Penginderaan Jauh Bantu Pantau Mutu Air dan Penanganan Sampah Laut
Data citra satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas air dan penanganan sampah laut. Hal ini juga telah digunakan ntuk memantau kualitas air di berbagai wilayah di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data citra satelit penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak, termasuk untuk memantau kualitas air dan penanganan sampah laut. Pemanfaatan penginderaan jauh ini juga telah digunakan untuk pemantauan kualitas air dan penanganan sampah di berbagai wilayah perairan di Indonesia.
Peneliti Pusat Riset Penginderaan Jauh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ety Parwati, mengemukakan, penginderaan jauh memiliki beragam manfaat untuk proses pemantauan karena cakupannya luas, konsisten, real-time, biaya relatif murah, faktual, dan terukur. Sistem ini bahkan kerap digunakan sebagai bukti fisik terkait adanya pelanggaran pidana.
”Kami sudah lama menggunakan data penginderaan jauh untuk mengamati kualitas air dengan deteksi muatan padatan tersuspensi (MPT). Jadi, MPT ini merupakan salah satu parameter untuk baku mutu air laut dan melihat apakah laut kita tercemar atau tidak,” ujarnya.
Ety Parwati menyampaikan hal itu dalam diskusi daring bertajuk ”Peran Penginderaan Jauh dalam Pelestarian Lingkungan dan Sumber Daya Alam”, Jumat (25/8/2023), di Jakarta.
Pencemaran laut di berbagai wilayah di Indonesia dapat terjadi karena masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian, dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif ke dalam laut yang berpotensi memberi efek berbahaya.
Kami sudah lama menggunakan data penginderaan jauh untuk mengamati kualitas air dengan deteksi muatan padatan tersuspensi.
Beberapa penyebabnya, antara lain, tumpahan minyak, pencemaran logam berat, sampah, serta eutrofikasi ataupun peningkatan kadar mineral dan nutrien.
Sejak tahun 2020, Pusat Riset Penginderaan Jauh telah menyusun script untuk deteksi sebaran MPT secara semiotomatis menggunakan algoritma. Pengamatan dengan area perairan yang luas menggunakan data penginderaan jauh resolusi rendah Terra/Aqua Modis. Adapun pengamatan yang lebih detail menggunakan Sentinel-2 atau Landsat-8.
Menurut Ety, deteksi sebaran MPT untuk memantau kualitas air dan penanganan sampah laut telah dilakukan di wilayah perairan Sumatera, Kepulauan Seribu, Mahakam, dan Surabaya. Data tersebut kemudian dituangkan dalam Sistem Pemantauan Bumi Nasional Berbasis Android (Sipandora) dan bisa diakses atau digunakan oleh berbagai pihak.
”Pemanfaatan lainnya bisa digunakan untuk mencari kesesuaian lahan budidaya dengan parameter klorofil, suhu, dan MPT. Artinya, kualitas air menjadi kata kunci apabila kita ingin menjaga salah satu kesehatan alam baik untuk budidaya atau lainnya,” tuturnya.
Selain kualitas air, penggunaan penginderaan jauh juga dapat dioptimalkan untuk penanganan sampah laut. Namun, penggunaan penginderaan jauh untuk deteksi sampah laut harus memperhatikan resolusi dari citra satelit yang lebih detail.
Penggunaan penginderaan jauh untuk deteksi pencemaran sampah plastik ini telah digunakan di pesisir Padang, Sumatera Barat. Adapun data yang digunakan berasal dari citra satelit Sentinel 2, Landsat 8, LAPAN A3, dan WorldView 2. Kemudian pengolahan data didukung dengan pengamatan langsung di lapangan dan proses klasifikasi.
”Tahun ini, kami sedang mencari lokasi penelitian lain yang memang memiliki sampah yang cukup luas, seperti Tanjung Burung Teluk Naga (Tangerang). Ternyata timbulan sampah meliputi seluruh area. Nantinya kami akan memantau lima tahun ke belakang,” katanya.
Perspektif agama
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu Prabowo mengatakan, agama tidak hanya memberikan ajaran moral, tetapi juga perspektif terhadap alam. Sebab, selama ini terdapat konsep antroposentris dimana manusia memiliki prinsip yang berkuasa dan bersifat ego terhadap alam.
”Sekarang MUI juga sedang membahas fatwa tentang perubahan iklim. Sekarang kita ubah pendekatannya dari ego menjadi ecosofi untuk memupuk interaksi alam dan manusia yang saling timbal balik,” tutur Hayu yang turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Selain fatwa tentang perubahan iklim yang tengah dibahas, sampai sekarang MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Beberapa fatwa tersebut, di antaranya Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Daur Ulang Air dan Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan.
Kemudian terdapat pula Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka, Fatwa Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah, Fatwa 1/MUNAS-IX/MUI/2015 tentang Pendayagunaan Ziswaf untuk Pembangunan Sarana Air dan Sanitasi Masyarakat, serta Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan.
”Dari seluruh fatwa ini akan diarahkan ke masjid mulai dari pengurus, bangunan, dan jemaah. Dalam MUI, dakwah bukan ditujukan untuk masjid, tetapi untuk orang-orang. Oleh karena itu, pengurus dan jemaah menjadi salah satu tujuan untuk diedukasi bagaimana mengubah cara pikir mereka agar bisa ramah lingkungan,” ucapnya.