Uji Emisi Jadi Langkah Awal Pengendalian Polusi Udara
Uji emisi bisa menjadi langkah awal dalam pengendalian polusi. Upaya lain yang juga dinilai efektif adalah dengan pengembangan transportasi massal berkelanjutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Gas buangan pada kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab utama pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia, termasuk di wilayah Jabodetabek. Oleh karena itu, uji emisi bisa menjadi langkah awal dalam pengendalian polusi. Upaya lain yang juga dinilai efektif untuk mengendalikan polusi udara ialah dengan pengembangan transportasi massal yang berkelanjutan.
Peneliti Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hari Setiapraja mengemukakan, emisi kendaraan bisa dihasilkan dari berbagai sumber. Emisi ini merupakan gas buang yang berasal dari proses pembakaran yang keluar melalui knalpot kendaraan. Pada prinsipnya, pembakaran yang sempurna ini hanya akan menghasilkan karbondioksida (CO2), air (H2O), dinitrogen (N2), dan sedikit oksigen (O2).
”Namun, proses pembakaran yang tidak sempurna pada kendaraan akan menghasilkan senyawa yang berbahaya. Misalnya, karbonmonoksida, hidrokarbon, nitrogen oksida, dan particulate matter (PM),” ujarnya dalam diskusi daring terkait uji emisi kendaraan sebagai langkah awal dalam pengendalian polusi udara, Jumat (1/9/2023).
Selain proses pembakaran, emisi ini bisa berasal dari evaporasi bodi kendaraan. Jadi, bodi kendaraan bisa mengeluarkan emisi hidrokarbon bila terkena panas atau pada temperatur tertentu. Hal yang sama dapat terjadi melalui evaporasi dari sistem bahan bakar kendaraan.
Menurut Hari, emisi dari kendaraan seharusnya bisa dikontrol pada jangka waktu tertentu bila dilakukan evaluasi mulai dari tahapan pengembangan hingga penjualan. Kemudian ketika sudah digunakan konsumen, kendaraan tersebut idealnya dilakukan pemeriksaan rutin untuk melihat performa, termasuk menerapkan uji emisi.
Penerapan aturan standar kendaraan bermotor untuk membatasi emisi yang dihasilkan juga sangat penting dalam mengendalikan polusi udara. Saat ini, Indonesia baru menerapkan aturan standar Euro 4 yangmembuat kendaraan bermotor harus menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dengan minimal angka oktan 91 untuk bensin dan cetan 51 untuk solar.
Sementara aturan standar Euro 6 sudah ditetapkan Uni Eropa sejak 2014. Melalui Euro 6, setiap kendaraan bermesin bensin dan diesel harus menggunakan bahan bakar dengan nilai oktan yang tinggi dan tanpa timbal. Adapun batas emisi partikel PM yang dikeluarkan untuk dua jenis kendaraan tersebut ialah 0,005 gram per kilometer.
”Untuk melihat kendaraan, penerapan aturan Euro 1 atau 2 masih akan membuat kendaraan timbul asap yang kehitaman. Akan tetapi, ketika kita beralih ke teknologi tinggi, seperti Euro 4, ke atas, akan membuat asap kendaraan tidak tampak,” tuturnya.
Hari menilai, meski sudah terdapat regulasi, tidak adanya sanksi bagi para pelanggar membuat penerapan uji emisi kendaraan di Indonesia belum optimal. Pada akhirnya, kondisi ini menjadikan para pengguna kurang peduli terkait dengan emisi kendaraannya masing-masing.
Terlepas dari uji emisi dan penerapan teknologi terbaru, Hari menekankan bahwa langkah yang mungkin paling efektif dalam mengurangi dan mengendalikan polusi udara ialah dengan penggunaan transportasi massal yang berkelanjutan. Sistem transportasi ini secara konsep tidak menimbulkan dampak negatif karena mengedepankan penggunaan bahan bakar, emisi kendaraan, tingkat keamanan, kemacetan, serta akses sosial dan ekonomi.
”Pola pergerakan manusia juga harus dikontrol. Penguatan regulasi dan monitoring kendaraan memang bagus (dalam mengendalikan polusi). Namun, efeknya mungkin tidak akan seefektif ketika menerapkan sistem transportasi massal yang berkelanjutan,” katanya.
Kesadaran uji emisi
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menegaskan, berbagai solusi mitigasi untuk mengurangi munculnya emisi ini di antaranya dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat dalam melakukan uji emisi kendaraan.
Menurut Sigit, merujuk hasil inventarisasi dari beberapa kajian, sumber pencemar udara di Jakarta didominasi oleh sumber pencemar lokal. Selain itu, penyebab pencemaran udara Jakarta ditengarai berasal dari kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil.
Berdasarkan laporan inventarisasi emisi pencemar udara DKI Jakarta tahun 2020, sebanyak 44 persen sumber emisi di Jakarta berasal dari sektor transportasi. Kemudian, sektor penyumbang emisi lainnya meliputi industri energi (33 persen), perumahan (14 persen), manufaktur industri (10 persen), dan kegiatan komersial di gedung (1 persen).