Indonesia mendorong perluasan layanan kedokteran nuklir untuk percepatan penanganan kanker, jantung, stroke, dan uro-nefrologi atau KJSU dengan harapan menyeluruh mencakup rumah sakit, fasilitas, dan SDM kompeten.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Layanan kedokteran nuklir di Indonesia masih amat terbatas. Padahal, kedokteran nuklir dibutuhkan untuk percepatan penanganan pasien kanker, jantung, stroke, dan uro-nefrologi atau KJSU. Dengan populasi 270 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 61 dokter spesialis kedokteran nuklir.
Di sisi lain, jaringan rumah sakit yang telah berizin operasi layanan kedokteran nuklir juga terbatas. Demikian pula, perguruan tinggi pengampu yang sejauh ini hanya berada di Universitas Padjadjaran.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan merasa perlu mendorong peningkatan layanan kedokteran nuklir yang salah satunya melalui Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-25 Perhimpunan Kedokteran Nuklir dan Teranostik Molekuler Indonesia (PKNTMI) dan Perhimpunan Kedokteran dan Biologi Nuklir Indonesia (PKBNI) di Surabaya, Jumat (25/8/2023).
Sehari sebelum pertemuan, diadakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema Peran Kedokteran Nuklir dalam Transformasi Kesehatan. Diskusi juga melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPJS Kesehatan, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Unpad, RS Kanker Dharmais (Pusat Kanker Nasional), kampus, rumah sakit, serta pihak swasta atau pemangku kepentingan lainnya.
Menurut Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementrian Kesehatan, Yuli Astuti Saripawan, bersama RS Dharmais, pihaknya sedang dan telah memetakan kebutuhan layanan kedokteran nuklir serta perluasan cakupannya secara bertahap.
Layanan ini diharapkan bisa disediakan oleh RS paripurna dan atau RS provinsi dengan ketersediaan peralatan, kelengkapan, fasilitas, dan terutama sumber daya manusia yang memadahi yakni spesialis kedokteran nuklir, fisikawan medik, radiofarmasi, dan radiografer.
Yuli mengatakan, di Indonesia terdapat 3.060 rumah sakit. Namun, yang memberikan layanan kedokteran nuklir apalagi secara komplet diagnosa sampai terapi selain RS Dharmais ternyata amat terbatas dan terkonsentrasi di Jakarta. Diharapkan layanan kedokteran nuklir dapat lebih merata yakni segera bisa diwujudkan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
Kalimantan misalnya, layanan kedokteran nuklir telah tersedia di RSUD Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda (Kalimantan Timur). Nantinya, layanan serupa akan segera tersedia di Pontianak (Kalimantan Barat). Demikian pula di Sumatera yakni Medan dan Padang, di Sulawesi yakni Manado dan Makassar, dan Bali. “Kami mendorong pemerataan layanan,” kata Yuli.
Koordinator Kelompok Fungsi Perizinan Fasilitas Kesehatan Bapeten Iin Indartati mengatakan, penerbitan izin operasional layanan kedokteran nuklir harus melalui prosedur ketat. Ini menyangkut aspek keamanan dan keselamatan khususnya penggunaan radioisotop dan radiofarmaka yang berisiko tinggi. Perizinan dilakukan bertahap dari konstruksi, operasi, hingga pembebasan pengawasan.
“Selain itu, bagaimana SDM menjalankan prosedur dan kemampuan dalam menjamin keselamatan dari radiasi,” kata Iin.
Penasihat PKNTMI Prof Achmad Hussein Sundawa Kartamihardja menambahkan, pertemuan diharapkan menjadi wadah dari seluruh pemangku kepentingan demi kemajuan dan percepatan layanan kedokteran nuklir. Pertemuan diharapkan mendorong kampus-kampus terutama pengampu kedokteran agar kian banyak yang dapat membantu pengembangan kedokteran nuklir.
Achmad melanjutkan, setidaknya kompetensi fisikawan medik dapat disediakan oleh kampus-kampus domestik antara lain Unpad, ITB, UI, UGM, Undip, dan Unibraw. “(Ini) Tantangan besar untuk menyediakan tenaga kesehatan yang berkompeten dalam radiofarmasi,” ujarnya.
Menurut Rien Ritawidya dari Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, ada tujuh pusat riset yang terus memaksimalkan diri untuk berkontribusi dalam kedokteran nuklir. Hasil riset berupa obat-obatan radioisotop dan radiofarmaka. ”Sebagian telah mendapat izin dari BPOM untuk penggunaan kepada pasien,” katanya.