Di tengah situasi pandemi Covid-19, angka kematian ibu dan bayi melonjak. Intervensi untuk mencegah pasangan usia subur putus penggunaan alat kontrasepsi berperan penting dalam menekan kematian ibu dan bayi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kematian ibu dan bayi pada 2020 naik dari tahun sebelumnya. Peningkatan kejadian putus pakai alat kontrasepsi menjadi salah satu faktor penyebab. Berbagai upaya perlu dilakukan agar putus pakai alat kontrasepsi bisa dicegah, termasuk edukasi sejak dini terkait dengan kesehatan reproduksi.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Eni Gustina mengatakan, angka kematian ibu meningkat sebanyak 300 kasus dari 2019 menjadi sekitar 4.400 kematian pada 2020. Selain itu, peningkatan yang signifikan terjadi pada kasus kematian bayi.
”Kematian bayi pada 2019 sekitar 26.000 kasus. Itu meningkat hampir 40 persen menjadi 44.000 kasus pada 2020. Jika dikaitkan dengan masa pandemi, ini bisa terjadi karena putus pakai KB pada pasangan usia subur,” ujarnya di Jakarta, Senin (8/3/2021).
Eni mengatakan, petugas di setiap wilayah dinilai sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah pasangan usia subur putus pakai alat kontrasepsi (KB). Peraturan Kepala BKKBN menyatakan, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) boleh memberikan pil dan kondom untuk mencegah kejadian putus pakai KB.
Berbagai intervensi telah dilakukan untuk memastikan pasangan usia subur tetap memakai alat kontrasepsi, baik suntik, kondom, pil, implan, maupun metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Itu dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain peringatan hari besar, seperti Hari Keluarga Nasional yang menargetkan satu juta akseptor.
Kematian bayi pada 2019 sekitar 26.000 kasus. Itu meningkat hampir 40 persen menjadi 44.000 kasus pada 2020.
”Masalah lainnya ialah masih tingginya angka unmet need (kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi) serta kehamilan yang tidak diinginkan. Dari target yang harus dicapai sebesar 17,5 persen, kejadian yang dilaporkan justru naik menjadi 20,3 persen,” tutur Eni.
Melania Hidayat, Assistant Representative UNFPA (Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), menuturkan, kualitas pelayanan kesehatan reproduksi yang belum optimal bisa menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Selain itu, posisi perempuan yang masih lemah di masyarakat berperan menimbulkan kondisi yang dapat meningkatkan risiko kematian pada ibu.
”Perempuan berhak memperoleh akses pada kesehatan reproduksi karena itu bagian dari hak asasi manusia. Perempuan pun berhak merencanakan kehamilannya. Sayangnya hal ini belum disadari oleh masyarakat. Karena itu, edukasi dan informasi soal ini harus lebih disebar melalui berbagai media,” ucapnya.
Menurut Melania, edukasi terkait kesehatan reproduksi harus disampaikan sejak usia dini. Itu tidak terbatas pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Harapannya, edukasi ini dapat membuka wawasan dan kesadaran masyarakat luas mengenai kesehatan reproduksi.
Ketika seseorang tahu apa saja risiko yang bisa terjadi ketika hamil ataupun menikah di usia dini, dirinya akan sadar mengenai pentingnya hamil di usia tepat. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa usia perkawinan minimal 19 tahun.
Meski begitu, data Kementerian Agama menunjukkan, dari rata-rata sekitar 2,2 juta pernikahan setiap tahun, 49 persennya merupakan pernikahan dengan perempuan berusia di bawah 20 tahun. Pernikahan dini dengan usia melahirkan anak pertama di bawah 20 tahun berisiko pada kesehatan reproduksi serta meningkatkan risiko kematian pada ibu dan bayi.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, kesehatan perempuan harus dijaga. Apalagi perempuan memiliki peran besar dalam keluarga. Dari survei yang dilakukan BKKBN pada 19 April-3 Mei 2020, perempuan punya proporsi yang lebih besar untuk urusan keluarga dibandingkan dengan laki-laki.
Hal itu terlihat, antara lain, pada pekerjaan rumah yang lebih didominasi oleh perempuan. Sekitar 34,3 persen responden menyatakan pekerjaan rumah lebih didominasi oleh perempuan, sementara hanya 5,2 persen yang menyatakan dominasi pada laki-laki.
Selain itu, pada porsi mengingatkan hidup sehat dan mengingatkan beribadah dan berdoa lebih banyak yang menyatakan perempuan lebih mendominasi. Porsi laki-laki lebih dominan pada aspek mengingatkan berpikir dan berperilaku positif. Itu pun hanya lebih tinggi 0,1 poin dari responden yang menyatakan perempuan lebih mendominasi.