Penduduk Indonesia berisiko kanker paru mengingat banyaknya perokok aktif dan pasif. Skrining diperlukan agar kanker paru bisa dideteksi lebih awal.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kanker paru menjadi penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kanker di dunia, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya diperlukan skrining kesehatan agar kanker paru bisa segera ditemukan dan ditangani. Konsensus Skrining Kanker Paru pun disusun untuk menjadi acuan skrining ke masyarakat.
Konsensus Skrining Kanker Paru disusun oleh Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Konsensus ini diluncurkan pada Rabu (23/8/2023) di Jakarta. Draf konsensus ini telah diajukan ke Kementerian Kesehatan dan rencananya dimasukkan ke Aplikasi Sehat Indonesiaku (ASIK).
Pada konsensus skrining kanker paru, individu akan diminta menjawab beberapa pertanyaan seperti usia dan riwayat kanker di keluarga. Pertanyaan lain ialah apakah individu perokok aktif atau bukan, apa kerap terpapar asap rokok atau tidak, hingga ada atau tidaknya paparan polutan seperti asbes dan radon.
Skor dari jawaban individu akan jadi acuan untuk menentukan kategori risiko kanker paru. Orang yang berisiko rendah bisa mengulangi skrining dua tahun kemudian. Orang berisiko sedang dan tinggi terhadap kanker paru akan dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pelaksana Tugas Ketua Umum PDPI Arif Santoso mengatakan, mencegah dan mendeteksi dini kanker paru itu penting. Jika kanker paru ditemukan di stadium awal, angka kesintasannya (survival rate) akan lebih baik dibanding kasus yang ditemukan di stadium akhir.
”Namun, data dari berbagai tempat menyebut lebih dari 90 persen (pasien) kanker paru di Indonesia datang saat sudah di stadium akhir,” kata Arif.
Adapun skrining kanker paru menyasar ke kelompok dengan tiga kategori. Pertama, orang berusia 45-71 tahun. Kedua, orang yang memiliki riwayat kanker paru di keluarga, yakni pada bapak, ibu, dan saudara kandung. Ketiga, individu yang merupakan perokok aktif, perokok pasif, dan yang sudah berhenti merokok selama 15 tahun terakhir.
Skrining akan dilakukan ke orang yang belum menunjukkan gejala penyakit. Ini karena gejala kanker paru tidak khas sehingga kerap terabaikan dan sulit dideteksi. Beberapa gejala kanker paru adalah batuk, sesak napas, dan nyeri dada.
Setelah skrining, orang berisiko kanker paru akan dirujuk untuk menjalani pemindaian CT berdosis rendah (LDCT). LDCT merupakan prosedur pemindaian CT yang lebih canggih dari sinar-X dada tradisional. Gambar dari LDCT bisa membantu mendeteksi kelainan di paru. Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga akan digunakan untuk membaca gambar hasil LDCT.
Amerika Serikat pernah melakukan skrining kanker paru dengan LDCT dan hasilnya lebih baik dibanding sinar-X dada tradisional. Angka kematian akibat kanker paru yang dideteksi dengan LDCT adalah 247 kasus per 100.000 orang. Sementara itu, kematian karena kanker paru yang dideteksi dengan sinar-X dada 309 kasus per 100.000 orang.
Sebagian besar kanker paru ditemukan di usia produktif.
”Kalau di luar negeri, (kanker paru dialami orang) usia 65-75 tahun. Di Indonesia, sebagian besar kanker paru ditemukan di usia produktif,” ucap Direktur Eksekutif IASTO Elisna Syahruddin.
Ia menambahkan, skrining ini mesti dilakukan dengan persetujuan individu. Adapun perokok aktif yang melakukan skrining mesti mengikuti program berhenti merokok.
Menurut Ketua Kelompok Kerja Onkologi PDPI Sita Laksmi Andarini, orang yang merokok tembakau punya risiko kanker paru 20 kali lebih tinggi dibanding yang tidak merokok. Penduduk Indonesia berisiko kanker paru mengingat tingginya angka perokok. Usia perokok pun semakin muda.
Data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020 mencatat, ada 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia. Jumlah kematian akibat penyakit ini 30.843 kasus per tahun.
Beban biaya kesehatan
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Eva Susanti, kebanyakan kanker paru ditemukan di stadium lanjut sehingga angka kesintasannya rendah. Beban biaya kesehatan dari kasus ini pun tinggi.
Pada 2023, pembiayaan kesehatan akibat kanker di Indonesia adalah Rp 3,5 triliun. Adapun terapi kanker paru dan bronkus menelan biaya Rp 73 miliar di pembiayaan BPJS Kesehatan.
Eva berharap agar konsensus skrining kanker paru bisa dilakukan dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama, lalu diteruskan dengan pemeriksaan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Adapun skrining kanker bisa dilakukan dengan memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).