Jangan Rampas Kemerdekaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Anak merupakan generasi penerus bangsa. Berbagai upaya harus dilakukan untuk melindungi anak-anak, termasuk saat anak terlibat dalam kejahatan. Perlu ada pendampingan agar anak tidak terjerumus kembali.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR, STEPHANUS ARANDITIO,, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya dilakukan melalui upaya-upaya yang didasarkan pada kepentingan terbaik anak. Namun, dalam praktiknya, ketika menangani kasus anak yang terkait tindak pidana, aparat penegak hukum masih belum mengedepankan perspektif perlindungan anak.
Acap kali aparat penegak hukum tidak menggunakan sepenuhnya mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ini membuat kemerdekaan anak terampas.
”Selama ini aparat penegak hukum cenderung menggunakan penahanan hanya khawatir anak melarikan diri atau sulit menemukan anak tersebut ketika akan diperiksa. Padahal, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar karena sebagian anak masih memiliki orangtua sehingga bisa dititipkan ke orangtua dan tidak merampas kemerdekaan anak,” ujar dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, Rabu (30/8/2023).
Aparat penegak hulum menurut Sofian selama ini masih belum netral dan belum mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Aparat juga seakan masih dipengaruhi oleh tekanan publik, misalnya ada dorongan untuk menahan anak.
Padahal, penahanan anak tidak diperlukan dan dihindari jika ada jaminan dari orangtua sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Dalam sejumlah kasus pidana anak, mental penegak hukum tidak pro kepada kepentingan terbaik anak, tetapi pro kepada suara publik yang ingin menempatkan anak di penjara (lembaga pembinaan khusus anak/LPKA). Penempatan anak di penjara justru malah bisa membahayakan masa depan anak.
”Padahal, UU SPPA mencegah anak untuk menghadapi sistem peradilan pidana karena mental anak akan rusak ketika mereka harus ditahan atau harus hadir di pengadilan,” tutur Sofian.
Rekomendasi litmas jarang digunakan
Upaya menyelamatkan anak-anak dari pemidanaan penjara sebenarnya sangat terbuka karena, sejak awal anak berkonflik dengan hukum, sudah hadir pembimbing kemasyarakatan (PK) dari balai pemasyarakatan (bapas). PK selalu hadir dari penyidikan, penuntutan, hingga sidang pengadilan.
Kehadiran PK bapas penting karena, dalam proses hukum yang dijalani anak, PK akan menyusun rekomendasi penelitian kemasyarakatan (litmas) kepada polisi, jaksa, dan hakim. Namun, selama ini, karena sifatnya rekomendasi, litmas jarang diakomodasi aparat penegak hukum, terutama kejaksaan.
”Saat berita acara pemeriksaan dibuat, kami sudah mendampingi. Lalu, kami membuat penelitian kemasyarakatan atau litmas, entah itu diversi atau tetap diproses pengadilan, tergantung pasal yang disangkakan penyidik,” kata Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Madya, Bapas Kelas II Tangerang Rita Eryani.
Selama ini, Rita yang didampingi Kepala Bapas Kelas II Tangerang Heru Prasetyo mengatakan, litmas yang disusun PK bapas adalah terkait kepentingan terbaik pada anak, di antaranya bagaimana supaya anak yang berkonflik dengan hukum tidak harus berakhir di penjara (LPKA).
”Tugas kami bukan mencari kesalahan anaknya, melainkan lebih menggali kenapa anak ini melakukan kejahatan? Apa karena lingkungan atau faktor X. Itulah yang membuat kami menyusun rekomendasi yang terbaik untuk anak,” papar Rita.
Misalnya, ketika ada anak terpidana berhenti sekolah, PK bapas akan berupaya memperjuangkan agar anak melanjutkan sekolahnya. Begitu juga dalam kasus terkait tawuran, PK bapas biasanya merekomendasikan pidana ringan dengan syarat pengawasan, yakni bisa pulang ke rumah orangtua, tetapi ada pengawasan selama waktu yang ditentukan.
Sebab, kalau sudah bersentuhan sama LPKA, walaupun itu lembaga pembinaan anak, kan, stigma orang lain itu tetap penjara.
”Kita memperjuangkan jangan sampai anak itu dipenjara demi masa depannya. Sebab, kalau sudah bersentuhan sama LPKA, walaupun itu lembaga pembinaan anak, kan, stigma orang lain itu tetap penjara,” tutur Lestari, Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak, Bapas Kelas II Tangerang.
Karena itulah, selama ini rekomendasi litmas bapas yang paling terberat adalah penempatan anak di LPKS. ”Kalau di sana, ada kursus. Jadi, anak itu di sana diberikan pelatihan, terapi psikologi. Bdanya, dia enggak di kerangkeng seperti di LPKA,” ujar Rita.
Upaya diversi juga dilakukan Bapas Kelas I Bandung. Dari 222 kasus anak terpidana di Bandung, sebanyak 43 kasus di antaranya bisa ditempuh dengan jalur diversi atau penyelesaian perkara di luar peradilan pidana.
”Ini adalah upaya awal kami untuk mendorong diversi. Pembinaan di LPKA itu seperti jalan terakhir untuk menangani anak-anak berhadapan hukum,” ujar Kepala Bapas Kelas I Bandung Dasep Rana Budi.