Deteksi Dini Kerap Diabaikan, Kanker Paru Masih Jadi Momok
Global Burden Cancer 2018 mencatat sebanyak 26.095 orang di Indonesia meninggal akibat kanker paru. Setiap tahun setidaknya terdapat 30.023 kasus kanker baru di Indonesia. Angka ini tertinggi di Asia Tenggara.
Oleh
fajar ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kanker paru masih menjadi salah satu jenis kanker yang paling mematikan di dunia. Penanganan yang terlambat masih menjadi penyebab utama yang memperpendek angka harapan hidup penderitanya.
Berdasarkan data dari Global Burden Cancer 2018, sebanyak 26.095 orang di Indonesia meninggal akibat kanker paru. Setiap tahun setidaknya terdapat 30.023 kasus kanker baru di Indonesia. Angka ini menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2018 menyebutkan terdapat 2,09 juta kasus kanker paru dan 1,76 juta kematian akibat kanker paru. Faktor risiko utama penyebab kanker tersebut adalah tembakau (Kompas, 5/2/2020).
Pulmonologis dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Elisna Syahruddin, mengatakan, salah satu penyebab banyaknya kematian akibat kanker paru adalah keterlambatan pasien melakukan pemeriksaan. Sebagian besar pasien datang ke dokter dengan kondisi kanker stadium lanjut.
”Stadium tersebut memengaruhi harapan hidup. Jika ingin angka harapan hidupnya panjang, harus dilakukan deteksi secara dini,” kata Elisna dalam diskusi ”Pendekatan Baru Pengentasan Kanker Paru” oleh Yayasan Kanker Indonesia dan Merck Sharp and Dohme (MSD) di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Salah satu penyebab banyaknya kematian akibat kanker paru adalah keterlambatan pasien melakukan pemeriksaan. Sebagian besar pasien datang ke dokter dengan kondisi kanker stadium lanjut.
Padahal, menurut Elisna, kanker paru bukanlah penyakit yang timbul secara mendadak. Bahkan, tanda-tandanya bisa dikenali sepuluh tahun sebelumnya. Deteksi dini bisa dilakukan dengan cara mengenali gejala kanker paru secara mandiri, mulai dari batuk yang tidak berkesudahan, sesak napas, hingga nyeri di dada.
Dari keluhan awal tersebut, nantinya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan, pemeriksaan lanjutan akan dilakukan dengan foto rontgen, bronkoskopi, hingga CT Scan.
”Kanker paru ada beberapa jenis. Pengobatannya akan berbeda tergantung jenisnya,” katanya.
Elisna menambahkan, kanker paru cenderung sulit dikendalikan karena bisa dipicu oleh aktivitas bernapas manusia. Manusia sering kali tidak mengetahui zat berbahaya apa saja yang terdapat di sekelilingnya.
Hal ini berbeda dengan jenis kanker lain yang bisa dikendalikan melalui pola makan. ”Manusia normal harus bernapas minimal 16 kali per menit. Selama itu kita menghirup apa pun yang ada di atmosfer,” katanya.
Meski begitu, perokok aktif maupun pasif menjadi kelompok dengan risiko kanker paru paling tinggi. Selain itu, kanker paru juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Faktor lingkungan bisa berasal dari polusi udara, asbes pada atap rumah, dan radon. ”Radon adalah gas radioaktif yang keluar dari tanah dan batu. Jika zat ini berada di dalam rumah, akan menambah risiko kanker paru penghuninya,” ungkap Elisna.
Imunoterapi
Pulmonologis dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sita Andarini, mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pengobatan kanker paru, antara lain bedah, kemoterapi, radioterapi, targeted therapy, dan imunoterapi.
Menurut Sita, imunoterapi dinilai dapat memberikan harapan hidup yang panjang bagi penderita kanker paru. ”Sebuah studi mengatakan 23,2 persen pasien memiliki harapan hidup selama lima tahun,” ungkapnya.
Imunoterapi dinilai dapat memberikan harapan hidup yang panjang bagi penderita kanker paru. Sebuah studi mengatakan 23,2 persen pasien memiliki harapan hidup selama lima tahun.
Sita menambahkan, tindakan bedah juga biasa dilakukan pada penderita kanker stadium dini, mulai dari IA hingga IIIA. Pembedahan bisa dilakukan dengan mengambil beberapa bagian paru atau seluruh paru.
”Jika belum menyebar, akan diambil sebagian paru yang terkena kanker,” katanya.
Kemoterapi juga merupakan tindakan yang banyak digunakan. Saat ini kemoterapi bisa dilakukan melalui infus tanpa rawat inap. Meski begitu, tindakan ini memiliki beberapa efek samping, seperti rambut rontok, leukosit turun, hemoglobin turun, dan infeksi.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, jumlah penderita kanker terus meningkat. Sebanyak 90-95 persen disebabkan oleh gaya hidup. Khusus untuk kanker paru, merokok merupakan gaya hidup yang paling memberikan risiko tertinggi.
Dalam sebatang rokok, terdapat 7.367 zat kimia. Sebanyak 70 zat di antaranya terkonfirmasi dapat menyebabkan kanker.
”Ironisnya, Indonesia merupakan negara tertinggi jumlah perokok anak-anak di dunia,” katanya.
Albert Charles Sompie, salah seorang penyintas kanker paru, mengungkapkan, sebelum didiagnosis kanker paru pada 2005, ia adalah perokok aktif selama 30 tahun. Bahkan, pada saat bersamaan ia juga terkena kanker usus besar.
Albert mengaku masih bisa bertahan hidup sampai sekarang karena berhasil melakukan deteksi dini kanker. ”Saya meyakini kanker tersebut karena rokok. Selain itu, saya menjalani hidup sehat karena saya seorang atlet sofbol,” ujarnya.