”Pendidikan Agama Lintas Iman”, Buah Keprihatinan Atas Intoleransi dan Radikalisme
Buku ”Pendidikan Agama Lintas Iman" hadir untuk memperkuat toleransi dan kerukunan beragama. Pendidikan agama lintas iman, seperti yang diulas di buku ini perlu diajarkan di perguruan tinggi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Untuk memperkuat toleransi dan kerukunan beragama, pendidikan agama lintas iman dinilai perlu diajarkan dalam aktivitas perkuliahan di perguruan tinggi. Melalui pendidikan agama lintas iman, para mahasiswa dari berbagai agama bisa saling berdialog sehingga timbul penghargaan terhadap keberagaman dan perbedaan.
Demikian terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Pendidikan Agama Lintas Iman yang ditulis sejumlah dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Rabu (23/8/2023), di kampus UAJY, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Diskusi itu menghadirkan dua pembicara, yakni Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Al Makin, dan dosen Agama UAJY Yoachim Agus Tridiatno yang juga turut menjadi penulis dan editor buku Pendidikan Agama Lintas Iman.
Agus memaparkan, buku Pendidikan Agama Lintas Iman ditulis karena keprihatinan terhadap sejumlah kondisi di Indonesia. Salah satunya adalah terus terjadinya tindakan intoleransi dan radikalisme.
Di sisi lain, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi cenderung hanya mengajarkan doktrin dan ritual agama. Pendidikan agama di banyak perguruan tinggi juga memisahkan mahasiswa berdasarkan agamanya sehingga tidak terjadi dialog di antara para mahasiswa yang berbeda agama.
Oleh karena itu, Agus mengusulkan agar perguruan tinggi di Indonesia mempraktikkan pendidikan agama lintas iman. Dalam model pendidikan itu, para mahasiswa dari berbagai agama ditempatkan dalam satu kelas untuk bersama-sama belajar dan berdialog mengenai agama.
”Menurut saya, yang kurang (dari pendidikan agama) itu tidak ada dialog. Maka, usul saya di buku ini, ya, jangan dipisah-pisah. Mahasiswa (dari agama berbeda) harusnya dicampur supaya mereka mengalami dialog,” ujar Agus.
Dalam pendidikan agama lintas iman, materi yang diajarkan juga tidak lagi berkutat pada doktrin dan ritual agama. Referensi mengenai materi pendidikan tersebut bisa dilihat dalam buku Pendidikan Agama Lintas Iman.
Di dalam buku tersebut, terdapat lima bab materi yang bisa diajarkan pada mahasiswa, yakni agama sebagai perjumpaan; agama dan pembelaan martabat manusia; agama dan penghormatan pada kehidupan; relasi agama dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan lingkungan hidup; serta relasi agama dengan hidup berbangsa dan bermasyarakat.
Sudah dipraktikkan
Agus menyatakan, sejak tahun 1990-an, pendidikan agama lintas iman sudah dipraktikkan di UAJY. Di universitas tersebut, mahasiswa yang mengikuti mata kuliah agama tidak lagi dipisah ke dalam beberapa kelas berdasarkan agamanya.
Menurut Agus, buku Pendidikan Agama Lintas Iman dibuat untuk panduan mata kuliah agama di UAJY. Meski begitu, buku itu juga bisa dijadikan panduan di perguruan tinggi lain. ”Syukur kalau buku ini bisa diterima di tempat lain,” tuturnya.
Mahasiswi Program Studi Arsitektur UAJY, Priati Sri Sekar Arum (19), mengaku senang dengan model pendidikan lintas agama di kampusnya. Setelah mengikuti pendidikan tersebut, perempuan beragama Islam itu merasa lebih mengenal agama-agama lain.
”Di UAJY ini, kan, benar-benar beragam sehingga saya banyak mengenal teman-teman non-Muslim pas kuliah di sini. Jadi, saya tertarik dan senang dengan sistem itu karena kita bisa toleransi dan menghargai satu sama lain,” kata mahasiswi angkatan tahun 2022 itu.
Sementara itu, Al Makin mengapresiasi penerbitan buku Pendidikan Agama Lintas Iman karena buku tersebut menghadirkan perpsektif dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Dia mencontohkan, saat membahas ihwal pengalaman religius, buku itu menjelaskan dari perspektif agama Buddha, Hindu, Kristen Protestan, Katolik, dan Islam.
Selain itu, buku Pendidikan Agama Lintas Iman juga membahas pandangan sejumlah agama mengenai isu-isu kekinian, misalnya kloning, aborsi, dan hukuman mati. ”Buku ini tidak menghadirkan perspektif satu agama. Ini merupakan kelebihan buku ini,” ujar Al Makin.
Saya tertarik dan senang dengan sistem itu karena kita bisa toleransi dan menghargai satu sama lain.