Prevalensi perokok anak di Indonesia mencapai 9,1 persen pada 2018. Paparan rokok pada anak menyebabkan gangguan kesehatan, termasuk ”stunting”.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak yang merokok rentan kecanduan dan mengalami berbagai masalah kesehatan. Anak yang anggota keluarganya merokok pun rentan mengalami tengkes atau stunting karena pengeluaran rumah tangga mengalir untuk rokok, bukan makanan bergizi. Kondisi ini mengancam masa depan anak.
”Menurut penelitian terbaru kami, sekitar 60 persen anak yang sudah bisa berhenti merokok kambuh lagi atau istilahnya relapse. Jadi, rokok itu sangat berbahaya karena begitu kecanduan, akan sulit berhenti,” kata Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Ada sejumlah penyebab kambuh merokok pada anak, antara lain, pengaruh teman sebaya. Penyebab lain adalah harga rokok yang murah, yakni rata-rata Rp 20.000 per bungkus. Harga rokok batangan bahkan lebih terjangkau.
Kekambuhan merokok juga terjadi karena paparan iklan. Selain itu, promosi dan sponsor acara dari industri rokok juga turut membuat anak mencoba merokok.
Hal ini menyumbang tingginya angka anak perokok di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, prevalensi perokok pada anak usia 10-18 tahun pada 2013 adalah 7,2 persen. Angka itu naik menjadi 9,1 persen pada 2018.
Adapun Indonesia menargetkan angka perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024. Ini sesuai target pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Namun, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, target tersebut sulit dicapai.
Menurut Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, industri rokok menargetkan anak dan remaja sebagai konsumen rokok. Adapun sebanyak 20 persen siswa SMP kelas VII-IX di Indonesia merokok.
”Kalau anak sudah kecanduan, mereka akan merokok sampai dewasa. Selama 30-40 tahun mereka akan menginvestasikan uang untuk rokok. Itu tambang emas untuk (industri) rokok,” ucap Hasbullah.
Mengutip laman Kementerian Kesehatan, merokok dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, gangguan pernapasan, kanker paru dan tenggorokan, serta penyakit gigi dan mulut. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit lain.
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melalui laman resminya menyatakan, anak yang jadi perokok pasif rentan mengalami batuk lama, radang paru, dan asma. Bahkan, ada 165.000 anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok.
Anak yang merokok maupun anak dari perokok aktif juga rentan mengalami stunting. Ini karena anggaran belanja di sejumlah rumah tangga dialokasikan untuk rokok, bukan untuk kesehatan atau makanan bergizi. Jumlah dan kualitas nutrisi makanan bagi keluarga, termasuk anak, pun berkurang.
Hal ini tecermin pada penelitian PKJS UI di Desa Bunderan, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Menurut penelitian, rokok jadi prioritas utama di atas makanan dan kebutuhan sehari-hari. Adapun konsumsi rokok adalah 1-2 bungkus per hari (harga rokok Rp 20.000 per bungkus).
”Anak yang sudah stunting itu akan sulit sekali ditangani. Tapi, jika anak baru menuju gizi buruk, (lebih baik) segera ditangani gizinya,” ucap Direktur Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Widyawati.
Stunting merupakan ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia. Sebab, anak dengan stunting tak hanya terganggu perkembangan kognitifnya, tetapi juga berisiko terhadap sejumlah penyakit kronis saat dewasa, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Sebanyak 2-3 persen produk domestik bruto pun diprediksi hilang per tahun akibat stunting. Dengan PDB Indonesia sekitar Rp 15.000 triliun pada 2020, kerugian akibat stunting sekitar Rp 450 triliun per tahun.
Program Lead Manager Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil Sekretariat Wakil Presiden Ling Mursalin menambahkan, menurut perhitungan Bank Dunia, investasi gizi ke anak akan menghasilkan keuntungan 48 kali lipat di masa depan. Investasi ke kesehatan anak pun penting karena akan memengaruhi produktivitas mereka.
Adapun Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Bintang Ayu Darmawati menyatakan, kementeriannya terbuka untuk diskusi dan kolaborasi terkait pemenuhan hak anak. ”Kita butuh sinergi dan kolaborasi bersama untuk mencari jalan terbaik bagi penerus bangsa,” katanya.