Anak Berkonflik dengan Hukum Butuh Pembinaan Sebelum Kembali ke Masyarakat
Pembinaan kepada anak yang berkonflik dengan hukum tidak hanya untuk mengajarkan mereka sehingga mandiri. Kemampuan ini diharapkan bisa membuat anak-anak ini diterima masyarakat dan meraih hidup yang lebih baik.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Berbagai bentuk pelatihan hingga pembinaan dari petugas membekali anak-anak binaan sebelum kembali ke masyarakat. Beragam pelatihan tidak hanya memberikan kemampuan bagi mereka untuk mandiri, pembinaan ini juga diharapkan menghilangkan stigma anak-anak binaan.
Kepala Seksi Pembinaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung Roni Nuryadi menyatakan, pemerintah menyediakan berbagai fasilitas untuk anak binaan di sana. Dia berujar, layanan yang disediakan pengelola tidak hanya pembinaan rohani bagi anak-anak, tetapi juga hak untuk mengenyam pendidikan.
Pemenuhan pendidikan ini, lanjut Roni, dilakukan melalui kerja sama dengan SMA Nasional. Fasilitas yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM ini juga memiliki layanan belajar untuk menghadapi Ujian Paket C untuk setara sekolah menengah atas dan Paket B untuk sekolah menengah pertama.
”Anak-anak di sini memang tengah menjalani pembinaan karena hukuman pidana. Tetapi, hak-hak yang melekat, seperti pendidikan dan hidup yang layak tetap kami penuhi di sini. Pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang butuh bimbingan,” ujar Roni Nuryadi di LPKA Bandung, Kamis (24/8/2023).
Di samping itu, layanan kerohanian juga diberikan kepada anak binaan. Roni memaparkan, di LPKA Bandung, terdapat 156 anak binaan, dan 155 di antaranya beragama Islam. Sementara, satu anak binaan lainnya Protestan.
”Tidak hanya pesantren, kami juga bekerja sama dengan gereja untuk memberikan bimbingan kerohanian. Jika ada anak binaan yang beragama lain, kami akan memenuhi kebutuhan tersebut melalui kerja sama dengan berbagai pihak,” ujarnya.
Selain pendidikan formal dan rohani, anak-anak binaan ini juga mendapatkan pelatihan keterampilan. Di LPKA Bandung, sejumlah ruang berfungsi sebagai sarana pelatihan. Roni berujar, alat pelatihan yang disediakan di sana, antara lain, untuk keterampilan pangkas rambut, sablon baju, menjahit, hingga kriya.
Pembinaan di LPKA itu seperti jalan terakhir untuk menangani anak-anak berhadapan hukum.
Menurut Roni, pelatihan tersebut diberikan agar anak-anak ini menjadi mandiri dan bisa membantu keluarganya selepas menjalani pembinaan di LPKA. Keterampilan ini juga diharapkan bisa mengikis stigma buruk dari anak-anak yang keluar dari LPKA.
Pembinaan di luar LPKA juga dilakukan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Bandung Dasep Rana Budi memaparkan, pembinaan ini dilakukan oleh para petugas pembimbing kemasyarakatan (PK).
Dasep memaparkan, di Bapas Kelas I Bandung, terdapat 60 PK dengan wilayah kerja mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, hingga Kota Sukabumi. Hingga 22 Agustus 2023, terdapat 222 klien anak yang berurusan dengan Bapas Bandung.
Diversi kasus anak
Menurut Dasep, stigma buruk kepada anak binaan dari LPKA membuat pihaknya mengupayakan diversi kepada kasus-kasus anak. Dari 222 klien ini, 43 kasus di antaranya bisa ditempuh dengan jalur diversi atau penyelesaian perkara di luar peradilan pidana.
”Ini adalah upaya awal kami untuk mendorong diversi. Pembinaan di LPKA itu seperti jalan terakhir untuk menangani anak-anak berhadapan hukum,” ujarnya.
Namun, jika diversi tidak bisa dicapai dan proses peradilan berlanjut, petugas PK akan mendampingi anak-anak. Tanggung jawab tersebut mulai dari anak-anak dilaporkan, persiapan menjelang masuk LPKA, hingga menjalani masa pembinaan di luar setelah bebas.
”Kami juga memberikan pelatihan dan bimbingan kepada anak-anak ini di luar LPKA. Bahkan, sebelum masuk LPKA, data dari petugas PK yang akan digunakan untuk melihat kebutuhan anak,” ujarnya.