Pemetaan Berbasis Citra Satelit Dukung Pemantauan Kebakaran Hutan
Karhutla masih menjadi penyumbang emisi terbesar di sejumlah negara, seperti Brasil dan Indonesia. Pemetaan berbasis citra satelit menjadi salah satu upaya yang dilakukan kedua negara ini untuk menanggulangi karhutla.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Peneliti dan teknisi mengawasi tampilan data penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di Jakarta, Kamis (25/7/2013).
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla masih menjadi penyumbang emisi terbesar di berbagai negara, seperti Brasil dan Indonesia. Pemetaan berbasis citra satelit menjadi salah satu upaya yang dilakukan kedua negara ini untuk menanggulangi karhutla mulai dari pencegahan, pemantauan, hingga pemantauan pasca-kejadian.
Science Director of The Amazon Environmental Research Institute (IPAM) Brazil, Ane Alencar, mengemukakan, Brasil merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia. Pada 2021, emisi yang dihasilkan Brasil tercatat sebanyak 2.423 megaton setara karbon dioksida.
”Mayoritas emisi sebesar 49 persen berasal dari perubahan penggunaan lahan. Kemudian 25 persen emisi dari agrokultur, 18 persen dari energi, 4 persen dari industri, dan 4 persen dari sampah,” ujarnya dalam seminar bertajuk ”Belajar dari Pemantauan Kebakaran di Brasil dan Indonesia” yang diselenggarakan Auriga Nusantara di Jakarta, Rabu (24/5/2023).
Sama seperti Indonesia, selama beberapa tahun terakhir, Brasil juga menghadapi permasalahan deforestasi dan karhutla di area hutan Amazon yang menyebabkan emisi meningkat. Hal ini kemudian menjadi fokus dari sejumlah pihak, termasuk Pemerintah Brasil melakukan beragam upaya untuk mencegah sekaligus menanggulangi karhutla.
Indonesia memiliki banyak platform yang sudah bagus, seperti Sipongi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Salah satu upaya untuk pencegahan, pemantauan, hingga penanggulangan karhutla di Brasil dilakukan melalui pemetaan berbasis citra satelit penginderaan jauh. Pemetaan ini dilakukan dengan citra satelit Landsat dan rentang data 36 tahun atau 1985-2022. Sistem pemetaan juga didukung dengan kecerdasan buatan dan teknologi komputasi awan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Warga memanfaatkan aplikasi sipandora di Jakarta, Kamis (31/1/2019). Aplikasi ini memberikan layanan data dan informasi satelit penginderaan jauh berbasis digital, seperti zona potensi penangkapan ikan, suhu permukaan laut, produktivitas padi, peringatan dini bencana kebakaran lahan, dan kekeringan.
Saat ini, Auriga Nusantara dan Mapbiomas Brasil juga tengah menginisiasi pemetaan karhutladi Indonesia dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan komputasi awan. Data ini akan melengkapi platform pemetaan dinamika tutupan lahan Indonesia 2000-2019 yang lebih dulu digulirkan Auriga dan lembaga jaringan di daerah dalam Mapbiomas Indonesia.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Lailan Syaufina mengatakan, upaya monitoring karhutla dapat dilakukan sebelum kejadian kebakaran tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki upaya terdepan, khususnya di wilayah Asia Tenggara dalam pengendalian, termasuk monitoring karhutla.
Sistem informasi karhutla dapat digunakan untuk tiga pemantauan, yakni sebelum, saat, dan setelah terjadinya kebakaran. Sistem tersebut meliputi sistem peringatan dini (early warning system/EWS), sistem deteksi dini kebakaran (early fire detection system), dan sistem penilaian dampak kebakaran (fire impact assessment system).
Khusus dalam sistem penilaian dampak kebakaran, jenis informasi yang dikumpulkan ialah pemetaan areal terbakar dan pemetaan tingkat keparahan kebakaran. Akan tetapi, di Indonesia masih sedikit sekali penelitian terkait penilaian dampak kebakaran tersebut.
”Indonesia memiliki banyak platform yang sudah bagus, seperti Sipongi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dapat memantau hot spot sebagai indikator karhutla. Sekarang sistem tersebut tinggal disinergikan antar-semua institusi,” ujarnya.
Konsensus metodologi
Lailan menekankan bahwa pengembangan pemetaan area atau luas karhutla harus mengedepankan pemahaman yang sama dan transparansi, khususnya terkait dengan metodologi yang digunakan. Hal ini bertujuan agar hasil pemetaan tersebut dapat diterima semua pihak sekaligus meminimalkan potensi perbedaan luas data.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kebakaran lahan di areal kebun kelapa sawit PT Wahana Subur Sawit Indah di Kampung Sri Gemilang, Kecamatan Koto Gasib, Siak, Jumat (26/7/2019).
”Hal terpenting lainnya untuk aspek penguatan dalam pengembangan sistem ini yaitu terkait dengan verifikasi di lapangan. Secanggih apa pun metodologi yang dilakukan, apabila tidak didukung verifikasi, tentu hasilnya akan tetap dipertanyakan,” ucapnya.
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bambang Surya Putra menyatakan, BNPB juga memiliki platform bernama Inarisk yang bisa digunakan untuk pemantauan karhutla. Sistem ini merupakan portal hasil kajian risiko dengan menggunakan peladen Arcgis sebagai pelayanan data yang menggambarkan cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak, hingga potensi kerusakan lingkungan.
Meski demikian, Bambang mengakui, platform pemantauan karhutla yang ada dari berbagai institusi ini masih belum terintegrasi dengan baik. Ia berharap, ke depan seluruh platform ini bisa saling tukar data, terintegrasi, dan digunakan bersama sesuai dengan kewenangan institusi atau lembaganya masing-masing.
Selain teknologi, BNPB juga turut mendukung penanggulangan karhutla dengan berbagai upaya, termasuk operasi udara. Namun, bantuan operasi udara dari BNPB hanya bersifat dukungan pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan.