Era penyeragaman untuk pendidikan tinggi diakhiri. Pemerintah memberikan kemerdekaan bagi tiap perguruan tinggi menyusun standar pendidikan, termasuk pilihan tugas akhir kelulusan program sarjana dan pascasarjana.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Syarat kelulusan mahasiswa sarjana dan pascasarjana di perguruan tinggi yang sebelumnya wajib menggunakan skripsi, tesis, atau disertasi, dihapuskan. Dalam standar nasional pendidikan tinggi tahun 2023 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, perguruan tinggi mendapat kemerdekaan untuk memberikan tugas akhir kepada mahasiswa program sarjana dan pascasarjana melalui bentuk lain.
Kebijakan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan sebagai landasan peluncuran Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Pasal 18, 19, dan 20 Peraturan Mendikbudristek tersebut menyatakan, mahasiswa sarjana ataupun sarjana terapan dapat diberikan tugas akhir dalam bentuk selain skripsi, seperti prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun kelompok.
Adapun untuk program magister atau magister terapan dan doktor atau doktor terapan wajib diberikan tugas akhir. Namun, bentuknya tidak hanya tesis atau disertasi, bisa juga prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis. Tidak ada lagi kewajiban mahasiswa pascasarjana untuk membuat publikasi karya ilmiah yang terbit di jurnal ilmiah bereputasi nasional ataupun internasional. Namun, kebijakan ini bergantung pada tiap perguruan tinggi.
Dekan Sekolah STEM Terapan Universitas Prasetiya Mulya Stevanus Wisnu Wijaya, yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/8/2023), mengatakan, sejak sekolah STEM terapan didirikan tahun 2017, tugas akhir mahasiswa untuk lulus sarjana diberikan pilihan.
Para mahasiwa bisa memilih tugas akhir skripsi yang berarti melakukan riset berkaitan dengan masalah yang dihadapi dunia usaha dan dunia industri dan mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan itu berdasarkan studi kasus yang ada. Pilihan lain adalah capstone project yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membuat sistem atau produk.
”Kami memfasilitasi minat mahasiswa untuk membuat tugas akhir. Mahasiswa yang suka meneliti dan membaca jurnal ilmiah biasanya memilih skripsi. Sementara mahasiswa yang sangat terapan biasanya memilih capstone project. Meskipun membuat proyek, mereka tetap harus membuat laporan tertulis dengan bentuk yang lebih sederhana dari skripsi. Mahasiswa biasanya lebih antusias mengerjakan tugas akhir yang sesuai dengan minat mereka,” kata Stevanus.
Sementara itu, Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, sejak tahun 2019 kampus ini tidak mewajibkan mahasiswa membuat skripsi. Sebagai contoh mahasiswa program pendidikan bisnis yang tugas akhirnya berupa membuat perencanaan bisnis. Terdapat nilai tinggi bagi mahasiswa yang berhasil sampai bisa menjalankan ide bisnisnya.
Menulis, kan, salah satu kemampuan komunikasi yang penting dan juga menunjukkan cara berpikir seseorang.
”Namun, tetap tugas akhir dengan membuat laporan tertulis, tapi tidak harus dari hasil riset. Sebab, tidak semua akan jadi peneliti. Kami tetap mewajibkan menulis laporan karena menulis, kan, salah satu kemampuan komunikasi yang penting dan juga menunjukkan cara berpikir seseorang,” kata Arief.
Direktur Politeknik Negeri Elektronika Negeri Surabaya Ali Ridho Barakbah mengatakan, keleluasaan diberikan pada perguruan tinggi untuk mengembangkan standar pendidikan di kampus masing-masing diyakini dapat mendorong pendidikan tinggi vokasi yang mampu menjalin hubungan erat dengan dunia usaha dan dunia industri.
Ali mengatakan, ketika politeknik melakukan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri, biasanya ditemukan masalah nyata yang penyelesaiannya diserahkan kepada politeknik.
”Kami biasanya melibatkan mahasiswa. Terdapat program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM yang membantu pengakuan SKS. Untuk yang kompleksitasnya besar bisa dilanjutkan ke proyek akhir. Dengan aturan baru ini, mahasiswa dapat mendukung project based learning,” ujar Ali.
Tergantung perguruan tinggi
Nadiem menyebutkan, standar nasional pendidikan tinggi Dikti baru memerdekakan perguruan tinggi. Untuk standar kelulusan, mahasiswa sarjana/sarjana terapan tidak wajib membuat skripsi. Mahasiswa S-2/magister tidak wajib membuat tesis dan publikasi di jurnal ilmiah, serta S-3 tidak wajib disertasi dan publikasi di jurnal berupatasi internasional.
”Jika PT masih memilih skripsi atau publikasi ilmiah, itu tetap boleh. Hal ini juga baik. Sebaliknya, yang memilih tugas akhir mahasiswa dalam bentuk lain juga boleh. Tugas akhir untuk meraih sarjana, magister, dan doktor yang dipukul rata wajib publikasi karya ilmiah bisa dalam bentuk prototipe atau bentuk lain,” kata Nadiem.
Apalagi, di pendidikan vokasi, kata Nadiem, penilaian capaian kompetensi mahasiswa tidak bisa terbatas ditunjukkan dengan skripsi atau penulisan karya ilmiah. Ada uji kompetensi dengan bukti sertifikasi kompetensi yang dilakukan industri untuk menujukkan kompetensi mahasiswa.
”Bukan Kemendikbudristek lagi yang menentukan bentuk tugas akhir, tapi kepala prodi atau perguruan tinggi yang bisa menenentukan standar capaian kelulusan. Perguruan tinggi menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi dalam bentuk proyek atau prototipe. Jadi, tidak hanya skirpis, tesis, atau disertasi. Keputusannya ada di perguruan tinggi,” kata Nadiem.
Publikasi Jurnal
Secara terpisah, Kepala Departemen Komunikasi Doctoral Epistemic of Indonesian in United Kingdom (Doctrine-UK) Yohan Rubiyantoro, yang kini menjalani studi doktoral program Educational Leadership di University of Nottingham, Inggris, menjelaskan, mayoritas program magister di Inggris tidak mewajibkan publikasi di jurnal. Kelulusan mahasiswa ditentukan dari nilai mata kuliah yang mereka ambil dan penulisan tesis di akhir semester. Tesis ini bobotnya biasanya mencapai sepertiga dari total kredit/SKS.
Panjang tesis biasanya sekitar 10.000 kata atau kurang lebih 20 halaman. Namun, jumlah ini tergantung universitas dan program studi, ada yang lebih banyak dan lebih sedikit. Program studi eksakta biasanya mensyaratkan jumlah halaman tesis lebih sedikit.
Adapun untuk program doktoral terdapat dua jalur yang bisa dipilih mahasiswa. Jalur pertama, jalur yang tidak mewajibkan publikasi jurnal. Kelulusan hanya ditentukan berdasarkan disertasi.
”Seperti halnya program doktor yang saya ambil saat ini, saya tidak wajib menulis jurnal ilmiah. Kelulusan saya ditentukan dari disertasi yang saya tulis sebanyak maksimal 100.000 kata atau maksimal sekitar 200 halaman, yang akan disidangkan di akhir masa studi. Ini jalur yang populer dan paling banyak ditempuh mahasiswa Indonesia,” kata Yohan.
Ada pula sebagian kecil mahasiswa doktoral yang mengambil jalur kedua, yaitu program doktor berdasar jurnal ilmiah. Biasanya, selama program studi mereka diarahkan untuk publikasi di jurnal internasional sebanyak dua artikel atau lebih. Jalur ini juga mensyaratkan penulisan disertasi, tetapi ketentuan jumlah halamannya biasanya lebih sedikit. Bentuk disertasinya biasanya adalah gabungan/rangkuman dari jurnal-jurnal yang sudah diterbitkan mahasiswa yang bersangkutan.
”Pilihan atas dua jalur ini program doktor biasanya tergantung profesor/supervisor di tiap-tiap kampus, dan menyesuaikan kebutuhan mahasiswa,” kata Yohan.
Yang berprofesi sebagai akademisi atau peneliti memilih doktor dengan publikasi ilmiah sebetulnya lebih menguntungkan. Sebab, hal itu dapat masuk dalam portofolio mereka dan juga dapat dimasukan dalam penilaian angka kredit dosen.
Mahasiswa yang berencana menjadi dosen atau peneliti juga lebih diuntungkan sebab biasanya lowongan dosen mensyaratkan kandidat memiliki tulisan yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional.
”Namun, jalur PhD journal based ini kurang populer di Inggris dibanding disertasi. Sebab, untuk bisa publikasi artikel di jurnal internasional itu prosesnya cukup panjang dan memakan waktu yang relatif cukup lama,” ujar Yohan.