Festival Teater Jakarta Utara, Laboratorium bagi Seniman Teater Muda
Festival Teater Jakarta Utara berlangsung pada 21-26 Agustus 2023. Festival ini menjadi wadah para komunitas seni untuk mengasah diri dan berkompetisi secara sehat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Festival teater ibarat laboratorium bagi seniman-seniman muda. Ajang ini bukan hanya ruang untuk tampil, tapi juga bereksperimen dalam hal tafsir naskah maupun pemanggungan. Selain itu, festival teater juga menjadi wadah seniman untuk mengasah diri dan mendorong tumbuhnya ekosistem seni yang sehat.
Menjelang pukul 20.00, Senin (21/8/2023), Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya (PSBB) Aki Tirem, Jakarta Utara, ramai dengan kehadiran orang-orang yang hendak menonton pertunjukan berjudul ”Silence”. Pertunjukan yang dibawakan kelompok Marooned Actor Society tersebut adalah pembuka dari Festival Teater Jakarta Utara. Festival berlangsung pada 21-26 Agustus 2023.
”Silence” merupakan naskah yang ditulis oleh dramawan asal Inggris, Harold Pinter. Nakah ini pertama kali dipentaskan di Aldwych Theater, London, oleh the Royal Shakespeare Company, pada 1969. ”Silence” lantas diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Di Jakarta, naskah itu lantas dipentaskan oleh Marooned Actor Society.
”Silence” versi 2023 dipentaskan di panggung yang disekat dengan kain putih sehingga membentuk tiga bilik. Setiap bilik dihias dengan tema berbeda. Terdapat satu aktor di masing-masing bilik tersebut.
Bilik paling kiri diisi aktor perempuan yang selama pentas mencoba beberapa setel baju. Bilik tengah, yang dihiasi pecahan cermin di dinding, diisi aktor lelaki yang kerap menyembunyikan kepalanya di koper. Sementara itu, di bilik kanan ada seorang aktor lelaki yang bicaranya cepat dan meluap-luap serta kerap jungkir balik. Dinding pada bilik kanan tersebut dihiasi pipa dan sirkuit listrik.
Ketiga aktor tersebut membawakan monolog secara bergantian, tetapi tak ada monolog yang nyambung satu sama lain. Aktris di bilik kiri, misalnya, bicara soal masa lalunya yang kadang ia ingat, kadang ia lupa. Aktor di bilik tengah bermonolog mengenai pertemuan dengan tokoh ”dia”, sementara aktor di bilik kanan sempat bicara soal daki dan obrolannya dengan tokoh-tokoh lain.
Di sisi kanan panggung ada dua aktor lain. Keduanya duduk di meja makan sambil berdialog tentang tokoh ”dia”. Dialog kedua aktor ini pun tak padu jika dikaitkan dengan monolog tiga aktor sebelumnya.
Sutradara pementasan itu, Fadjar Sukma, menjelaskan bahwa monolog di panggung terkesan tak berkorelasi satu sama lain. Hal ini mencerminkan miskomunikasi yang kerap terjadi antarmanusia. Hal ini terjadi karena manusia tidak pernah bisa 100 persen mengerti manusia lain. Hal ini diperparah dengan sikap manusia yang kini semakin individualis.
”Hari ini ada teknologi dan media sosial yang di satu sisi menjadikan (komunikasi) semakin mudah. Di sisi lain, menyimpan persoalan. Kadang, apa yang kita tulis (di media sosial) diartikan berbeda. Bisa saja kita yang menulis merasa biasa saja, tapi kesannya jadi beda saat pembacanya emosi,” ucap Fadjar.
Menafsir dari diskusi
Tafsiran mengenai tema pementasan teater ini diperoleh dari diskusi yang dilakukan Marooned Actor Society sejak beberapa bulan lalu. Para pelakon teater ini (yang semuanya berusia 20-an tahun) punya profesi beragam, yakni sebagai karyawan, pebisnis, hingga praktisi hukum. Latar belakang mereka yang berbeda-beda memperkaya diskusi.
”Kami berupaya menafsir dan mengorelasikan (peristiwa) hari ini dengan yang terjadi saat naskah ditulis. Kami jadi sama-sama belajar,” kata Fadjar. ”Kami menganggap ini laboratorium keilmuan kesenian kami,” lanjutnya lagi.
Ia menambahkan, laboratorium seni penting karena teater masa kini tak hanya bicara soal keaktoran atau pemanggungan. Seniman teater mesti memahami bidang ilmu lain untuk menafsirkan naskah, kemudian bereksplorasi.
Selain Marooned Actor Society, ada Teater Trotoar yang tampil pada Selasa siang. Lakon mereka yang berjudul ”Nasib Nelayan Kota” ini dipentaskan sekitar 30 anak berusia SD-SMP. Semuanya adalah anak nelayan yang tinggal di pesisir Jakarta Utara.
Sutradara dan penulis naskah, Aceng Gimbal, mengatakan, ”Nasib Nelayan Kota” merupakan perpaduan dari pertunjukan film pendek, puisi, musik, akting, dan tarian. Sesuai judulnya, teater ini menceritakan nasib nelayan yang semakin sulit mencari ikan karena limbah dan sampah di laut. Kondisi tersebut memengaruhi kesejahteraan para nelayan.
”Pesan ke penonton, pertama, sebagai manusia minimal kita cinta lingkungan. Jangan sampai buang sampah sembarangan dan mencemari lingkungan dengan hal buruk yang bisa mendatangkan bencana,” ucap Aceng.
Sepuluh komunitas
Festival Teater Jakarta Utara menampilkan sepuluh komunitas seni yang berbasis di Jakarta Utara. Mereka semua telah dikurasi oleh tim juri. Di festival ini, semua komunitas diadu kembali untuk menentukan tiga penampil terbaik.
Mereka yang terpilih bakal mewakili Jakarta Utara ke Final Festival Teater Jakarta (FTJ) yang akan berlangsung pada Oktober 2023. Final FTJ ini akan diikuti para finalis dari Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Masing-masing wilayah akan mengirim tiga finalis.
Mengutip laman ftj.or.id, FTJ merupakan festival tertua di Indonesia dan Asia Tenggara yang berlangsung pertama kali pada 1973. Festival ini semula bernama Festival Teater Remaja Jakarta (FTRJ). Hingga kini, festival ini jadi wadah pengembangan seni teater di Jakarta.
Ketua Ikatan Teater Jakarta Utara (Itera) Adisty Rifdahtul Aisy menuturkan, kehadiran festival penting sebagai wadah bagi para pelaku seni teater untuk mengembangkan kreativitas. Menurutnya, perkembangan positif tampak di kalangan seniman teater Jakarta Utara beberapa tahun terakhir.
”Mereka lebih mendalami perannya, sutradara wawasan kini lebih luas, dan imajinasi penulis kini lebih liar,” katanya.