Indonesia kaya akan pengetahuan astronomi budaya yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Namun, pengetahuan itu rawan punah sehingga mendesak untuk direvitalisasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suku-suku di Indonesia mempunyai pengetahuan astronomi berbasis budaya yang beragam. Namun, kekayaan ilmu tentang benda-benda langit itu rawan punah. Sebab, selain masih sedikit yang didokumentasikan, pemanfaatannya pun semakin minim.
Pengetahuan astronomi tradisional digunakan masyarakat di Nusantara untuk berbagai aktivitas, seperti bercocok tanam, menavigasi pelayaran, dan membuat penanggalan. Bahkan, mereka mempunyai penamaan tersendiri untuk benda-benda langit seperti bintang dan planet.
Peneliti astronomi tradisional, Lisa Febriyanti, mengatakan, pengetahuan astronomi tradisional lahir dari kebudayaan. Namun, imperialisme budaya yang terjadi pada masa kolonial mengikis praktik kebudayaan tersebut sehingga pengetahuan astronomi masyarakat ikut tergerus.
”Pengetahuan astronomi tradisional adalah bagian dari obyek kebudayaan yang rawan punah,” ujarnya dalam seminar ”Mengungkap Kearifan Astronomi dalam Budaya Nusantara” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (12/8/2023).
Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Pekan Astronomi Jakarta yang berlangsung pada 7-13 Agustus. Selain seminar, kegiatan ini juga menggelar pameran astronomi budaya, observasi matahari, pertunjukan planetarium mini, dan edukasi astronomi pada anak-anak lewat lokakarya astrokids.
Salah satu suku di Indonesia yang memiliki pengetahuan astronomi tradisional adalah suku Biak di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Dengan kemampuan navigasi, masyarakat Biak menentukan masa berlayar dan menjelajah sejumlah daerah di Tanah Air.
Masyarakat Biak mengenal dua konstelasi bintang, yaitu romanggwandi (Skorpio) dan sawakoi (Orion). Namun, mereka menggambarkan romanggwandi sebagai naga, bukan kalajengking.
Pengetahuan ini menjadi referensi dalam mengenali perubahan musim. Saat romanggwandi berada di atas cakrawala, berarti sedang musim teduh. Ini adalah waktu yang tepat melakukan pelayaran perdagangan ke tempat-tempat jauh karena gelombang laut relatif tenang.
Sementara jika sawakoi berada di atas cakrawala, itu tandanya musim angin barat. Adapun planet Venus menjadi panduan penting sebagai penunjuk arah timur pada dini hari.
Pengetahuan astronomi tradisional perlu dicatat dan dilestarikan. Sebab, pengetahuan itu terancam hilang jika tidak lagi digunakan masyarakat.
Bahkan, jejak pengetahuan astronomi itu digunakan sebagai motif pada perahu tradisional suku Biak. Sayangnya, perahu tersebut sudah jarang digunakan dalam aktivitas sehari-hari.
”Kebanyakan sudah memakai perahu mesin tempel. Perahu tradisional perlu untuk diadakan lagi karena itu akan menjadi tempat mereka bisa belajar astronomi tradisional,” ucap Lisa.
Menurut Lisa, sudah tidak banyak generasi muda suku Biak yang mengetahui ilmu astronomi para leluhurnya. Salah satu penyebabnya adalah pekerjaan yang mereka geluti saat ini tidak lagi didominasi di bidang kelautan.
”Sudah saatnya kita mengingatkan kembali pengetahuan itu dan merevitalisasinya. Inilah sesungguhnya jati diri bangsa kita, superpower dalam budaya. Pengetahuan astronomi adalah salah satu dari itu,” jelasnya.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan mengatakan, pengetahuan astronomi tradisional perlu dicatat dan dilestarikan. Sebab, pengetahuan itu terancam hilang jika tidak lagi digunakan masyarakat.
”Kalaupun anak zaman sekarang sudah tidak memakainya sebagai kompas kehidupan, itu tetap wajib kita catat. Level berikutnya adalah pengembangan dan pemanfaatan. Kebudayaan akan hilang kalau kita tidak melakukan apa-apa,” ujarnya.
Ensiklopedia
Restu menjelaskan, kekayaan pengetahuan astronomi budaya seharusnya bisa menjadi literasi berharga sebagai rujukan penelitian. Menurut dia, ilmu astronomi lokal tidak kalah dengan ilmu perbintangan dari luar negeri yang selama ini menjadi acuan.
”Saya membayangkan kita membuat ensiklopedia berkaitan dengan pengetahuan astronomi tradisi. Pasti banyak sekali. Ini penting karena salah satu masalah terbesar kita adalah minim sumber literasi,” jelasnya.
Restu menambahkan, ilmu astronomi lokal bisa diajarkan kepada siswa sekolah. Sebab, Kurikulum Merdeka memungkinkan siswa belajar ke komunitas masyarakat adat atau memanggil seniman dan budayawan untuk mengajar di sekolah.
”Pelindungan budaya itu penting. Mungkin generasi mendatang akan menggunakannya kembali, misalnya dalam karya sastra dan seni. Yang paling dekat dengan situasi saat ini adalah dalam bentuk audio visual,” ucapnya.
Astronom Widya Sawitar mengatakan, keilmuan berbasis budaya sudah lama diketahui dan dicatat oleh nenek moyang suku-suku di Nusantara. Pengetahuannya beragam yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.
“Pengetahuan itu masih sangat relevan hingga sekarang, khususnya untuk bertani dan melaut. Namun, penggunanya semakin sedikit. Mudah-mudahan generasi muda mau memperhatikannya. Kita tentu ingin mengenal leluhur kita dengan segala pengetahuannya,” katanya.