Udara kotor di Jakarta dan sekitarnya tidak datang dengan tiba-tiba, pun solusinya tidak bisa instan dan individual. Kita perlu komitmen dan kebijakan tegas negara dengan menyasar sumber polusinya.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Udara kotor di Jakarta dan sekitarnya tidak datang dengan tiba-tiba, pun solusinya tak bisa instan dan individual. Belajar dari Beijing, China, yang pernah mengalami masalah serupa, upaya mengatasinya butuh komitmen politik kuat, terutama dengan menutup pembangkit listrik batubara dan industri kotor yang menjadi sumber utama pencemaran.
Beijing memutuskan menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara terakhirnya pada Sabtu, 18 Maret 2017. Dengan demikian, ibu kota China berpenduduk 30 juta jiwa itu menjadi kota pertama di China yang seluruh kebutuhan energinya dipasok gas alam, panel surya, hidro, dan angin. Belakangan mereka mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Sebelumnya, penutupan PLTU batubara di Beijing dan sekitarnya dilakukan secara bertahap sejak 2013, setelah kota ini diselimuti polusi udara terburuk dalam sejarah. Pada Januari 2013, Beijing diselimuti kabut polusi sedemikian tebal. Siang serupa malam dan lalu lintas terganggu.
Partikel berukuran diameter kurang dari 2,5 mikrometer (PM 2,5) lebih dari 600 mikrogram per meter kubik di sejumlah stasiun pemantauan di Beijing, dan 900 mikrogram pada malam hari. Padahal, tingkat harian yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk PM 2,5 sebesar 0-5 mikrogram.
Polusi tersebut telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kematian dini. Pada tahun itu juga, mantan Menteri Kesehatan China Chen Zhu menulis di jurnal kesehatan The Lancet.
”Studi dari Bank Dunia, WHO, dan Akademi China untuk Perencanaan Lingkungan mengenai efek polusi dan kesehatan menyimpulkan bahwa polusi udara di negeri ini menyebabkan antara 350.000 dan 500.000 orang meninggal dini setiap tahun,” tulis Zhu, di The Lancet edisi Desember 2013.
Studi ini didukung oleh temuan Beijing Office for Cancer Prevention and Control yang mengungkapkan bahwa kasus kanker paru-paru Adenosquamous carcinoma meningkat pesat. Tipe kanker paru-paru ini diduga kuat karena paparan polusi udara.
Lalu apa yang dilakukan China?
Pemerintah China, sebagaimana disampaikan Perdana Menteri China Li Keqiang, kemudian mengeluarkan kebijakan untuk membuat ”langit menjadi biru lagi” (China Daily, 2017). Program diawali dengan mengurangi pembangkit listrik batubara, terutama yang berada di sekitar perkotaan besar seperti Beijing.
Selain itu, mereka menutup, lebih tepatnya memindahkan, industri kotor ke negara lain. Industri semen termasuk paling banyak ditutup di China. Menurut Yu Lei dkk (MIT Press, 2014), industri semen menjadi salah satu penyumbang pencemaran udara tertinggi di negeri itu. Tahun 2000, industri ini menyumbang 40 persen pencemar debu industri di China.
China sebelumnya produsen sekaligus konsumen terbesar semen di dunia dengan produksi 2,21 miliar ton pada tahun 2012 atau 56 persen produksi global. Namun, sejak 2013, mereka mulai mengurangi produksi.
Sebagian investasi industri semen dan PLTU batubara dari China itu kemudian berpindah di Indonesia. Itulah yang menyebabkan banyak investasi China di Indonesia untuk pembangunan PLTU dan juga pabrik semen dalam satu dasawarsa terakhir.
Jadi, ekspansi perusahaan semen dunia dan PLTU batubara di Indonesia memang harus dibaca sebagai politik membuang industri kotor ke negara miskin dan berkembang. Politik not in my backyard ini telah lama dipraktikkan negara maju, seperti negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang, dan kemudian China.
Situasi di Indonesia
Kembali ke polusi udara di Indonesia.
Berdasarkan riset Walhi dan Greenpeace, terdapat 10 PLTU batubara yang berjarak 100 kilometer dari Jakarta, sebagian besar berada di Banten, selain Jawa Barat. Hal ini pula yang menyebabkan kawasan Serpong, Banten, kerap memiliki udara paling kotor, bahkan dibandingkan dengan Jakarta.
Untuk Jakarta, PLTU batubara sebenarnya hanya salah satu sumber pencemaran udara. Riset Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung yang memantau polusi udara di tiga lokasi di Jakarta saat musim kemarau periode Juli–September 2019 menunjukkan, asap kendaraan justru menjadi sumber utama polusi PM 2,5, mencapai 42-57 persen.
Setelah asap kendaraan ini, polusi PM 2,5 di Jakarta disumbang oleh PLTU batubara, pembakaran terbuka, kegiatan konstruksi, hingga debu jalan.
Jelas bahwa pencemaran dari kendaraan bermotor memang harus segera dicari solusinya. Dalam hal ini, menggenjot transportasi umum berbahan bakar ramah lingkungan, seperti listrik, harus menjadi pilihan utama.
Namun, perlu dicatat, pembangkit listrik batubara merupakan induk dari segala sumber pencemaran ini karena amat terkait dengan pilihan solusi lain. Misalnya, rekomendasi beralih menggunakan kendaraan listrik tidak akan efektif menurunkan polusi kalau sumber listriknya masih dari PLTU batubara.
Apa pun solusi yang diambil, dibutuhkan komitmen politik yang kuat. Masalah polusi udara di Jakarta ini jelas tidak bersifat individual, seperti memakai masker, menggunakan penjernih udara, bahkan bekerja dari rumah.
Kita perlu kebijakan menyeluruh dengan menyasar akar masalah, bukan kuratif dan temporer. Hal ini sejalan dengan gugatan warga (citizien law suit) Jakarta tentang polusi udara yang menang di pengadilan negeri pada tahun 2021, lalu dikuatkan di level Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2022.
Masalah polusi udara di Jakarta ini jelas tidak bersifat individual, seperti memakai masker, menggunakan penjernih udara, bahkan bekerja dari rumah.
Putusan pengadilan menghukum Tergugat 1 (Presiden Joko Widodo) wajib menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara Tergugat 2 (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya) diminta melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI (Anies Baswedan), Gubernur Banten (Wahidin Halim), dan Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil), dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Tergugat 3 (Menteri Dalam Negeri) disebut untuk mengawasi dan membina terhadap kinerja Tergugat 5 (Gubernur DKI) dalam pengendalian pencemaran udara.
Tergugat 4 (Menteri Kesehatan) disebut untuk menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Tergugat 5 (Gubernur DKI) dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara. Di antara para tergugat ini, hanya Gubernur DKI Jakarta yang menyatakan tidak mengajukan banding.
Sementara itu, pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, Menteri LHK, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan, menunda bertanggung jawab mengatasi masalah ini dengan mengajukan banding. Hal ini menjadi bom waktu dan meledak seperti saat ini.