Satu Langkah Mengidentifikasi Gunung Berapi Berbahaya
Peneliti telah menemukan cara untuk mengidentifikasi gunung berapi yang memiliki potensi letusan berbahaya. Risiko letusan eksplosif suatu gunung berapi akan rendah jika magma mengandung sedikit air atau kristal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Pertanyaan yang selama ini menjadi misteri bagi para ahli vulkanologi tentang kapan dan bagaimana gunung berapi meletus kini bisa terungkap. Para peneliti telah menemukan cara untuk memperkirakan dan mengidentifikasi gunung berapi yang memiliki potensi letusan eksplosif serta berbahaya.
Para peneliti kini telah mengetahui kapan gunung berapi akan meletus. Hal ini terungkap dari data pemantauan Gunung Cumbre Vieja, Spanyol, yang mengeluarkan aliran lava ke laut. Dengan menggunakan data seismik, peneliti dapat melacak kenaikan lava secara langsung (real time) sehingga letusan dapat diprediksi dalam beberapa hari ke depan.
Meski demikian, selama berpuluh-puluh tahun, peneliti cukup sulit mengungkap bagaimana mengidentifikasi gunung api dengan potensi letusan yang besar. Misteri ini juga sangat sulit dipecahkan untuk gunung berapi besar yang terletak di sepanjang zona subduksi, seperti di Andes, pantai barat Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Italia, dan Yunani. Gunung berapi di wilayah tersebut dapat meletus dengan berbagai cara sehingga prediksi sulit dilakukan.
Guna memahami bagaimana proses gunung berapi meletus, dalam beberapa tahun terakhir banyak peneliti berfokus melakukan studi untuk mengungkap proses apa saja yang terjadi di saluran vulkanik. Hal ini juga mendasari para peneliti dari Institut Teknologi Konfederasi (ETH) Zurich, Swiss, untuk mempelajari ruang magma.
Dalam laporan yang telah dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience, akhir September lalu, para peneliti mempelajari ruang magma dengan menganalisis data dari 245 letusan gunung berapi. Peneliti kemudian merekonstruksi seberapa panas ruang magma sebelum letusan, menghitung kristal padat dalam lelehan, dan melihat kandungan air terlarutnya.
Mengetahui kandungan air terlaut dalam ruang magma sangatlah penting. Sebab, air yang larut akan membentuk gelembung gas sehingga menyebabkan gunung berapi meletus. Para peneliti mengibaratkan kondisi air yang larut ini seperti botol soda yang dikocok dan dibuka tutupnya dengan sangat cepat.
Risiko letusan eksplosif suatu gunung berapi akan rendah jika magma mengandung sedikit air atau kristal. Kondisi ini akan turut membentuk sebuah saluran yang mempermudah gas keluar dari ruang magma tersebut. Sebaliknya, letusan eksplosif akan tinggi bila magma mengandung banyak air dan kristal.
Profesor petrologi magmatik dari ETH Zurich, Oliver Bachmann, menjelaskan, dari hasil rekontsruksi, risiko letusan eksplosif suatu gunung berapi akan rendah jika magma mengandung sedikit air atau kristal. Kondisi ini akan turut membentuk sebuah saluran yang mempermudah gas keluar dari ruang magma tersebut. Sebaliknya, letusan eksplosif akan tinggi apabila magma mengandung banyak air dan kristal.
Secara sederhana, peneliti menjelaskan temuan ini dalam dua efek. Semua efek tersebut berkaitan dengan tingkat kandungan air dalam ruang magma yang menyebabkan terbentuknya gelembung gas.
Pertama, sejak awal dalam ruang magma sudah terdapat banyak gelembung gas pada kedalaman tertentu. Gelembung tersebut membentuk saluran sehingga memudahkan gas untuk keluar. Gas kemudian terlepas ke atmosfer tanpa adanya efek letusan. Kedua, gelembung gas di ruang magma juga dapat menunda dan mengurangi dampak letusan.
Ahli vulkanologi dari ETH Zurich yang juga penulis laporan tersebut, Razvan-Gabriel Popa, menjelaskan, sebelum gunung berapi meletus, magma panas naik dari kedalaman yang besar. Magma kemudian memasuki ruang subvulkanik gunung berapi yang terletak 6 hingga 8 kilometer di bawah permukaan hingga meningkatkan tekanan di ruang tersebut.
”Setelah tekanan di ruang magma cukup tinggi untuk memecahkan batuan di atasnya, kemudian terjadilah letusan gunung berapi,” ujar Popa dikutip dari laman resmi ETH Zurich, beberapa waktu lalu.
Temuan baru ini secara teoritis memungkinkan untuk sampai pada prakiraan dan identifikasi yang lebih baik tentang kapan terjadi letusan gunung berapi yang sangat berbahaya. Namun, ke depan prakiraan ini perlu disempurnakan dengan cara menentukan jumlah gelembung gas dalam ruang magma dan proses kristalisasi magma.
”Kami sedang berdiskusi dengan ahli geofisika metode mana yang dapat digunakan untuk merekam parameter penting ini dengan baik. Solusinya bisa dengan menggabungkan metrik yang berbeda, seperti data seismik, gravimetri, geolistrik, dan magnetik,” kata Bachmann.