Emisi Batubara G20 Terus Meningkat, Indonesia Tertinggi Lonjakannya
Indonesia mengalami lonjakan emisi batubara per kapita tertinggi di antara blok negara-negara G20.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Analisis terbaru menunjukkan, emisi batubara per kapita dari negara-negara ekomomi besar anggota G20 terus meningkat. Indonesia termasuk yang mengalami lonjakan emisi batubara per kapita tertinggi di antara blok negara-negara G20.
Laporan yang dikeluarkan Ember, lembaga penelitian di sektor energi, pada Selasa (5/9/2023) ini menyebutkan, antara tahun 2015 dan 2022, emisi batubara per kapita di negara-negara anggota G20 naik 9 persen. Sebanyak 12 anggota G20, termasuk Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat, mampu menurunkan emisi per kapita. Sekalipun demikian, emisi yang dikeluarkan negara-negara ini masih jauh di atas rata-rata global per kapita.
Sementara itu, negara-negara lain yang menjadi anggota G20, meliputi India, Indonesia, China, Australia, dan Korea Selatan, mengalami peningkatan emisi yang signifikan. Indonesia, yang tahun lalu menerima janji dana transisi energi (just energy transition partnership/JETP) sebesar 20 miliar dollar AS dari negara-negara kaya untuk mengurangi penggunaan batubara, mengalami lonjakan emisi per kapita tertinggi di antara negara-negara G20 sekalipun secara total masih di bawah rata-rata global per kapita.
Peningkatan pembangkit listrik tenaga angin dan surya membantu mengurangi emisi tenaga batubara per kapita di banyak negara, tetapi hal ini belum cukup untuk mengimbangi peningkatan permintaan listrik di sebagian besar negara berkembang.
Laporan ini menyebutkan, emisi tenaga batubara per kapita di Indonesia melonjak 56 persen dari tahun 2015 hingga 2022 (+0,2 tCO2). Turki juga mengalami peningkatan emisi per kapita yang signifikan sebesar 41 persen (+0,3 tCO2).
Sementara itu, emisi pembangkit listrik tenaga batubara per kapita di China meningkat 30 persen (+0,7 tCO2 dari tahun 2015 hingga 2022), hanya berada di bawah Australia dan Korea Selatan.
”China dan India sering disalahkan sebagai penghasil polusi terbesar di dunia yang berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara,” kata Dave Jones, peneliti dari Ember, dalam keterangan tertulis. ”Tetapi, jika kita memperhitungkan populasinya, Korea Selatan dan Australia adalah negara yang menghasilkan polusi terburuk pada 2022.”
Australia dan Korea Selatan rata-rata merupakan dua pencemar batubara terbesar di G20, masing-masing mengeluarkan emisi batubara per kapita tiga kali lebih banyak dibanding rata-rata orang di dunia. Negara-negara ini menyumbang 80 persen emisi global.
Australia dan Korea Selatan sebenarnya berhasil menurunkan emisi batubara per kapita masing-masing 26 persen dan 10 persen sejak tahun 2015. Namun, karena titik awal mereka masih jauh di depan, negara-negara tersebut masih memimpin dalam polusi batubara dengan jumlah lebih dari tiga kali lipat rata-rata dunia.
Di antara negara-negara G20, emisi pembangkit listrik tenaga batubara per kapita di Australia masih merupakan yang tertinggi karena negara ini terus bergantung pada batubara, yang mencakup 48 persen pembangkit listrik negara tersebut (130,9 TWh) pada 2022. Australia juga masih gagal mencapai target yang ingin dicapai pada 2030, yaitu 82 persen pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik.
Tidak memadai
Laporan ini juga menunjukkan, kecepatan transisi bersih tidak cukup cepat untuk membantu mendorong pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan menjaga peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celcius. Dengan semakin dekatnya tenggat waktu untuk membatasi kenaikan suhu global ini, negara-negara G20 harus bersatu dalam upaya mereka untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga batubara secara cepat dan besar-besaran.
”India, sebagai tuan rumah KTT G20, mempunyai peluang untuk mengambil alih kepemimpinan iklim di G20 dan meminta pertanggungjawaban blok tersebut. Rencana India untuk meningkatkan energi terbarukan tampaknya sejalan dengan seruan Presiden COP28 untuk meningkatkan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat pada 2030,” kata Aditya Lolla, Kepala Program Asia Ember.
”Peningkatan pembangkit listrik tenaga angin dan surya membantu mengurangi emisi tenaga batubara per kapita di banyak negara, tetapi hal ini belum cukup mengimbangi peningkatan permintaan listrik di sebagian besar negara berkembang,” laporan tersebut memperingatkan.
Ember meminta anggota G20 menyetujui peningkatan tiga kali lipat energi terbarukan pada 2030 dan menawarkan kebijakan yang jelas mengenai penghentian penggunaan tenaga batubara. Para pemimpin kelompok G20 dijadwalkan bertemu di New Delhi akhir pekan ini. Sebelumnya, dalam pembicaraan pada Juli 2023, mereka gagal menyepakati bahwa emisi global harus mencapai puncaknya pada 2025 yang kemudian diikuti meningkatkan penggunaan energi terbarukan secara besar-besaran.