Kaum perempuan masih lebih banyak bekerja pada sektor informal dan mengurus rumah tangga. Sementara upaya-upaya penyetaraan jender di dunia kerja terhambat budaya yang telah mengakar di masyarakat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kaum perempuan belum mendapatkan tempat yang proporsional dalam dunia kerja. Mereka lebih banyak bekerja pada sektor informal, mengurus rumah tangga, dan tidak dibayar. Upaya-upaya menyetarakan hak dan kewajiban perempuan dalam dunia kerja dan struktur sosial masyarakat belum menemui keseimbangan sehingga ketimpangan jender masih tetap ada.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2023, jumlah perempuan yang bekerja di sektor informal sebanyak 65,35 persen, sedangkan perempuan pekerja di sektor formal hanya 34,65 persen. Jika dirinci berdasarkan jenis pekerjaannya, perempuan paling banyak bekerja pada sektor dagang dan jasa. Sektor industri, konstruksi, kelistrikan, air, gas, agrikultur, dan pertambangan masih didominasi laki-laki.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, kondisi ini membuat beban kerja perempuan lebih rentan dibandingkan laki-laki. Terlebih, selama pandemi beban kerja perawatan yang harus ditanggung perempuan semakin bertambah dan menempatkan perempuan dalam status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
”Oleh karena itu, sangat penting kita mengembangkan program dan kebijakan perlindungan sosial adaptif yang didasari oleh identifikasi risiko dan kerentanan berbasis jender sepanjang siklus hidup manusia,” kata Muhadjir dalam sambutannya pada acara Knowledge Forum on Gender Equality Development bertema ”Empowering Equality: Advancing Care Economics and Social Protection” di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Senin (28/8/2023).
Pemerintah telah menganggarkan dana perlindungan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebanyak Rp 476 triliun. Dana ini diharapkan tidak hanya menekan ketimpangan jender, tetapi juga berdampak pada peningkatan kondisi kesehatan masyarakat, seperti menurunkan prevalensi tengkes di Indonesia.
Sistem perlindungan sosial yang komprehensif, inklusif, dan adaptif merupakan elemen penting dalam agenda pembangunan yang perlu diterapkan dalam mewujudkan Indonesia maju dan berkelanjutan. Namun, menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2021, hanya 30,6 persen penduduk usia kerja yang terjangkau perlindungan sosial secara komprehensif. Sebanyak 69,4 persen sisanya hanya tercakup sebagian atau tidak sama sekali dan cakupan perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki.
”Padahal, perempuan memiliki risiko dan kerentanan spesifik sepanjang hidupnya, seperti persalinan dan juga beban kerja perawatan. Tingginya beban kerja perawatan yang tidak dibayar menghambat akses perempuan untuk mendapatkan pekerjaan karena tingkat partisipasi kerja perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki,” ucapnya.
Masih ada stereotipe dan cara pandang patriarki yang sudah membudaya di dunia kerja.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menambahkan, ada beberapa tantangan dalam penyetaraan jender di dunia kerja. Mulai dari kondisi sosial budaya masyarakat yang sudah mengakar sehingga kesempatan kerja perempuan yang lebih kecil dibandingkan laki-laki, diikuti dengan upah dan keamanan kerja yang lebih rendah. Lebih jauh lagi, perempuan juga kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan dan pendidikan yang setara untuk bersaing dengan laki-laki.
”Masih ada stereotipe dan cara pandang patriarki yang sudah membudaya di dunia kerja. Ada pekerjaan tertentu yang ’harus’ dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Ini merefleksikan peran perempuan hanya sebagai pendukung level manajemen yang didominasi laki-laki,” tutur Anwar.
Belum lagi, budaya yang sudah mengakar ini memunculkan masalah lain, seperti adanya kasus pelecehan seksual yang masih membayangi perempuan pekerja di Indonesia. Pemerintah, kata Anwar, sudah membuat kebijakan melalui standar kesetaraan jender dalam dunia kerja. Hal itu mulai dari menyetarakan peran kerja, upah, kebebasan berpendapat, dan iklim kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Aturan bahwa perusahaan harus mewujudkan kenyamanan bekerja tanpa diskriminasi secara jelas terdapat dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia dan Malaysia Ririn Salwa Purnamasari, sejumlah tantangan ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Ini mengingat target pemerintah untuk menyeimbangkan partisipasi angkatan kerja perempuan menjadi 55 persen pada 2024 tinggal sebentar lagi.
Angka partisipasi angkatan kerja perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data BPS pada Februari 2022, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan 54,2 persen dan laki-laki 83,6 persen. Padahal, partisipasi kerja perempuan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional. Dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk mendukung partisipasi perempuan.
”Perlu kampanye publik secara bertahap untuk mengubah norma-norma sosial terkait pekerjaan perempuan dan ketergantungan pada pengasuhan anak formal sangat penting untuk mendukung lebih banyak perempuan mulai bekerja dan beralih ke pekerjaan yang lebih berkualitas,” tutur Ririn.
Muhadjir menambahkan, ASEAN telah menyusun ASEAN Comprehensive Framework on Care Economy pada tahun 2021, yaitu panduan strategi pembangunan ekonomi perawatan, seperti penyediaan pelayanan publik, infrastruktur, dan kebijakan perlindungan sosial yang berpihak. Indonesia juga memimpin penyusunan Deklarasi ASEAN mengenai Kesetaraan Gender dan Pembangunan Keluarga yang akan dibawa kepada para kepala negara ASEAN pada KTT ASEAN Ke-43, September ini.