Peneliti Kembangkan Metode untuk Identifikasi Letusan Gunung Berapi
Sekelompok tim peneliti internasional kini telah mengembangkan metode pengumpulan informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi dan risiko semua letusan gunung berapi aktif yang ada di dunia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengidentifikasi potensi dan risiko letusan gunung berapi belum optimal. Mengingat, sampai sekarang baru sekitar 30 persen gunung berapi aktif di dunia yang terdokumentasi dengan baik. Sekelompok tim peneliti internasional kini telah mengembangkan metode pengumpulan informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi dan risiko semua letusan gunung berapi aktif di dunia.
Bumi sejauh ini menjadi rumah bagi sekitar 1.500 gunung berapi aktif. Namun, para peneliti dan beberapa lembaga hanya memiliki informasi serta data akurat untuk 30 persen gunung berapi tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya mengamati struktur internal gunung berapi tersebut, khususnya magma yang berada di dalam perut bumi.
Magma sebagai batuan cair ini pertama kali dihasilkan pada kedalaman 60-150 kilometer di dalam mantel bumi. Sementara lubang bor terdalam manusia umumnya hanya mencapai kedalaman sekitar 10 kilometersehingga menghalangi pengamatan atau observasi secara langsung.
Kondisi tersebut kerap menjadi kendala para peneliti untuk mempelajari dan menganalisis magma. Padahal, tingkat produksi magma di kerak bumi di bawah gunung berapi sangat menentukan ukuran dan frekuensi dari sebuah letusan gunung berapi di masa depan.
Metode analisis geokimia dan geofisika sering digunakan oleh para ilmuwan untuk memantau gunung berapi. Namun, upaya ini memerlukan waktu puluhan tahun untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang cara kerja gunung berapi tertentu.
Kini, sekelompok tim peneliti internasionaldari University de Geneva (Unige), Swiss, telah mengembangkan metode pengumpulan informasitentang struktur internal gunung berapi. Metode ini menggunakan tiga parameter yang mudah diukur, yakni ketinggian gunung berapi, ketebalan batuan yang memisahkan reservoir gunung berapi dari permukaan, dan komposisi kimia magma yang dilepaskan selama sejarah letusannya.
Parameter pertama dapat ditentukan melalui satelit. Kemudian parameter kedua dapat diketahui dengan analisis geofisika atau kimia mineral (kristal) pada batuan vulkanik. Sementara parameter ketiga bisa dengan pengambilan sampel langsung di lapangan.
Oliver Higgins, penulis pertama studi ini, menjelaskan, tim Unige telah menyoroti korelasi antara ketinggian gunung berapi dan laju produksi magma.Hal ini diketahui dengan cara menganalisis data yang ada mengenai busur vulkanik di sebuah kepulauan vulkanik bernama Lesser Antilles.
”Gunung berapi tertinggi rata-rata menghasilkan letusan terbesar selama masa hidupnya. Dengan kata lain, gunung berapi tersebut dapat meletuskan magma dalam jumlah yang lebih besar dalam satu peristiwa,” ujarnya dikutip dari situs resmi Unige, Rabu (6/9/2023).
Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa semakin tipis kerak bumi di bawah gunung berapi, semakin dekat pula reservoir magmanya ke permukaan. Bahkan, kondisi ini membuat gunung berapi tersebut semakin matang secara termal.
”Saat naik dari kedalaman, magma cenderung mendingin dan memadat sehingga menghentikan pendakiannya. Namun, ketika pasokannya banyak, magma mempertahankan suhunya, terakumulasi di reservoir yang akan memicu letusan di masa depan, dan melahapnya di kerak bumi,” jelas Luca Caricchi, penulis kedua dan terakhir studi ini.
Terakhir, para peneliti juga mengamati komposisi kimia rata-rata magma yang telah meletus merupakan sebuah indikator. Sebagai contoh, kadar silika yang tinggimenunjukkan bahwa gunung berapi tersebut dialiri oleh magma dalam jumlah besar. Dalam hal ini, terdapat risiko lebih besar terjadinya letusan besar dan eksplosif dari gunung berapi tersebut.
Ketiga parameter yang diidentifikasi oleh tim Unige tersebut menghasilkan catatan struktur internal gunung berapi. Hal ini kemudian memungkinkan dilakukannya identifikasi atau penilaian awal terhadap risiko gunung berapi aktif di seluruh dunia yang kurang dipelajaritanpa memerlukan sumber daya teknis dan finansial yang besar.
Selain itu, peneliti menekankan bahwa metode ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi gunung berapi aktif yang berpotesi menghasilkan letusan skala besardan memerlukan peningkatan pengawasan.