Generasi Muda Menanti Komitmen Bakal Capres Atasi Krisis Iklim
Survei terbaru menunjukkan generasi Z dan milenial sangat peduli terhadap krisis iklim dibandingkan generasi di atasnya. Mereka menanti gagasan dan komitmen para bakal capres untuk menyelamatkan Bumi demi masa depan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat generasi Z dan milenial dianggap lebih kritis dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kebijakan pencegahan krisis iklim dan khawatir akan kondisi Bumi yang memburuk. Mereka menanti gagasan para bakal calon presiden untuk transisi energi demi menyelamatkan generasi masa depan.
Hal ini terungkap dalam survei secara daring yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Unitrend kepada 1.245 responden dari 13 provinsi pada 31 Maret sampai 15 April 2023. Hasil survei menunjukkan, responden generasi Z dan milenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal nyata dan sudah dirasakan, sedangkan 5 persen responden usia 45-54 tahun menjawab tidak nyata.
Ini mengungkapkan bahwa generasi muda lebih peduli akan kondisi Bumi di masa depan. Mereka juga lebih melek digital sehingga banyak mengetahui informasi tentang krisis iklim. Tidak jarang pula anak muda yang turut serta dalam aksi melawan krisis iklim lewat media sosial.
”Ada potensi anak muda untuk mengawal proses dan kebijakan transisi energi yang dilakukan pemerintah, termasuk salah satunya JETP (Just Energy Transition Partnership) atau Transisi Energi Berkeadilan,” kata Rizki Ardinanta, peneliti Institute for Policy Development, saat peluncuran laporan survei secara daring, Jakarta, Selasa (5/9/2023).
Masalah krisis iklim dan lingkungan ini jangan dinomorduakan dan kalah dengan isu perkoalisian, jadi apa yang ingin diperbuat capres nanti akan berdampak banyak pada generasi masa depan.
Sementara itu, 60 persen responden, mayoritas gen z dan milenial, menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia. Beberapa aturan yang dikeluarkan pemerintah, seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris 2015 (Paris Agreement), dianggap masih longgar dalam implementasinya.
Secara umum, survei ini menunjukkan 81 persen masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim. Terlebih bagi responden yang berasal dari luar Pulau Jawa, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Mereka mendesak keseriusan langkah pemerintah untuk kelestarian alam di wilayah penghasil tambang, smelter, dan industri ekstraktif.
”Persepsi mengenai darurat iklim sangat ditentukan kondisi lingkungan yang dihadapi masyarakat. Semakin sering seseorang menghadapi ancaman kerusakan ekosistem atau gejala ekstrem dari perubahan iklim, mereka akan cenderung memiliki perspektif darurat iklim,” ucapnya.
Oleh sebab itu, masyarakat, khususnya generasi z dan milenial, menanti gagasan para bakal capres terkait isu krisis iklim. Isu ini akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi mereka dalam memilih calon presiden pada Pilpres 2024.
Bakal capres
Dalam survei ini ditemukan bahwa bakal capres Anies Baswedan dianggap paling banyak membicarakan isu lingkungan yakni, 31 persen, disusul Prabowo Subianto 25 persen, dan Ganjar Pranowo 23 persen. Anies juga dianggap paling peka pada isu lingkungan sebesar 32 persen, lalu Ganjar 23 persen, dan Prabowo 14 persen.
Rizki menilai, ini disebabkan oleh Anies yang berada di sisi berseberangan dengan pemerintah lebih leluasa mengkritik kebijakan pemerintah soal lingkungan, sementara Ganjar dan Prabowo sebaliknya. Di media sosial, Anies juga sering mempromosikan kinerjanya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan mengklaim kebijakan ganjil-genap, membebaskan pajak mobil listrik, dan sistem transportasi terintegrasi berhasil.
”Selain itu, dalam berbagai kesempatan kampanye Anies keras mengkritik kebijakan subsidi mobil listrik yang tidak efektif dan tidak berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah,” tutur Rizki.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyarankan para bakal capres berani membuat kontrak politik dengan masyarakat sehingga masyarakat bisa menagih jika saat terpilih, kebijakannya terkait penanganan krisis iklim tidak terpenuhi.
”Jangan sampai kita dibohongi lagi seperti kemarin yang termakan janji manis politik, jangan sampai terulang lagi bagus kampanye di awal dan saat terpilih melupakan itu semua,” kata Bondan.
Dengan temuan tersebut, para bakal capres harus mulai menyampaikan gagasan, program, dan komitmennya terhadap isu lingkungan hidup. Semua itu harus ditegaskan selama kampanye sehingga selain kampanye politik, para bakal capres juga bisa membantu memberikan edukasi lingkungan pada masyarakat.
”Masalah krisis iklim dan lingkungan ini jangan dinomorduakan dan kalah dengan isu perkoalisian, jadi apa yang ingin diperbuat capres nanti akan berdampak banyak pada generasi masa depan,” kata Direktur Celios Bhima Yudhistira.