Perjuangan Penyandang Disabilitas Mental Keluar dari ”Panti Neraka”
Penyandang disabilitas mental hingga kini masih menghadapi stigma masyarakat sebagai orang dengan gangguan jiwa. Mereka dikirim ke panti rehabilitasi untuk waktu yang tidak terbatas, dan mengalami pelanggaran HAM.
Sekitar enam tahun yang lalu, M Hibatul Idris (24) masih berupaya menggapai mimpinya untuk sekolah tinggi, lalu bekerja kantor dan sukses. Namun, hidupnya berubah, kedua orangtua meninggal secara beruntun. Meski sebatang kara, dia tetap berusaha tegar dan melanjutkan hidupnya.
Lulus SMA, pemuda yang akrab disapa Hibat ini pun melanjutnya pendidikan ke sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, dan memilih Jurusan Hubungan Internasional. Hingga semester empat, kuliahnya lancar, bahkan indeks prestasi kumulatifnya hampir mendekati angka 4.
Namun, sekitar tiga tahun yang lalu, tiba-tiba dia mulai merasa sakit kepala. Seiring dengan itu, penglihatan matanya pun mulai memudar. Bukan hanya itu. Masalah baru muncul. Saat dia sendirian di rumah, belakangan muncul suara-suara dalam pikirannya yang menyuruhnya keluar rumah.
Hibat pun mulai berhalusinasi, lalu kemudian meninggalkan rumah mengikuti suara yang muncul. Dua minggu Hibat menghilang, teman-temannya mencari, termasuk tantenya (saudara ibunya). Saat mereka menemukannya, tantenya membawa ke rumah sakit jiwa di daerah Grogol, Jakarta. Setelah dirawat selama dua pekan, dia pun rawat jalan. Namun, empat bulan kemudian, sakit kepalanya kambuh lagi, dan dia pergi meninggalkan rumah.
Seperti sebelumnya, tantenya mencarinya, dan saat ditemukan dibawa pulang kembali ke rumah. Tantenya kemudian tinggal di rumahnya. Namun, pada awal Januari 2021, saat Hibat di rumah tiba-tiba datang lima orang datang menjemputnya dan membawa ke sebuah panti di Serang.
”Saya enggak tahu ke mana, hanya bilangnya ke pondok pesantren, diobatingitu. Saya ikut aja. Tapi waktu sampai di sana, kok tempatnya gelap, terus masuk lagi ke dalam, loh kok pintunya jeruji besinya,” kata Hibat saat berbincang dengan Kompas, Selasa (22/8/2023) di sela-sela Seminar Internasional ”Penyiksaan yang tersembunyi: Kondisi Institusionalisasi Penyandang Disabilitas di Indonesia” di Jakarta.
Baca Juga: Beban Berlipat Penyintas Disabilitas Mental Saat Pandemi Covid-19
Awalnya Hibat tidak tahu jika itu adalah panti rehabilitasi sosial. Yang dia ingat pada saat pertama tiba dia ditempatkan di sebuah ruang kecil bersama seorang laki-laki yang kakinya dirantai. Pintunya dikunci dari luar.
Hibat semakin dibuat bingung saat waktunya makan. Ketika itu dia mengakui kaget saat mendapati makanan yang disediakan untuknya adalah nasi yang tidak layak dimakan. ”Itu dari beras mau busuk, tapi tetap dimasak. Saya enggak mau makan,” papar Hibat.
Dia tak menyangka penolakannya berbuah hukuman. Hari kedua, kakinya langsung dirantai dan dipaksa makanan yang diberikan panti. Mulai saat itulah, babak penderitaannya dimulai. Kakinya dirantai, ditempatkan di ruangan kecil. Tidur, makan, dan buang air besar dan kecil di ruang yang sama.
”Benar-benar tidak manusiawi. Hanya ada lubang untuk toilet, tapi tidak ada air sama sekali. Kotoran saya lima langkah dari tempat saya tidur,” ujar Hibat.
Sejak itulah hidup Hibat bagai di neraka. Diperlakukan seperti bukan manusia. Hidup bersama sekitar 30-an penyandang disabilitas (PD) mental. Delapan di antaranya adalah perempuan yang ditempatkan di ruang kamar mandi.
”Benar-benar tidak manusiawi. Hanya ada lubang untuk toilet, tapi tidak ada air sama sekali. Kotoran saya lima langkah dari tempat saya tidur ”.
Tak kuat menghadapinya, Hibat pun memohon pada pengelola panti agar dia dipulangkan. Oleh pengelola panti menjawab boleh pulang asal dijemput keluarganya. Namun, saat tantenya datang, ternyata tantenya enggak bisa membawanya pulang. Harapan Hibat untuk keluar panti sirna.
”Katanya bisa keluar tapi harus bayar. Tante saya enggak bisa bayar. Akhirnya saya pasrah,” ujar Hibat yang mengaku selama di panti tersebut, seingatnya ada sekitar lima orang meninggal. Jika ada yang kabur dari panti dan tertangkap, pasti akan dikembalikan lagi.
Hari demi hari dilaluinya, tanpa tahu kapan akhirnya. Penderitaan Hibat pun semakin berlapis. Selain diperlakukan tidak manusiawi karena dianggap sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dia pun harus menerima kenyataan gangguan penglihatannya pun semakin parah. Saat masuk panti, meski sudah terganggu, matanya masih bisa melihat situasi di panti.
Namun, penyiksaan yang dialami hari demi hari selama tinggal di panti, mempercepat kerusakan matanya hingga akhirnya dia benar-benar tidak bisa melihat dan akhirnya menjadi penyandang disabilitas netra. Maka, makin lengkaplah penderitaannya. Harapan untuk kembali ke dunia luar yang bebas, sepertinya sudah tertutup.
Di tengah keputusasaan Hibat, tiba-tiba Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan timnya mendatangi panti tersebut. Kepada Yeni, dia meminta tolong untuk membebaskannya. Kemampuannya berbahasa Inggris digunakan untuk berkomunikasi dengan Yeni dan timnya sehingga pihak panti tidak tahu apa yang dibicarakannya.
Jalan Hibat menuju bebas dari panti neraka, tidak mudah. Namun, setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada Februari 2023, Hibat berhasil dikeluarkan dari panti dan dibawa pulang ke rumah.
Hibat bersyukur setelah dua tahun satu bulan hidup dalam penyiksaan di panti, kini dia akhirnya bebas, dan menjadi manusia lagi. ”Saya Cuma ingin melanjutkan sekolah,” kata Hibat yang kini masih beradaptasi sebagai penyandang disabilitas netra.
Hibat hanyalah salah satu potret PD mental yang menjadi korban stigma dan perlakuan tidak manusiawi karena dianggap ODGJ dan harus dikurung di panti rehabilitasi sosial. Kini bersama sejumlah penyandang disabilitas mental lainnya, dia bersuara dan memohon pada pemerintah agar menolong dan menyelamatkan para PD mental yang di panti rehabilitasi sosial.
Belasan ribu terkurung di panti
Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami Hibat dan belasan ribu PD mental, membuktikan hingga kini praktik penyiksaan tersembunyi di panti-panti sosial masih berlangsung. Bahkan, saat ini, diperkirakan belasan ribu PD mental terkurung dan mengalami penyiksaan di panti-panti rehabilitasi sosial yang tersebar di seluruh Indonesia.
”Saat ini data terbatas yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat terdapat sekitar 12.600 penyandang disabilitas mental yang terkurung di panti-panti di Indonesia. Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar, sekitar 20.000 orang. Hanya saja sampai saat ini belum ada data resmi mengenai jumlah penghuni panti disabilitas mental di Indonesia,” ujar Yeni Rosa.
Yeni Rosa mengungkapkan, hingga kini ribuan PD mental usia dari anak hingga lanjut usia, laki-laki maupun perempuan dikurung dalam waktu tak terbatas, di dalam panti yang tidak layak dihuni manusia. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, bahkan ada yang diborgol sepanjang waktu, tidur, makan, dan buang air besar/kecil di ruangan yang sempit.
”Kalau tahanan dan narapidana bisa tahu berapa masa hukumannya, kapan akan dibebaskan, tetapi kalau di panti, tidak ada satu pun penyandang disabilitas yang tahu kapan mereka bisa keluar atau bebas dari tempat tersebut ”.
Sebagian penghuni panti baik laki-laki maupun perempuan digunduli rambutnya. Banyak di antara mereka yang mengalami kekerasan baik fisik, mental, verbal hingga seksual. Penghuni panti juga mengalami nasib yang lebih buruk dari tahanan atau narapidana.
”Kalau tahanan dan narapidana bisa tahu berapa masa hukumannya, kapan akan dibebaskan, tetapi kalau di panti, tidak ada satu pun penyandang disabilitas yang tahu kapan mereka bisa keluar atau bebas dari tempat tersebut,” papar Yeni.
Baca Juga: Penyandang Disabilitas Mental di Panti Sosial Terlupakan
Situasi dan kondisi PD mental di panti-panti rehabilitasi sosial sudah disuarakan Yeni bersama organisasi dan lembaga HAM di Indonesia ataupun internasional. Pemerintah didesak segera membebaskan para PD mental dari panti-panti rehabilitasi sosial, yang selama ini melakukan penyiksaan tersembunyi.
Komisioner Komnas HAM (periode 2022-2027) Uli Parulian Sihombing menegaskan pemasungan adalah perlakuan yang tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Pemasungan dapat dianggap sebagai penyiksaan, ketika tindakan tersebut mengakibatkan penderitaan yang berat dengan tujuan mendiskriminasi yang dilakukan atas pengetahuan aparat negara.
”Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak boleh dikenakan terhadap penyandang disabilitas mental. Negara harus melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk menghapuskan stigma terhadap penyandang disabilitas mental,” tegas Uli.
Haris Azhar, aktivis HAM dan advokat mengungkapkan praktik buruk yang terjadi di sejumlah panti sosial penting mendapat perhatian. Akan tetapi, dia juga mengingatkan agar tidak mengabaikan bahwa ada panti sosial yang juga memiliki praktik baik.
Karena itu, perlu ada upaya advokatif yang mengubah kondisi panti. Standar yang digunakan jangan standar sosial, tetapi standar kesehatan. Maka, orang-orang tidak masuk kategori tidak sehat tidak bisa masuk ke dalam panti sosial.
”Karena banyak saya lihat, panti sosial digunakan untuk menjadi tempat pengekangan bukan kepada mereka yang tidak sehat, tapi mereka yang ditolak secara sosial, dianggap aneh, tidak diinginkan, menjadi beban. ada lagi ketidakjelasan status. Ini yang sering dipakai untuk mengantar orang ke panti,” tegas Haris.
Pelanggaran HAM terhadap PD mental mengundang pertanyaan. Sebab, bukan hanya konstitusi mengamanatkan perlindungan HAM, Indonesia juga meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan menerbitkan sejumlah regulasi yang melindungi PD.
”Kalau dari undang-undang sudah cukup. Tapi pertanyaannya, mengapa masih ada persoalan serius terutama PD mental. Mengapa pasung yang katanya akan dihentikan sejak sekitar sepuluh tahun lalu, Indonesia bebas pasung, kok masih ada? Lalu kenapa panti-panti rehabilitasi sosial yang situasinya menyeramkan itu bisa ada di Indonesia?” ujar Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM 2017-2022.
Sandra mengungkapkan ketika menjadi komisioner Komnas HAM beberapa kali melakukan pemantauan dan pengkajian soal PD mental. Hasilnya yang ditemukan antara lain stigma masyarakat yang menganggap PD mental sebagai ODGJ masih sangat kuat. ”Padahal, di masyarakat adat misalnya, PD mental tetap hidup di tengah masyarakat. Tapi ini tidak menonjol,” katanya.
Dia menilai usulan deinstitusionalisasi panti-panti rehabilitasi sosial bisa dilakukan, dengan syarat ada alternatif tempat tinggal PD mental seperti asrama dan tempat tinggal yang alternatif lain, ketika keluarga tidak bisa menerima lagi PD mental. ”Ini yang harus disiapkan negara,” papar Sandra.
"Mengapa pasung yang katanya akan dihentikan sejak sekitar sepuluh tahun lalu, Indonesia bebas pasung, kok masih ada? Lalu kenapa panti-panti rehabilitasi sosial yang situasinya menyeramkan itu bisa ada di Indonesia?”
Pokja P5HAM
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberi perhatian atas isu tersebut. Pada akhir 2021 Kelompok Kerja (Pokja) Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (P5HAM) Bagi Penyandang Disabilitas Mental pun diluncurkan.
Pembentukan Pokja P5HAM bagi PD mental sebagai upaya yang bersifat multisektoral baik dari kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, untuk melakukan pembinaan, evaluasi, dan monitoring terhadap keberadaan PD mental.
Sejumlah foto pilihan yang berbicara mengenai kondisi penyandang disabilitas mental yang berada di dalam panti rehabilitasi dihadirkan Perhimpunan Jiwa Sehat di sekitar tempat Seminar Internasional ”Penyiksaan yang tersembunyi: Kondisi Institusionalisasi Penyandang Disabilitas di Indonesia” di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra menegaskan, situasi pelanggaran HAM terhadap PD mental ditemukan Pokja-P5HAM saat mengunjungi sejumlah panti rehabilitasi sosial, antara lain di wilayah Jabodetabek, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, pada periode 2022-Juni 2023.
Dari hasil kunjungan tersebut ditemukan fakta adanya temuan pelanggaran HAM bagi PDM, berupa pemasungan dan kekerasan di beberapa panti. Hal tersebut merupakan bentuk penyiksaan tersembunyi terhadap PD mental.
Temuan-temuan akan adanya pelanggaran HAM terhadap PD mental di sejumlah panti rehabilitasi sosial, diharapkan semakin mendorong pemerintah untuk mencari jalan keluar. Pemantauan dan evaluasi, serta langkah-langkah membebaskan para PD mental yang mengalami perlakuan tidak manusia harus segera dilakukan pemerintah. Sudah saatnya negara hadir menghentikan praktik pelanggaran HAM bagi PD mental.