logo Kompas.id
BukuPolitik Dinasti: Strategi...
Iklan

Politik Dinasti: Strategi Kolonial Mengendalikan Elite Pribumi di Jawa

Politik dinasti menjadi salah satu strategi yang digunakan kolonial untuk mengendalikan pemerintahan lewat kepala daerah pribumi. Politik ini akhirnya melanggengkan kekuasaan elite Jawa pada masa kolonial.

Oleh
Martinus Danang Pratama Wicaksana
· 6 menit baca

Heather Sutherland, penulis buku Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX (Komunitas Bambu, 2021), mengurai berbagai upaya kolonial melanggengkan kekuasaan para elite Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari Notes on Java’s Regent Families yang dimuat dalam jurnal Indonesia terbitan Cornel University Southeast Asia Program di tahun 1973 dan 1974.

JudulPolitik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX
PenulisHeather Sutherland
PenerbitKomunitas Bambu
Tahun terbit2021
Jumlah halamanxxiv + 184 halaman
ISBN978-623-7357-23-0

https://cdn-assetd.kompas.id/AVqQnh7xPi8Vk8DSlOlau2-U8_A=/1024x1365/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FBuku-Heather_1632292402.jpg

Nama Sutherland tidaklah asing dalam dunia sejarah Indonesia, khususnya Jawa. Disertasinya tentang sistem birokrasi elite Jawa pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Sinar Harapan tahun 1983 dengan judul Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi.

Berbekal arsip dari para pejabat kolonial dan penuturan dari beberapa keturunan elite Jawa, Sutherland melihat bagaimana politik dinasti dijalankan di dalam sistem kolonial pada abad ke-15 hingga abad ke-20. Politik dinasti terjadi saat kekuasaan dikuasai satu keluarga besar secara turun-temurun.

Politik dinasti pada masa lalu masih membawa pengaruh dalam pemerintahan Indonesia saat ini. Salah satu contohnya terlihat saat perhelatan pilkada sering kali diikuti pasangan calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin terdahulu. Dengan demikian, perubahan rezim tidak otomatis membuat orang-orang yang bekerja dalam sistem lama lenyap. Mereka dapat muncul kembali di rezim baru dengan membawa kebiasaan, sikap, pengetahuan, dan hubungan yang sudah ada sebelumnya.

Birokrasi sistem kolonial

Pada masa kolonial, para pejabat selalu mencoba mengendalikan pemerintahan melalui kepala daerah pribumi. Sistem ini dijalankan sejak masa kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) hingga runtuhnya Hindia Belanda pada 1942. Upaya manipulasi terhadap politik lokal dipilih karena biayanya lebih murah dan cukup efektif. Namun, Sutherland beranggapan bahwa para pejabat kolonial sebenarnya tidak punya pilihan lain.

Sejak VOC tiba di Pulau Jawa pada abad ke-15, mereka mulai melakukan konsolidasi dengan otoritas pribumi setempat. Mereka mulai menyederhanakan hierarki pejabat kerajaan sehingga dapat membentuk jaringan kepala daerah yang relatif lebih tertib dan dapat dikendalikan.

Secara garis besar, sistem birokrasi masa kolonial terdapat dua pamong praja yang terpisah. Pertama adalah binnenlands bestuur (pemerintahan dalam negeri) yang diisi oleh orang Belanda yang bertugas mengawasi para pejabat pribumi. Kedua adalah pangreh praja atau pemangku kerajaan, yakni para pejabat yang diisi oleh elite pribumi. Kedua korps ini memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi jalannya pemerintahan di wilayahnya masing-masing.

Jabatan tertinggi dalam pemerintahan sipil daerah adalah gubernur yang merupakan orang Eropa. Di bawahnya terdapat residen dan asisten residen yang sama-sama diisi oleh orang Eropa. Adapun hierarki pejabat pribumi terdiri dari bupati yang bertanggung jawab atas kabupaten, wedana atau kepala kawedanan, dan asisten wedana. Para pejabat pribumi inilah yang disebut sebagai kalangan elite Jawa atau juga dikenal priayi.

Elite Jawa

Elite Jawa atau priayi merupakan kelas bangsawan tertinggi di dalam masyarakat. Apabila mengutip tulisan dari Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Peradaban Priyayi disebutkan bahwa, secara etimologi, priayi berasal dari kata para yayi (para adik), yang dimaksud adik raja. Hal ini semakin menegaskan bahwa priayi memiliki keterkaitan dengan keluarga secara turun-temurun.

Sutherland juga menampilkan lambang-lambang kepriayian seseorang layaknya seperti sebuah sistem di kerajaan. Hal yang paling menonjol dalam buku ini adalah mengenai gelar priayi. Seorang pejabat pribumi yang pertama kali naik namanya akan mendapat gelar kebangsawanan. Gelar kebangsawanan akan didapatkan juga oleh keturunan yang menggantikannya. Sebagai contoh Bupati Magelang pertama tahun 1810 adalah RT Danoeningrat, kemudian penggantinya yang merupakan anaknya bergelar RAA Danoeningrat II di tahun 1862, dan seterusnya. Namun, nama gelar ini bisa berganti apabila dinasti politik tersebut terputus.

Tidak hanya itu, Sutherland juga menampilkan foto-foto tentang pakaian bangsawan Jawa, gaya hidup, tempat tinggal, penggunaan prajurit, dan lain sebagainya. Foto-foto tersebut menjadi gambaran supremasi elite Jawa yang menjadi kepala daerah pada masa kolonial.

Seiring waktu, elite Jawa juga mengembangkan modal sosial dalam hubungannya secara politik dan ekonomi dengan pejabat Belanda. Para elite Jawa yang terbukti loyal terhadap pemerintah kolonial akan mendapatkan keuntungan, baik secara materi maupun pendidikan Barat untuk anak-anaknya. Pejabat pribumi yang disukai oleh Belanda juga tidak akan diganggu pemerintahannya sehingga para keturunannya dapat terus menempati kursi kekuasaan.

Penerapan sistem politik

Sutherland mengambil delapan wilayah sebagai kerangka penelitiannya, yakni Banten, Cirebon, Priangan, Batavia, Pasisir (pesisir utara), Ujung Timur (wilayah paling timur Jawa), Kejawen (wilayah luar di sebelah utara Kerajaan Mataram), dan Madura. Kerajaan Surakarta, Mangkunagara, Yogyakarta, dan Pakualam tidak dibahas karena terus berkembang dengan sistem politik yang berbeda.

Sutherland menemukan fakta bahwa pemerintah kolonial memperhatikan geopolitik setiap daerah pada saat hendak menerapkan sistem politiknya kepada para kepala daerah. Sebagai contoh di Banten, sebelum kedatangan orang Belanda wilayah tersebut dikuasai oleh kerajaan lokal. Kesultanan Banten saat itu tidak ingin bekerja sama dengan VOC. Akibatnya, pejabat kolonial membubarkan sistem kerajaan. Uniknya, dalam sistem politik kolonial yang baru, Belanda akan mengangkat seseorang yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan dengan keluarga kerajaan terdahulu.

Praktik ini juga sering kali digunakan Belanda ketika ada pejabat pribumi yang dipecat atau pensiun, penggantinya dipilih dari keluarga pejabat terdahulu. Contohnya saat Belanda membentuk Banten Utara. Menurut catatan Residen FK Overduyn, Bupati Serang pertama adalah Pangeran Moelapar dan di Lebak adalah Pangeran Sanedjaja. Kedua orang tersebut merupakan mantan penggawa Kesultanan Banten.

Bentuk praktik politik dinasti terjadi saat anak-anak bupati diberikan beberapa wilayah yang dapat mereka pimpin sebagai bupati. Contohnya adalah keluarga Tjitrosoman yang merupakan bupati di Pasisir. Dari 47 anaknya, sembilan orang menjadi bupati, yakni dua di Magetan, dua di Jepara, sedangkan anak-anak lainnya menjabat di Blora, Surabaya, Juwana, Ponorogo, Grobogan, Tuban, Kudus, Pati, Batang, Rembang, dan Lamongan. Sementara keturunan perempuannya menikah dengan banyak keluarga bupati lainnya.

Pernikahan anak-anak antarpara pejabat elite pribumi juga dilakukan sebagai salah satu cara mewariskan kekuasaan. Praktik ini dikenal sebagai pernikahan politik. Para bupati tidak segan menikahkan anak-anaknya di dalam lingkarannya sendiri untuk mempertahankan statusnya yang tinggi.

Bahkan, pernikahan antarkalangan elite ini juga digunakan untuk naik jabatan. Contohnya, seorang wedana atau asisten wedana yang menikah dengan anak perempuan bupati dapat naik jabatan menjadi bupati ketika sang bupati wafat.

Pejabat kolonial juga tidak segan-segan melakukan pemecatan terhadap bupati yang dianggap membangkang kepada pemerintahan. Akibatnya, dinasti sang bupati bisa terputus dan diganti orang lain. Pemerintah kolonial biasanya mengambil orang-orang dari kabupaten tetangga atau mempromosikan seseorang dalam kabupaten itu untuk naik jabatan sebagai bupati.

https://cdn-assetd.kompas.id/eS_SzZvvmLSZzX6QGCB7eCuddtg=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FP_20210921_153224_vHDR_On_1632278888.jpg
Kompas

Foto RMT Tjokronegoro III, Bupati Blora, dalam buku ”Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX” karya Heather Sutherland.

Penelitian lanjutan

Sutherland dalam epilognya menyatakan bahwa buku ini terbuka untuk penelitian selanjutnya. Hal ini ia katakan karena penelitiannya ini tidak ia klaim sebagai yang paling lengkap karena masih banyak informasi dari daerah lain di Jawa.

Sutherland mempertegas bahwa bukunya menjelaskan kesamaan pola politik dinasti di seluruh Pulau Jawa. Buku ini juga bisa menjadi pintu bagi yang tertarik meneliti sejarah berdirinya kota atau kabupaten di Jawa. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
santisimanjuntak
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000