Alat bantu napas khusus bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kini sudah diproduksi di dalam negeri. Diharapkan, alat yang merupakan karya anak bangsa tersebut bisa menekan risiko kecacatan dan kematian pada bayi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia masih tinggi. Menurut Survei Penduduk Antarsensus pada 2015, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 22 kasus per 1.000 kelahiran. Angka itu tertinggi kelima di Asia Tenggara setelah Laos, Myanmar, Kamboja, dan Filipina.
Kementerian Kesehatan menyebutkan, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga pada bayi baru lahir setelah infeksi neonatal dan prematuritas atau bayi berat lahir rendah. Survei Kesehatan Rumah Tangga pada 2011 pun melaporkan, 27 persen kematian bayi baru lahir disebabkan oleh asfiksia.
Asfiksia, menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah kondisi kegagalan bernapas secara spontan dan teratur yang terjadi pada bayi baru lahir. Asfiksia pada bayi baru lahir ini terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan karbon dioksida yang tidak segera diatasi.
Kondisi itu dapat menimbulkan penurunan oksigen dalam darah atau hipoksemia, peningkatan karbon dioksida darah atau hiperkarbia, dan peningkatan kadar asam dalam darah atau asidosis. Jika berlanjut, bayi dapat berisiko mengalami disfungsi multiorgan pada tubuh.
Alat ini bisa dipakai di semua tempat yang ada persalinannya, termasuk di puskesmas. Karena di puskesmas pun ditemukan kasus bayi lahir dengan gangguan napas.
Itu sebabnya, tata laksana resusitasi atau bantu napas untuk bayi yang mengalami asfiksia harus dilakukan secara optimal. Hal ini juga perlu didukung petugas kesehatan yang bisa melakukan resusitasi neonatus secara terampil dengan menggunakan alat resusitasi yang memadai. Dengan begitu, risiko kecacatan dan kematian akibat asfiksia pada bayi bisa ditekan.
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rinawati Rohsiswatmo mengungkapkan, alat bantu napas untuk bayi dirancang khusus dengan menggunakan campuran gas medis dan oksigen. Campuran gas medis diperlukan karena apabila alat bantu napas yang digunakan menggunakan 100 persen oksigen murni, hal itu malah bisa berisiko menyebabkan kebutaan pada bayi.
Namun, selama ini masih ditemukan tantangan dalam penggunaan alat resusitasi bagi bayi yang mengalami asfiksia. Ketersediaan alat tersebut masih terbatas. Selain itu, alat tersebut juga harus diimpor sehingga harganya relatif mahal.
Alat bantu napas
Hal itulah yang pada akhirnya mengerakkan Rinawati untuk meneliti dan mengembangkan alat bantu napas untuk bayi baru lahir agar bisa diproduksi di dalam negeri. Ide untuk menciptakan alat bantu napas tersebut mulai dikembangkan sejak 2013.
Kerja sama pun akhirnya dilakukan bersama para tenaga ahli di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), sekaligus turut menggandeng industri, yakni PT Fyrom Internasional. Sekitar tahun 2015-2017, uji coba dan pelatihan untuk penggunaan alat bantu napas buatan dalam negeri tersebut pun semakin dikembangkan hingga akhirnya dapat diproduksi dan digunakan oleh masyarakat.
Pelatihan penggunaan alat tersebut ke sejumlah tenaga kesehatan pun sudah dilakukan sejak 2018. Harapannya, ketika sudah didistribusikan secara masif, alat ini sudah bisa digunakan dengan baik sehingga tujuan untuk menolong bayi dengan asfiksia dan mencegah kematian bayi bisa dicapai.
”Alat yang kami kembangkan ini bisa dibawa-bawa (portable). Jadi, alat ini bisa dipakai di semua tempat yang ada persalinannya, termasuk di puskesmas. Karena di puskesmas pun ditemukan kasus bayi lahir dengan gangguan napas,” kata Rinawati dalam acara peluncuran ulang produk alat bantu napas bayi: Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator di Jakarta, Senin (14/8/2023).
Rinawati mengatakan, sekitar 10 persen bayi yang dilahirkan memiliki potensi mengalami gangguan pernapasan, mulai dari gangguan pernapasan ringan hingga berat. Karena itu, alat bantu napas perlu tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani persalinan bayi.
Secara teknis, alat ini digunakan sebagai alat bantu ventilasi positif (VTP) untuk membantu memberikan tekanan untuk mengembangkan paru-paru pada bayi. Alat ini pun bisa berfungsi sebagai kompresor sehingga ketika gas medis dicampur dengan oksigen murni, kadar oksigen tersebut dapat diatur sampai pada batas yang dibutuhkan.
Saat ini, alat bantu napas Mix Safe Transport Infant Blending Resuscitator yang dikembangkan oleh Rinawati dan timnya telah mendapatkan sertifikat hak atas kekayaan intelektual (HAKI) serta sertifikat ISO 13485. Alat ini pun sudah diproduksi dan didistribusikan oleh PT Fyrom Internasional.
Izin edar pun telah didapatkan dari Kementerian Kesehatan. Tidak hanya itu, alat ini juga sudah masuk dalam e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pemerintah (LKPP).
Adapun spesifikasi dari alat ini adalah memiliki dimensi panjang sekitar 260 milimeter, lebar 200 mm, dan tinggi 205 mm dengan berat sekitar 3 kilogram. Adapun baterai yang digunakan dapat bertahan hingga enam jam. Disediakan pula baterai cadangan agar bisa digunakan dalam waktu yang lebih panjang ketika harus merujuk bayi ke rumah sakit.
Rinawati mengatakan, dengan terciptanya alat bantu napas Mix Safe diharapkan dapat membantu menurunkan angka kematian bayi terkait asfiksia di Indonesia sekaligus menurunkan risiko kebutaan akibat penggunaan kadar oksigen murni 100 persen dalam bantuan napas. Selain itu, alat ini juga turut menghemat devisa negara karena pengadaan alat kesehatan impor. Alat Mix Safe Transport dikembangkan dengan bahan lokal hingga 80 persen.
Pengembangan
Meski begitu, Rinawati menyampaikan, berbagai pengembangan masih harus dilakukan. Saat ini, ia tengah berupaya agar alat ini bisa mendapatkan sertifikat dari Eropa atau Certificate of Europe agar bisa diekspor ke negara lain. Saat alat ini dipamerkan dalam The A2O2: Accelerating Access to Oxygen pada 2017 di Dubai, sejumlah negara seperti Afrika dan Timor Leste tertarik pada alat tersebut.
Pengembangan lain yang bisa dilakukan adalah membuat alat tambahan baru agar alat Mix Safe dapat digunakan pada bayi dengan tubuh yang sangat kecil. Bayi dengan tubuh yang sangat kecil dengan berat 500-600 gram memiliki bulu getar pada paru yang mudah rusak.
”Jadi harus membuat alat lagi agar gas yang masuk bisa hangat dan lembap. Dengan begitu, semakin banyak lagi bayi dengan asfiksia yang bisa kita tolong,” katanya.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono berharap agar seluruh komponen-komponen pada Mix Safe bisa dikembangkan di dalam negeri hingga memiliki tingkat komponen dalam negeri yang lebih maksimal. ”Belajar dari pandemi, kita kesulitan mendapatkan obat dan alat kesehatan karena 90 persen bahan baku obat dan 80 persen alat kesehatan masih diimpor. Kita kini harus punya kemandirian dan ketahanan di bidang kesehatan agar ke depan tidak bergantung pada negara lain,” ucapnya.