Derasnya arus informasi perlu dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis. Sumber informasi kian beragam, tetapi belum tentu akurat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi digital mempermudah masyarakat mengakses informasi. Meningkatnya penggunaan internet membuat distribusi informasi lebih luas. Kemampuan berpikir kritis semakin dibutuhkan agar tidak keliru memahami persoalan di tengah derasnya arus informasi itu.
Sumber informasi pun kian beragam, salah satunya media sosial. Padahal, informasi yang dibagikan di media sosial belum tentu terkonfirmasi sehingga perlu diuji kebenarannya.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, A Setyo Wibowo, mengatakan, teknologi membuat segala sesuatu berubah cepat. Namun, bukan berarti manusia tergilas oleh kecepatan arus informasi itu dan tidak mampu mencernanya.
”Kita perlu berpikir kritis. Itu artinya mengambil jarak terhadap semua kecepatan ini. Dengan melambat, saya berharap bisa mengambil sikap. Dari situ, berpikir kritis dan logis dapat dibangun,” ujarnya pada gelar wicara ”Mendidik Akal, Mengolah Rasa, Menyambut Dunia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (3/9/2023). Acara ini merupakan rangkaian kegiatan Pesta Literasi Indonesia 2023 yang digelar Gramedia Pustaka Utama.
Setyo mengibaratkan informasi di media sosial sebagai bayang-bayang yang belum menjamin kebenaran. Jadi, bisa berakibat fatal jika menyimpulkan persoalan hanya berdasarkan informasi dari media sosial.
Diperlukan penelusuran lebih lanjut, termasuk dengan mengonfirmasi terhadap subyek yang menyampaikan informasi. Namun, itu pun belum tentu langsung dapat dipercaya karena masih berupa opini.
”Pengetahuan yang muncul dari bayang-bayang, kebenarannya pada level konjektural (dugaan). Kalau menyimpulkan dari yang ada di sekitar, itu baru opini. Jika mau cari kebenaran, harus masuk ke penalaran lebih abstrak,” jelasnya.
Setyo menuturkan, berpikir kritis dan logis dapat dimulai dari rasa takjub. Kekaguman akan membuat seseorang mulai berpikir dan berimajinasi. Kemudian di balik itu muncul hasrat untuk mencari kebenaran.
”Berfilsafat serta berpikir kritis dan logis harus disertai jawaban. Kita takjub, lalu menganalisis, menemukan masalah, mempertanyakan, dan memberikan jawaban, selemah apa pun jawabannya. Selain itu, selalu terbuka pada diskursus,” ucapnya.
Pendiri agensi digital Think.Web, AnantyaVan Bronckhorst, mengatakan, teknologi memberikan banyak kemudahan bagi aktivitas manusia. Informasi pun semakin mudah diakses. Namun, banjir informasi juga menjadi tantangan dalam memilah dan memilihnya.
”Pada akhirnya, kita memerlukan kemampuan berpikir kritis agar bisa mengolah informasi untuk mendapatkan apa yang benar dan dapat diterima,” ujarnya.
Anantya menyarankan untuk mencari informasi lebih dari satu sumber. Hal ini diyakini akan memudahkan dalam mengambil keputusan.
Menurut dia, kemampuan berpikir kritis perlu diajarkan sejak dini. Salah satu caranya dengan membiasakan anak-anak untuk memilah dan memilih informasi.
”Melatih kesadaran dan jangan terburu-buru. Teknologi memang membawa kebaikan, tetapi kejahatan juga masuk ke ranah digital,” ucapnya.
Budaya literasi
Pesta Literasi Indonesia yang dalam dua edisi sebelumnya bernama Ruang Tengah melibatkan lebih dari 50 penulis, musisi, penyair, dan pegiat kuliner. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan budaya literasi di Tanah Air.
Selain gelar wicara, kegiatan yang berlangsung pada 1-3 September 2023 itu juga mengadakan diskusi panel, bazar buku dan makanan, lomba mewarnai, hingga konser literasi. Chief Editor Gramedia Pustaka Utama Andi Tarigan berharap ke depan Pesta Literasi Indonesia dapat menggandeng lebih banyak penerbit, penulis, dan pegiat literasi lainnya untuk menumbuhkan budaya membaca.
”Bicara ke depan tidak bisa melepaskan dunia anak. Setidaknya mereka pegang sebuah buku dulu. Mereka punya interaksi dengan dunia literasi. Mewarnai menjadi salah satu pintu masuk. Dengan mewarnai, mereka akan melihat bukunya, melihat ceritanya,” katanya.
Selama acara berlangsung digelar editor klinik bagi pengunjung yang ingin menerbitkan naskah atau berkonsultasi agar naskahnya bisa diterima penerbit. Erwin (21), pengunjung asal Depok, Jawa Barat, mengatakan, pesta literasi itu menambah wawasan masyarakat mengenai dunia tulis-menulis dan perbukuan. Ia berharap, kegiatan serupa juga digelar di daerah-daerah lain.
”Literasi yang rendah menjadi persoalan serius bangsa kita. Lihat saja di media sosial, netizen Indonesia rajin komentar, tapi malas membaca. Alhasil, hoaks merajalela,” ucapnya.