Semangat Jan Djong melawan sisa-sisa feodalisme pascapenjajahan, yakni kekuasaan Raja Sikka dan gereja di Maumere, tetap relevan sampai saat ini. Masih banyak kebijakan lahir tanpa mengindahkan partisipasi rakyat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buku Kewargaan Pascakolonial di Indonesia; Sebuah Sejarah Populer karya Gerry van Klinken menggambarkan masih lemahnya nilai-nilai kewargaan Indonesia karena kekuasaan pejabat yang belum melibatkan rakyat sebagai elemen penting dalam demokrasi. Perjuangan Jan Djong di Maumere yang diangkat buku ini masih relevan. Banyak regulasi yang lahir baru-baru ini dinilai mengesampingkan kepentingan rakyat.
Guru Besar Emeritus bidang Sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam, Belanda, dan Universitas Queensland, Australia, ini mengulas perjuangan Jan Djong, seorang aktivis dan mantan Camat Kewapante di Maumere, Nusa Tenggara Timur, pada 1950-an. Jan Djong melawan sisa-sisa feodalisme pascapenjajahan, yakni kekuasaan Raja Sikka dan gereja yang monolitik saat itu yang hanya membuat kebijakan elitis.
Padahal, Indonesia telah memilih bentuk negara republik yang mengutamakan demokrasi kerakyatan, bukan semata mengikuti kemauan penguasa. Cita-cita Reformasi 1998 akan partisipasi bermakna dari rakyat pun masih jauh dari harapan. Kebijakan otonomi daerah, misalnya, dianggap mengembalikan konfigurasi politik seperti yang dijalankan Belanda di era penjajahan.
Ada kelahiran kembali kaum ningrat dalam aparat-aparat lokal yang mencicipi uang pembangunan sehingga ratusan kepala daerah masuk penjara.
Dulu Belanda mengangkat orang kuat atau raja-raja yang memiliki legitimasi tradisional karena kelahiran ningrat, agama, dan lainnya untuk berkuasa di daerah. Jan Djong menentang hal itu karena merasa kebijakan yang mereka buat tidak melibatkan dan menyentuh akar permasalahan rakyat.
”Dinamika semacam itu masih kita saksikan di beberapa kota dan kabupaten di Indonesia saat ini. Ada kelahiran kembali kaum ningrat dalam aparat-aparat lokal yang mencicipi uang pembangunan sehingga ratusan kepala daerah masuk penjara,” kata Gerry saat peluncuran bukunya di Kantor Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Senin (14/8/2023).
Untuk melawan itu, Jan Djong melihat perlu sebuah negara yang mengedepankan prinsip partisipatoris dan emansipatoris yang menempatkan rakyat sebagai kekuatan. Namun, Jan Djong dibunuh pada 1966 di dalam penjara karena dianggap terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dia termasuk satu dari sekian banyak orang di negeri ini yang dieksekusi tanpa bukti pasti terlibat dengan PKI. Padahal, Jan Djong mungkin tidak tahu menahu tentang PKI, apalagi soal paham komunisme, marxisme-leninisme.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menambahkan, ekspresi kewargaan yang merupakan hak setiap warga negara juga terhambat dengan adanya birokrasi pemerintahan. Sementara birokrasi pemerintahan saat ini masih membawa warisan era kolonial yang tidak mengedepankan demokrasi kerakyatan.
Dulu, hambatan ini bisa diatasi dengan peran partai politik yang bisa menjembatani kepentingan rakyat karena ada ikatan kuat di antara keduanya. Sekarang, peran itu menghilang, peran partai politik hanya terasa menjelang tahun politik menjelang pemilihan umum.
”Sekarang kewargaan kita baru diakui hanya menjelang pemilu. Kita baru didekati calon legislator, disodori berbagai kampanye dan baliho karena tidak ada lagi esensi kewargaan sekarang. Tidak ada lagi mediator yang menjembatani,” kata Wasisto.
Menurut Wasisto, salah satu contoh kebijakan era sekarang yang melemahkan kewargaan Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Proses dan substansi UU ini lahir tanpa menempatkan rakyat pada posisi paling utama dalam kehidupan bernegara sesuai dengan nilai-nilai konstitusi UUD 1945.
Profesor dari Universitas Radboud, Belanda, Roel Meijer menilai buku terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia ini merupakan sumbangan penting di bidang studi kewargaan, tidak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Berlawanan dengan paradigma patronase dan klientelisme yang umum di Selatan Global. Gerry dinilai berhasil menunjukkan bahwa konsep kesamarataan, keadilan, keikutsertaan, inklusivitas, dan mobilisasi menjadi kekuatan yang sangat berarti dalam sejarah Indonesia.
”Ide-ide ini memberikan semangat berbuat kepada warganya untuk melawan penindasan dan ketidaksamaan,” kata Roel.