Cukur Paksa Siswi di Lamongan Bentuk Kekerasan pada Anak
Sekolah adalah tempat mendidik anak-anak untuk memiliki bekal ilmu pengetahuan sehingga bisa meraih cita-citanya. Karena itu, tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun di dunia pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS — Perbuatan seorang guru SMP Negeri 1 Sukodadi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang mencukur paksa rambut belasan siswinya menuai kritik dan kecaman.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA) meminta anak-anak yang menjadi korban mendapat pendampingan.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam keras tindakan guru yang mencukur rambut siswi yang dianggap tidak mengenakan hijab dengan baik.
”Tindakan tersebut adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan pada anak di lingkungan pendidikan. Tindakan itu mencoreng nama baik pendidik dan institusi pendidikan karena bertentangan dengan prinsip dan tujuan pendidikan,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Nahe'i, di Jakarta, Jumat (1/9/2023).
Baca juga: Guru Mencukur Paksa Siswi Indikasi Pendidikan dengan Kekerasan
Sebagaimana diberitakan, seorang guru berinisial RR EWP mencukur paksa rambut dari 19 siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi, Rabu (23/8/2023).
Alasannya, belasan siswi itu tak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung. Pascakejadian, Dinas Pendidikan Lamongan membebastugaskan EWP dari tugas mengajar sampai waktu yang belum ditentukan.
Tindakan itu mencoreng nama baik pendidik dan institusi pendidikan karena bertentangan dengan prinsip dan tujuan pendidikan.
Komnas Perempuan mengingatkan, tindakan pencukuran rambut tersebut berkait langsung dengan kebijakan daerah yang diskriminatif mengenai kewajiban busana dengan simbol agama berdasarkan pemahaman tertentu yang kemudian diterjemahkan ke dalam lembaga pendidikan.
”Perempuan menjadi target dan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional berbasis jender. Sekurangnya masih ada 73 dari 114 kebijakan daerah sejak 1999 tentang pewajiban busana yang masih berlaku hingga kini,” ujar Nahe'i.
Atas peristiwa tersebut, Komnas Perempuan mendorong pemeriksaan yang menyeluruh atas tindak kekerasan tersebut dengan memastikan adanya pertanggungjawaban pada individu pelaku dan institusi pendidikan terkait.
Maka, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan penting untuk dijadikan rujukan agar kejadian serupa tak terulang.
Selanjutnya, agar pencegahannya komprehensif, Komnas perempuan mendorong pemerintah, pemerintah daerah, dan dinas pendidikan setempat untuk segera mencabut kebijakan diskriminatif, khususnya berkaitan dengan pewajiban mengenakan atribut keagamaan tertentu.
”Langkah tersebut sangat penting untuk memastikan lembaga pendidikan menjadi ruang yang ramah dalam menghargai keberagaman dan bebas kekerasan, termasuk keberagaman memaknai simbol kesalehan,” kata Nahe'i
Komnas Perempuan juga meminta Dinas Pendidikan dan Unit Pelayanan Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (UPTD PPPA) segera memberikan pemulihan traumatik terhadap siswi yang menjadi korban tindak kekerasan tersebut ataupun yang mengalami perundungan lainnya.
Selain itu, kegiatan pembinaan juga mesti dilakukan untuk mencegah tindakan kekerasan dan diskriminatif atas nama agama kembali terjadi di lingkungan pendidikan.
Sanksi semena-mena
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menegaskan, KPAI akan melihat kekerasan fisik dan psikis yang dialami anak. ”Kami akan mengawasi karena ada yang bertindak atas nama pendisiplinan, penghukuman, tetapi memakai kekerasan. KPAI tidak mau ada preseden seperti itu dan diselesaikan kekeluargaan,” kata Ai Maryati.
Jika mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Permendikbudristek No 46/2003, harus ada sanksi atas perbuatan tersebut, bahkan sanksi pidana jika ada laporan kepada kepolisian.
”Saya kira kita harus berbenah. Kita tidak mau lagi dunia pendidikan tercoreng atas tindakan kesewenangan yang mengatasnamakan pendisiplinan. Ini salah kaprah, seseorang melakukannya dengan kekerasan,” kata Ai Maryati.
Baca juga: LBH Surabaya Dorong Proses Hukum Guru Cukur Paksa Siswi di Lamongan
Secara terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menegaskan, apa pun alasannya, termasuk penegakan tata tertib, tenaga pendidik harus mengedepankan hak dan kepentingan terbaik anak. Pemberian sanksi pada siswa yang tak layak, apalagi semena-mena bertolak belakang dengan prinsip pendidikan.
“Kami sangat menyesalkan tindakan pemberian hukuman yang dilakukan oknum guru pada sejumlah siswi dengan melakukan pembotakan. Padahal, hukuman fisik berdampak negatif bagi anak, seperti terhambatnya perkembangan anak, rasa tak aman, rendahnya kreativitas bahkan kematian,” ujarnya.
Nahar juga mengingatkan kepada satuan pendidikan untuk mencegah kekerasan fisik atau psikis di sekolah sesuai Permendikbudristek 46/2003. “Kami berharap tidak terjadi lagi pemberian hukuman yang menyebabkan anak tertekan sehingga memiliki hambatan fisik dan psikis,” katanya.
Adapun oknum guru tersebut yang melakukan tindakan pembotakan dapat diberikan sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Sanksi tersebut bisa diberikan jika perbuatannya memenuhi unsur memperlakukan anak secara diskriminatif sehingga anak mengalami kerugian material dan moral serta melakukan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak sebagaimana diatur UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Nahar meminta UPTD PPA Kabupaten Lamongan dan Jawa Timur melakukan penjangkauan ke lokasi kejadian untuk mengetahui kondisi para siswa yang mengalami pembotakan.
”Saat ini kami berkoordinasi dengan UPTD PPA Lamongan dan UPTD PPA Jawa Timur untuk memantau perkembangan kasus ini. Kami juga berkoordinasi untuk memastikan anak-anak yang mengalami pembotakan mendapatkan pendampingan,” ucap Nahar.