Djakarta International Theater Platform kembali digelar Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. DITP pada tahun ini membahas fenomena urban.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seniman-seniman teater dalam dan luar negeri akan berkolaborasi di Djakarta International Theater Platform atau DITP. Platform menjadi wadah menafsirkan makna ruang dalam konteks urban.
DITP diselenggarakan Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13-20 Agustus 2023. Selain seniman dari Indonesia, hadir pula seniman dari Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Jepang.
Kurator DITP 2023 Adinda Luthfiani mengatakan, Senin (14/8/2023), DITP tahun ini mengusung tema crossing zone atau zona perlintasan. Tema ini merupakan refleksi dari pembangunan kota yang memangkas ruang hijau sekaligus mempersempit ruang publik. Untuk mengatasinya, warga akhirnya menghuni kampung kota.
Rangkaian DITP mencakup lokakarya dan diskusi seni. Sejumlah pertunjukan seni dapat disaksikan masyarakat luas.
Kampung kota dianggap sebagai zona perantara bagi masyarakat pekerja yang terlibat dalam pembangunan kota. Di sisi lain, mereka tak mampu menjangkau hunian. Mereka pun ke kampung kota yang menyediakan tempat tinggal dengan biaya terjangkau. Adapun kampung kota dianggap mencerminkan dinamika ekosistem urban.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa Indonesia bukan lagi negara agraris, tetapi urban. ”Lebih dari 50 persen penduduknya tinggal di perkotaan. Kemungkinan angkanya jadi 70 persen pada 2045. Artinya, ada pergeseran nilai. Kita perlu daya kritis untuk memaknai ruang,” ucap Adinda saat dihubungi.
Ia menambahkan, masih ada kampung-kampung di kota besar yang warganya suka menyanyikan lagu daerah. Ada juga yang masih mementaskan kesenian seperti ketoprak di kampung kota. Dinamika kampung kota ini, menurut Adinda, menarik dikulik.
Pertemuan dengan seniman-seniman lintas negara juga diharapkan memperkaya pengalaman artistik mereka. DITP diharapkan jadi media berbagi pengetahuan dan metode penciptaan seni.
Dalam keterangan tertulis di katalog DITP, perwakilan Komite Teater DKJ Bambang Prihadi berpendapat bahwa saat ini tak ada ruang aman untuk berefleksi, mencipta karya, atau sekadar istirahat dalam diam. DITP pun ditawarkan sebagai wadah bagi individu-individu yang ingin bertemu tanpa desakan tertentu serta untuk bereksperimen secara bebas.
Pertunjukan seni
Refleksi para seniman atas dinamika urban kemudian dikreasikan menjadi seni pertunjukan. Adinda menambahkan, para seniman di DITP diberi ruang untuk melihat peristiwa urban secara kritis dan luas, baik dari segi sejarah, politik, maupun folklor yang berkembang di masyarakat.
Adapun pertunjukan berjudul ”Medea and Its Double” berlangsung pada Minggu (13/8/2023) malam. Pertunjukan yang dibawakan oleh Seoul Factory of the Performing Arts (Korea Selatan) ini merupakan interpretasi dari lakon Yunani Kuno bertajuk ”Medea” karya Euripides.
Seniman Irwan Ahmet pun akan menampilkan pertunjukan ”Satu Sekoci dengan yang Kubenci”. Ini adalah hasil refleksi atas sejarah nenek moyang bangsa Indonesia yang disebut sebagai pelaut. Namun, identitas itu tak lagi terbaca di zaman sekarang. Ini tampak, di antaranya, dari reklamasi pantai yang juga bakal berdampak ke kehidupan pelaut.
Ada pula pertunjukan bertajuk ”Monster Ikan” yang idenya berangkat dari sosok monster ikan bernama Isonade. Isonade, yang berasal dari legenda Jepang, digambarkan serupa hiu dengan ribuan jarum halus sebagai siripnya. Ia berenang tanpa suara mendekati perahu dan merusaknya.
Pertunjukan ini dibawakan oleh Studio Collaboration 1.0 yang terdiri dari seniman-seniman Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Thailand. Monster Ikan diibaratkan sebagai ”kekuatan tak terlihat” warga yang terpaksa pindah dari kediamannya karena berbagai alasan, baik faktor alam maupun politik. Meski tak terlihat, ”monster ikan” diyakini ada dalam tiap peristiwa urban.