Diaspora Indonesia yang Memilih Pulang ke Tanah Air Semakin Meningkat
Kiprah diaspora Indonesia di berbagai sektor ekonomi di banyak negara menunjukkan potensi talenta Indonesia yang diterima secara global. Sebenarnya banyak diaspora yang ingin berkiprah di Tanah Air.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minat diaspora Indonesia di berbagai negara untuk kembali ke Tanah Air mengalami peningkatan. Selain alasan keluarga, keyakinan tentang kondisi ekonomi Indonesia yang menjanjikan mendorong diaspora Indonesia untuk membangun karier di Tanah Air.
Berdasarkan laporan yang mengulas kesiapan orang Indonesia perantauan atau diaspora Indonesia untuk pulang ke Tanah Air yang dirilis perusahaan perekrutan profesional, Robert Walters,Rabu (30/8/2023), sebanyak tiga dari lima atau sekitar 60 persen dari diaspora Indonesia menyatakan berencana untuk kembali ke Tanah Air dalam 5 tahun ke depan. Temuan ini menunjukkan kenaikan. Data sebelumnya pada 2021 mencatat hanya 46 persen responden yang mempertimbangkan kembali ke Indonesia.
Survei oleh Robert Walters tersebut melibatkan 810 diaspora yang menetap di luar negeri. Seluruh responden yang terlibat mewakili empat kewarganegaraan di kawasan Asia Tenggara, yaitu Filipina, Singapura, Vietnam, dan Indonesia, dengan lebih dari 200 diaspora.
Inisiatif ini mengakomodasi para pekerja profesional Indonesia di luar negeri untuk mendapatkan peluang karier yang sesuai saat kembali ke kampung halaman.
Mayoritas responden yang terlibat merupakan profesional dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun. Mereka bekerja di berbagai sektor, seperti di bidang teknologi dan informasi, akuntansi dan keuangan, penjualandan pemasaran, rantai pasok, pengadaan dan logistik, serta teknik dan manufaktur.
Lebih lanjut, ditemukan ada 56 persen diaspora Indonesia menyatakan situasi ekonomi memengaruhi keputusan mereka untuk menetap di luar negeri ataupun kembali ke Indonesia.
Country HeadRobert Walters Indonesia Eric Mary mengatakan, banyaknya diaspora Indonesia yang membangun karier di luar negeri menunjukkan pengakuan akan keunggulan kompetitif talenta lokal di pasar kerja internasional. ”Hal inilah yang coba kami tangkap untuk memberikan pemahaman kepada para penyedia lapangan kerja dan pemilik perusahaan untuk mempersiapkan diri dalam menyambut kembali talenta-talenta ini saat siap kembali ke Tanah Air,” tuturnya.
Kenaikan minat diaspora Indonesia untuk kembali ke Tanah Air, lanjut Mary, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keinginan untuk mengurus orangtua dan tinggal lebih dekat dengan kerabat/pasangan di Indonesia (68 persen); adanya hubungan emosi, sosial, dan kultural yang mendalam dengan Indonesia (36 persen); peluang pekerjaan yang menarik (29 persen), ingin memberikan sumbangsih kepada negara (25 persen); dan keinginan untuk menghabiskan masa pensiun di Indonesia (20 persen).
Keinginan ini pun diperkuat dengan adanya pengaruh faktor ekonomi yang dianggap memberikan sentimen positif, yaitu keyakinan pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Indonesia (65 persen), meningkatnya permintaan akan kompetensi spesifik (skill set)di Indonesia (45 persen), peluang untuk berbisnis/berwirausaha (37 persen), dan munculnya industri baru yang cocok dengan keahlian (29 persen).
Diaspora enggan kembali
Terkait 35 persen diaspora Indonesia yang menyatakan enggan untuk kembali ke Indonesia, ada lima alasan utama yang menghalangi keinginan untuk pulang. Para diaspora melihat perbedaan standar besaran kompensasi dan manfaat yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asing dibandingkan dengan perusahaan di Indonesia (68 persen) dan kualitas hidup di Indonesia dari segi fasilitas publik, faktor keamanan, serta fasilitas masyarakat yang dinilai lebih rendah dibandingkan dengan di negara luar (45 persen).
Selain itu, situasi sosial di Indonesia juga dinilai kurang menguntungkan. Hal ini di antaranya dilihat dari segi tingkat keamanan publik, stabilitas politik, serta isu rasial (39 persen); kurangnya peluang pekerjaan untuk beberapa keahlian, adanya perbedaan budaya dan sistem bekerja (36 persen); serta keluarga yang telah beradaptasi dengan kehidupan di negara asing (24 persen).
Jika ditinjau dari faktor ekonomi, keengganan para diaspora kembali ke Indonesia ini karena menganggap kompetensi ahli lebih dihargai di luar negeri (66 persen), pemasukan di negara asing yang lebih berimbang dengan biaya hidup yang dikeluarkan (56 persen), ekonomi luar negeri yang lebih stabil (49 persen), serta inisiatif dan insentif pemerintah luar negeri yang lebih baik (35 persen).
Peluang berkarier di Tanah Air
Terkait keinginan dan peluang untuk kembali dan berkarier di kampung halaman, diaspora Indonesia mempertimbangkan beberapa aspek. Pertimbangan tersebut mulai dari gaji dan keseluruhan paket kompensasi yang ditawarkan, budaya perusahaan dan gaya kepemimpinan, pembagian tugas serta tanggung jawab, jenjang karier dalam perusahaan, serta ukuran dan karakter perusahaan/industri.
International Candidate ManagerRobert Walters Indonesia Belin Delannoy mengatakan, sejumlah diaspora Indonesia membuka kesempatan untuk kembali ke kampung halaman dan melanjutkan karier di Tanah Air dengan beberapa faktor pertimbangan. Hal inilah yang mendasari Robert Walters Indonesia menginisiasi program ”Pulang Kampung” sejak delapan tahun lalu.
”Inisiatif ini mengakomodasi para pekerja profesional Indonesia di luar negeri untuk mendapatkan peluang karier yang sesuai saat kembali ke kampung halaman,”kata Belin.
Ilmuwan sains halal dunia asal Indonesia, Irwandi Jaswir, yang berkarier di Malaysia, mengatakan, meskipun lama berkarier di negeri jiran hingga menjadi profesor di International Islamic University, ia tetap ingin kembali ke Indonesia. Selama ini dia juga selalu aktif mendukung perguruan tinggi dan mahsiswa Indonesia untuk menimba ilmu di Malaysia.
Keinginan kembali ke Tanah Air diharapkan Irwan sebagai kontribusinya ikut memajukan industri halal di Indonesia yang didukung dengan sains halal. Irwan sedih ketika melihat Indonesia dengan potensi 230 juta umat muslim tidak menjadi pemain inti industri halal dunia. Indonesia pun tidak banyak menikmati sektor halal dunia yang pasarnya mencapai 3,1 triliun dollar AS per tahun.
”Saya berharap bisa mendapat posisi yang strategis di pemerintahan untuk bisa berkontribusi mendukung kemajuan industri halal di Indonesia. Namun, belum ada tawaran ke arah sana,” kata Irwan.
Pilihan Irwandi untuk berkiprah sebagai ilmuwan sains halal terbuka. Dia dibujuk bergabung dengan universitas di Brunei Darussalam, tetapi ditolak. Tawaran juga datang dari negara di Timur Tengah dan Indonesia.
”Untuk sains halal, saya melihat terlalu banyak hal yang harus dikembangkan. Perlu terobosan yang progresif untuk mengatasi ketertinggalan. Saya sudah menyuarakan ini, pentingnya sains. Namun, belum ditangkap juga dan kita masih berkutat membangun ekosistem riset,” kata Irwandi.
Sementara itu, Kepala Departemen Komunikasi Doctoral Epistemic of Indonesia in the United Kingdom (Doctrine-UK) Yohan Rubiyantoro menuturkan, mayoritas mahasiswa magister dan doktoral Indonesia yang kuliah di Inggris pendanaannya berasal dari beasiswa pemerintah (LPDP, Beasiswa Kementerian Agama, Kemendikbudristek, dan lain-lain).
”Jadi sesuai kontrak memang harus kembali ke Indonesia setelah studi,” ujar Yohan yang kini menjalani studi doktoral program Educational Leadership di University of Nottingham, Inggris.
Diaspora Indonesia yang bekerja di Inggris, lanjut Yohan, biasanya saat kuliah master atau doktor di Inggris menggunakan beasiswa non-Pemerintah Indonesia. Misalnya beasiswa dari kampus di Inggris atau donor asing. Biasanya, beasiswa-beasiswa tersebut tidak mewajibkan harus kembali ke Indonesia.
”Di kalangan mahasiswa Indonesia, topik ini pun masih jadi pro-kontra. Inggris sedang kekurangan tenaga kerja, termasuk akademisi, antara lain imbas Brexit. Godaan menetap di sini memang besar. Saya pun sudah dua kali mendapat tawaran dari profesor/supervisor saya untuk menjadi dosen di sini,” kata Yohan yang merupakan pegawai negeri sipil di Kemendikbudristek.