelas atau terintegrasi dalam pembelajaran.
Dengan kata lain, proses pendidikan karakter terletak di tangan dosen, sehingga seharusnya dapat memanusiakan manusia. Menjadi tanda tanya apabila hal ini dinodai dengan kebiasaan buruk dosen menggunakan kegiatan perjokian dalam menerbitkan karya ilmiahnya.
Pandemi Covid-19 juga dapat diambil hikmahnya oleh para dosen. Pandemi ini mengajarkan kepada mereka tidak saja harus mengamalkan ilmu secara konvensional, tetapi juga dalam pengajaran perlu menguasai aspek digital dan tidak gagap teknologi. Karena pola pembelajaran ke depan akan sarat dengan kecanggihan teknologi dan metode pendidikan yang berbasis digital. Seorang dosen akhirnya harus mampu menunjukkan kemampuan belajar dan mengajar di era digital.
Dosen Juga Manusia Biasa
Profesi dosen merupakan pekerjaan yang mulia. Sebab tidak hanya mengajar, tugas dosen juga mendidik para mahasiswanya dan juga memotivasi mereka untuk melakukan berbagai macam hal positif. Namun tugas mulia ini menjadi pudar dengan adanya ulah oknum dosen yang memilih perjokian sebagai jalan pintas mencapai jejang kenaikan jabatan.
Tawaran yang menggiurkan dan memilih jalan pintas terjadi karena seorang dosen membayangkan akan memperoleh tiket kenaikan jenjang kepangkatan dengan mudah. Para dosen yang tak tahan godaan akan mengabaikan bahkan menggadaikan integritas.
Buru-buru ingin naik pangkat atau menjadi guru besar membuat dosen mengabaikan proses. Aturan yang ada tidak mendorong dosen agar mengikuti proses dengan baik, tetapi fokus kepada hasil. Akibatnya, para dosen mengambil jalan terpendek dan tercepat.
Dekadensi moral ini membuat integritas dosen sebagai tenaga pendidik kader bangsa menjadi tergerus. Dosen yang mengejar kenaikan pangkat tak lagi mengutamakan norma dan nilai kejujuran dalam mengamalkan tri dharma perguruan tinggi. Sejatinya dosen seperti ini telah gagal sebagai seorang tenaga pendidik profesional.
Bagaimana Menyikapi Ini?
Ke depan, dosen harus mengingatkan perguruan tinggi dimana ia bernaung untuk lebih mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas. Meningkatkan intake (jumlah mahasiswa baru yang masuk) sudah tentu amat penting demi kelangsungan usaha perguruan tinggi.
Namun, apalah artinya kenaikan jumlah mahasiswa yang dibarengi dengan berkurangnya kualitas dosen yang menjadi garda terdepan di kampus dan di kelas-kelas. Kinerja perguruan tinggi tidak saja diukur dari kenaikan intake, tetapi juga kualitas para dosennya. Kepakaran seorang dosen dan guru besar akan teruji bukan karena jabatan akademisnya, namun melalui peningkatan profesionalismenya.
Sementara itu, dosen terlalu dijejali berbagai kegiatan administratif sehingga riset ilmiahnya menjadi yang kurang berdampak. Ditambah lagi dosen juga dibebani dengan target publikasi yang bombastis, sementara ada keterbatasan sumber daya dan dukungan pengembangan kompetensi diri. Pada gilirannya, standar mutu diabaikan dan norma-norma akademis yang musti dijunjung tinggi oleh seorang dosen dikorbankan.
Kemudahan memakai jasa joki menjadi jalan pintas bagi para dosen dalam memperoleh angka kredit tanpa melakukan penelitian. Dengan cara ini mereka dapat segera mengajukan kenaikan jenjang jabatan. Sementara iklim untuk membuat kegiatan akademis di perguruan tinggi semakin kondusif dan menjadi lembaga pendidikan yang dinamis serta berintegritas terabaikan.
Kini sudah saatnya perguruan tinggi berubah dalam mengartikan mutu pendidikan dari pencitraan dan pencapaian peringkat dari jumlah publikasi. Kualitas dosen jangan diabaikan karena menomerduakan peningkatan kompetensi keilmuan dan pengajaran.
Tanpa perbaikan yang menyeluruh dan penegakan nilai-nilai luhur pendidikan yang perlu dijaga dan diamalkan seorang dosen, arah pendidikan tinggi Indonesia dalam membina dosen menjadi kabur serta dikhawatirkan menuju jurang kegagalan.
Sebagai dosen, janganlah kita bersikap seperti Haji Saleh dalam cerpen RSK. Mengejar kenaikan pangkat akademis ada prosesnya dan tidak dapat diraih dengan mengambil jalan pintas. Ayo segera kokohkan benteng pendidikan kita.
Mohammad Hamsal, seorang Dosen dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.
E-mail: mhamsal@yahoo.com