Kedepankan Prinsip Pemulihan Saat Tangani Anak Berkonflik dengan Hukum
Anak yang berkonflik dengan hukum wajib diperlakukan secara manusiawi. Harkat dan martabatnya pun mesti dihargai.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH mesti ditangani dengan prinsip keadilan restoratif. Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dan berorientasi ke pemulihan. Hingga kini, implementasi hal ini belum optimal di lapangan.
Prinsip ini juga tertuang di Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Selama menjalani proses hukum, ABH mesti diperlakukan secara manusiawi, serta dihormati harkat dan martabatnya. ABH juga wajib diberi perlindungan khusus.
Walakin, ada pula ABH yang tak mendapat fasilitas LPKS. ABH di Jakarta, NZR (17), misalnya, ditempatkan di sel tahanan sambil menunggu putusan hakim. Ia tak terlindungi dari kekerasan di sana.
Ia sempat berada di sel tahanan bersama orang-orang dewasa selama tiga minggu, lalu dipindahkan ke sel tahanan anak selama lebih dari dua bulan. Setelah menerima putusan hakim di bulan ketiga, ia dipindahkan ke Sentra Handayani, Jakarta Timur, untuk menjalani rehabilitasi sosial selama 10 bulan.
Adapun Sentra Handayani merupakan fasilitas multilayanan yang dikelola Kementerian Sosial. Sentra ini juga berfungsi sebagai LPKS yang menangani ABH.
LPKS jadi tempat menampung ABH yang telah menerima putusan hakim. Di sana juga ada ABH yang masih menjalani proses hukum. Selama di LPKS, ABH diberi bimbingan sosial antara lain tentang tata krama, disiplin, kebersihan diri, dan manajemen emosi.
Anak bisa didukung untuk berubah mindset dan perilakunya ketika anak diperlakukan secara manusiawi, serta dihargai harkat dan martabatnya.
”Di sana (sel) enggak bisa memanusiakan manusia,” kata NZR, Jumat (25/8/2023). ”Saya ketemu orang-orang yang baik sama saya di sini (Sentra Handayani). Di sini bisa memanusiakan manusia. Saya bisa merasakan matahari lagi, lihat pohon. Seneng banget,” katanya lagi.
Kepala Kelompok Kerja Umum Sentra Handayani Yulianti Muktar mengatakan, ada lebih kurang 13 ABH di sentra per Jumat kemarin. Mereka semua mesti menjalani asesmen terlebih dahulu dan ditempatkan di Rumah Antara hingga dianggap bisa beradaptasi, lalu ditempatkan di asrama. Masing-masing ABH didampingi pekerja sosial. Ada juga pengasuh asrama, tokoh agama, hingga psikolog yang mendampingi mereka.
Keseharian mereka dipantau dan mereka mesti mengikuti kegiatan di LPKS seperti olahraga, ibadah, bimbingan sosial, hingga kelas keterampilan yang mereka pilih. Mereka dididik agar mengalami perubahan perilaku positif.
”Semua anak di sini memiliki hak yang sama walau dia melakukan kejahatan. Apa pun masalahnya, kita tetap harus memperlakukan dia sebagai anak yang terpenuhi hak-haknya,” kata Yuli.
Perilaku manusiawi
Komisioner KPAI Dian Sasmita mengatakan, UU SPPA, UU Perlindungan Anak, dan UU HAM memandatkan perlakuan manusiawi ke semua orang. ABH pun tak lepas dari itu. Ia berharap institusi penegak hukum ditingkatkan untuk menerapkan UU SPPA. Kapasitas penegak hukum soal itu juga perlu dipantau dan dievaluasi.
”Anak bisa didukung untuk berubah mindset dan perilakunya ketika anak diperlakukan secara manusawi, serta dihargai harkat dan martabatnya. Artinya manusiawi, anak tidak dibentak-bentak, tidak dihukum yang tak sesuai dengan kesalahannya,” ujar Dian, Minggu (27/8/2023).
Ia juga menekankan pentingnya kasih sayang dalam menghadapi ABH. Ini karena hampir semua ABH yang terlibat kriminalitas berakar dari kurangnya kasih sayang. Kasih sayang diyakini bisa membantu mengubah sikap dan perilaku manusia, walau menerapkannya tak semudah membalikkan tangan. Menurut dia lagi, ABH juga korban dari pengasuhan yang kurang optimal.