Sekolah Diajak Serius Melawan Kekerasan
Kekerasan terus terjadi di lingkungan sekolah. Komitmen pencegahan dan penanganan kekerasan diperkuat melalui peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kasus kekerasan, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi mencuat di satuan pendidikan atau sekolah, tetapi penanganannya dinilai belum serius. Hal ini menunjukkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan belum menjadi komitmen penuh satuan pendidikan dan daerah.
Karena itu, aturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan mesti diperjelas. Penguatan regulasi tersebut bertujuan untuk melindungi semua warga sekolah.
Baca juga : Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah
Penguatan penanganan kekerasan di satuan pendidikan digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Caranya, dengan menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Aturan tersebut menggantikan pemendikbud mengenai masalah ini pada tahun 2015 dengan berbagai terobosan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan dimensi abu-abu terkait dengan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan yang dialami peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengutarakan hal itu dalam acara peluncuran Merdeka Belajar episode 25 bertajuk ”Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan”, di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Menurut Nadiem, selama tiga tahun terakhir satuan pendidikan sudah mengatasi dan melalui bencana pandemi Covid-19. Ternyata, ada pandemi yang lebih besar dan menyebar dalam skala lebih besar dan jumlah korban anak lebih banyak.
”Pandemi itu adalah kekerasan. Namun, masalah ini tidak dibicarakan di tingkat sekolah dan daerah. Hanya muncul di permukaan jika ada kasus dan viral di media sosial. Setelah itu, tidak lagi dibahas dan ditangani dengan serius,” tuturnya.
”Tidak ada artinya transformasi pendidikan dengan meningkatkan mutu guru hingga perubahan kurikulum jika anak-anak tidak merasa aman di lingkungan satuan pendidikan,” ungkapnya.
”Salah satu syarat pembelajaran adalah rasa aman. Tanpa ini, tidak ada belajar berkualitas. Jadi, kalau kita tidak menyelesaikan masalah kekerasan, tidak bisa menyelesaikan masalah ketertinggalan literasi dan numerasi. Penyelesaian ini juga harus dilakukan bersama-sama,” kata Nadiem.
Potensi kekerasan
Berdasarkan data survei Asesmen Nasional (AN) tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Lalu, 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.
Temuan ini juga dikuatkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2021, yakni 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan berusia 13 -17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir.
Data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan, kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual adalah anak korban kekerasan fisik dan atau psikis serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133 kasus.
Tidak ada artinya transformasi pendidikan dengan meningkatkan mutu guru hingga perubahan kurikulum jika anak-anak tidak merasa aman di lingkungan satuan pendidikan.
Lebih lanjut, Nadiem memaparkan, Permendikbudristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum bagi semua warga sekolah atau satuan pendidikan. Aturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi.
Selain itu, penerbitan regulasi tersebut untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan perspektif pada korban.
”Permendikbudristek PPKSP melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan saat kegiatan pendidikan, di dalam maupun di luar satuan pendidikan,” ujarnya.
Baca juga : ”Tiga Dosa Besar” Pendidikan Masih Perlu Diintervensi
Lebih jelas
Permendikbudristek PPKSP menghilangkan area ”abu-abu” dengan memberi definisi jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi. Aturan itu juga untuk memastikan tidak ada kebijakan berpotensi memicu kekerasan di sekolah.
”Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan tak boleh ada kebijakan berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk antara lain surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, dan pedoman,” kata Nadiem.
Selain itu, Permendikbudristek PPKSP mengatur mekanisme pencegahan yang dilakukan satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek serta tata cara penanganan kekerasan berpihak pada korban yang mendukung pemulihan.
Satuan pendidikan juga diamanatkan untuk membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK), sedangkan pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota membentuk satuan tugas. Ada waktu 6-12 bulan setelah aturan ini disahkan, agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani.
”Jika ada laporan kekerasan, dua kelompok kerja ini harus menangani kasus kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban. Sementara sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik,” tutur Nadiem.
Cheril Hutajulu, siswi SMP Negeri 1 Jayapura, yang juga agen perubahan program Roots dari Unicef untuk menangani perundungan, mengatakan, dengan adanya kebijakan untuk menciptakan lingkungan sekolah aman, nyaman, dan lebih menyenangkan, para siswa menjadi tidak takut dirundung.
Mereka juga menjadi tahu dan memiliki keberanian untuk melapor, baik sebagai korban maupun saksi yang melihat aksi perundungan. ”Siswa jadi bisa lebih fokus belajar. Lalu, peserta didik juga diajak untuk lebih berani bersuara melawan kekerasan,” ujar Cheril.
Sementara Galih Sulistyaningra, guru SD negeri di Jakarta, menuturkan, publik selama ini menganggap korban kekerasan di sekolah hanya siswa. Padahal, pendidik dan tenaga kependidikan juga bisa menjadi korban.
”Para guru juga mendapatkan jaminan perlindungan, rasa aman, dan bisa fokus mendidik anak. Dengan aturan ini, tentu mengajak para guru untuk mengambil peran dalam pencegahan dan penanganan kekerasan. Guru pun harus menjadi contoh untuk tidak melakukan kekerasan,” kata Galih.
Hana Ristami, fasilitator ibu penggerak di Yogyakarta dari Sidina Community, memaparkan, adanya sistem pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah yang lebih jelas membuat lega orangtua. Dengan demikian, ada kejelasan untuk melaporkan masalah kekerasan yang dihadapi anak.
”Bahkan, orangtua tertantang bisa memotivasi sekolah untuk membuat tim PPKSP. Jika anak didik mengalami kekerasan, maka menjadi tahu harus melapor ke mana tanpa rasa takut,” ujarnya.
Baca juga : Mewujudkan Sekolah Aman bagi Semua
Pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan juga didukung oleh Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain itu, dukungan penanggulangan kekerasan di lingkungan sekolah diberikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meyakini, Permendikbudristek PPSKP dibuat tidak hanya dari atas ke bawah, tetapi juga sudah menjaring dan berkomunikasi dengan banyak pihak.
”Kami dari Kemendagri siap mendukung sepenuhnya agar 38 provinsi, 98 kota, 416 kabupaten semua berada pada kapal sama (dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan),” ucapnya.
”Kami akan sosialisasikan kepada rekan-rekan di daerah dan nanti kalau ada salah satu tugasnya membuat peraturan turunan dari permendikbduristek ini. Kami juga siap mendukung ada opsi peraturan kepala daerah, bahkan jika perlu diangkat lebih tinggi menjadi peraturan daerah,” kata Tito.