Perlu Upaya Agresif untuk Menekan Dampak Polusi Jangka Panjang
Kasus ISPA dan pneumonia di RSUP Persahabatan pada Maret-Juli 2023 dilaporkan meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penyakit ISPA dan pneumonia, salah satunya disebabkan oleh pajanan polusi udara.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan dampak dari polusi udara yang terjadi di sejumlah wilayah. Kebijakan tersebut mulai dari penerapan bekerja dari rumah, kewajiban untuk uji emisi pada kendaraan, serta imbauan untuk menggunakan masker.
Langkah-langkah itu dinilai baik untuk mengurangi dampak polusi bagi masyarakat. Namun, upaya lain yang lebih agresif dan menyeluruh tetap diperlukan agar persoalan polusi udara bisa diatasi secara berkelanjutan.
Direktur Utama RS Umum Pusat Persahabatan Agus Dwi Susanto di Jakarta, Rabu (23/8/2023), berpendapat, salah satu kebijakan pemerintah yang menerapkan aturan bekerja dari rumah bisa menjadi cara untuk mengurangi emisi kendaraan. Kebijakan tersebut bisa berdampak pada berkurangnya polutan.
Penerapan aturan kebijakan dari rumah juga bisa sekaligus melindungi kelompok masyarakat, terutama kelompok berisiko tinggi dari dampak polusi udara. Adapun kelompok berisiko tinggi dari dampak polusi, antara lain ibu hamil, anak dan balita, lansia, serta orang dengan penyakit terkait paru dan jantung kronik.
”Akan tetapi, untuk mengurangi dampak polusi tidak cukup hanya melalui satu langkah. Saat mudik Lebaran pada 2023 saja, ketika banyak warga Jakarta mudik, polutan di Jakarta tetap tinggi. Jadi pendekatan (mengatasi polusi)-nya tidak bisa sepotong saja,” tutur Agus.
Menurut dia, butuh regulasi lain yang lebih kuat dan agresif untuk mengatasi persoalan polusi di masyarakat. Pembatasan kendaraan bermotor, penerapan aturan 4 in 1 untuk pengguna kendaraan, serta gerakan massal untuk menggunakan angkutan umum bisa menjadi cara yang dilakukan.
Selain itu, masyarakat juga harus lebih didorong untuk bisa beralih menggunakan transportasi massal ataupun transportasi yang ramah lingkungan. Upaya lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat dengan tidak membakar sampah karena itu bisa menambah polusi udara di lingkungan sekitar.
”Harus ada langkah-langkah konkret dan juga rencana yang baik agar upaya untuk mengurangi polusi udara bisa lebih terukur dan berdampak jangka panjang bagi masyarakat,” katanya.
Harus ada langkah-langkah konkret dan juga rencana yang baik agar upaya untuk mengurangi polusi udara bisa lebih terukur dan berdampak jangka panjang bagi masyarakat.
Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah memberikan rekomendasi untuk mencegah dan menangani masalah polusi udara di masyarakat. Bagi pemerintah dan pemangku kebijakan, antara lain didorong untuk membuat peraturan standar baku mutu udara yang sesuai dengan standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Saat ini strandar baku mutu udara yang digunakan pemerintah lebih rendah dari standar yang ditetapkan WHO.
Pemerintah juga didorong untuk mengatur emisi polusi udara yang dihasilkan oleh industri. Pembukaan pembangkit listrik tenaga alternatif, seperti tenaga angin, tenaga ombak, dan tenaga matahari, perlu dimulai untuk mengurangi emisi polusi udara dari pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan. Upaya mitigasi secara komprehensif juga dibutuhkan terhadap kondisi bencana polusi udara, seperti ketika terjadi kebakaran hutan.
Peningkatan kasus
Agus mengatakan, saat polusi udara dalam kondisi buruk saat ini, upaya perlindungan untuk mengurangi dampak jangka pendek dari polusi udara harus dilakukan dengan baik. Dampak kesehatan nyata terjadi akibat pajanan polusi udara.
Dari data kasus ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan pneumonia di RSUP Persahabatan pada periode Maret-Juli 2023 menunjukkan peningkatan kasus sampai 30 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Peningkatan kasus ISPA dan pneumonia bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satunya oleh polusi udara.
Staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Feni Fitriani Taufik, menyampaikan, pajanan dari polusi udara dapat menyebabkan berbagai macam penyakit bagi masyarakat. Efek jangka pendek dari pajanan polusi udara adalah mata merah, hidung berair, bersin, peradangan, sakit tenggorokan, batuk, dan berdahak. Pajanan polusi udara juga dapat meningkatkan risiko ISPA, serangan asma, penyakit paru obstruktif kronik, serta serangan jantung.
Sementara efek jangka panjang dari pajanan polusi udara, seperti penurunan fungsi paru, hiperreaktivitas bronkus, reaksi alergi, asma, risiko PPOK, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta risiko kanker. Setiap kenaikan 10 mikrogram per meter kubik dari paparan PM 2,5 dapat meningkatkan risiko kanker paru pada seseorang. Studi yang dilakukan di Vietnam dan Indonesia pada 2015 pun menunjukkan 6,9 persen kasus PPOK ditemukan bukan pada perokok. Salah satu faktor risiko utama dari PPOK, selain rokok, yakni paparan polusi udara.
Feni menyebutkan, dari studi yang dilakukan oleh Nafas di Jakarta pada 2022 juga menunjukkan, kenaikan kadar PM 2,5 di Jabodetabek turut meningkatkan jumlah konsultasi telemedisin terkait penyakit pada saluran pernapasan. Setidaknya konsultasi terkait penyakit bronkitis naik 100 persen. Selain itu, konsultasi terkait asma juga naik 200 persen, influenza naik 400 persen, dan rinitis naik 200 persen.
Agus menuturkan, setidaknya ada tujuh upaya utama yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi dampak dari polusi udara. Upaya itu meliputi, selalu memantau kualitas udara secara real-time, mengurangi aktivitas di luar ruangan ketika indeks kualitas udara lebih dari 150, menghindari aktivitas berat seperti olahraga di luar ruangan, hindari kawasan dengan polusi udara tinggi, menggunakan masker, menjaga stamina dan pola hidup sehat, serta datang ke dokter ketika mengalami gejala penyakit.
”Kualitas udara yang buruk secara sederhana dan kasatmata juga bisa dilihat dari jarak pandang mata. Jika jarak pandang lebih dari 15 kilometer, itu tandanya kualitas udara masih baik. Namun, ketika sudah antara 2,5-4 kilometer tidak terlihat itu sudah tidak sehat. Jika kurang dari itu, apalagi kurang dari 1,4 kilometer, artinya kualitas udara sudah sangat tidak baik,” tuturnya.