Kekerasan di Satuan Pendidikan Hambat Kualitas Belajar
Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan harus serius ditangani. Sebab, lingkungan sekolah yang aman mendukung kualitas belajar.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkungan belajar yang inklusif dan aman mendukung pembelajaran berkualitas. Hal ini dapat diwujudkan dengan komitmen bersama mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan yang mencapai fenomena gunung es.
Pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan (PPKSP) harus serius dilakukan. Hal ini dapat dimulai di dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten.
Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek Praptono dalam webinar ”Silaturahmi Merdeka Belajar bertajuk Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan melalui Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP)”, Kamis (24/8/2023), mengatakan, dari asesmen nasional terdapat temuan yang meminta pemerintah serius menangani kasus kekerasan.
Penelitian menunjukkan kekerasan meninggalkan trauma yang mengganggu proses belajar-mengajar.
Dari asesmen itu terlihat, sebanyak 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan dan 22,4 persen siswa pernah menghadapi insiden kekerasan seksual. Ada pula yang menghadapi kasus intoleransi dan diskriminasi.
”Penelitian menunjukkan kekerasan meninggalkan trauma yang mengganggu proses belajar-mengajar. Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP diharapkan mewujudkan pendidikan berkualitas,” kata Praptono.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti mengatakan, penanganan kekerasan di sekolah diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015, tetapi Permendikbudristek PPKSP jauh lebih lengkap dan menyeluruh. Aturan tidak hanya melindungi siswa, tetapi juga guru dan tenaga pendidik.
Selain itu, permendikbudristek memiliki definisi kekerasan lengkap. Misalnya, 23 jenis kekerasan seksual disebutkan secara jelas. ”Tentang kekerasan di satuan pendidikan, untuk pertama kalinya pejabat publik mengakuinya. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyebutkan tiga dosa besar pendidikan. Selama ini, tak ada satgas antikekerasan. Namun, Permendikbud PPKS menguatkan pembentukan satgas,” ujar Retno.
”Setelah enam bulan diterbitkan, Satgas PPKSP di level SD hingga SMA/SMK wajib dibentuk. Sementara waktu pembentukan untuk PAUD 12 bulan. Aturan bisa diimplementasikan karena ada waktu yang ditetapkan,” tambahnya.
Menurut Retno, satuan pendidikan bebas dari kekerasan harus diperjuangkan. Sebab, masih ada sekolah yang menerapkan hukuman fisik. Misalnya, siswa wajib lari keliling lapangan saat terlambat. Hukuman menimbulkan kecemasan dan dalam jangka panjang memengaruhi rasa percaya diri dan kreativitas.
”Guru perlu didorong melaksanakan disiplin positif. Organisasi guru perlu mendukung guru tidak melakukan kekerasan,” ujar Retno.
Terlibat aktif
Menurut guru SDN 011 Balikpapan Tengah, Abdul Rahmat Abdul, sekolah dan orangtua terdorong membentuk satgas PPKS guna mencegah dan menangani kekerasan. ”Dulu fokus peserta didik, sekarang guru dan tenaga pendidik,” kata Abdul.
Psikolog anak dan remaja Vera I Hadiwidjojo mengatakan, kekerasan mencakup pelaku, korban, dan ada saksi. Selama ini yang sering dibahas hanya korban. Padahal, dampak kepada pelaku juga penting. Kekerasan oleh pelaku bisa dipakai untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengontrol lingkungan dan bisa terbawa sampai dewasa, bahkan bisa berujung kriminalitas.
”Untuk saksi sering diremehkan. Padahal, ada dampak trauma dan merasa takut. Bisa jadi saksi berubah menjadi pelaku karena melihat tidak ada konsekuensi. Nanti bisa muncul sikap apatis karena merasa tidak ada yang peduli alias bodo amat,” ujar Vera.