Pengetahuan astronomi tradisional membantu masyarakat Suku Biak menentukan waktu pelayaran. Pengetahuan ini perlu direvitalisasi untuk diwariskan lintas generasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat lokal di Tanah Air mempunyai kekayaan pengetahuan tradisional, termasuk dalam aspek astronomi. Pengetahuan yang mendukung berbagai aktivitas kehidupan itu perlu direvitalisasi sehingga dapat terus diwariskan.
Pengetahuan astronomi menjadi bekal masyarakat Suku Biak di Kabupaten Biak Numfor, Papua, dalam menguasai kemampuan navigasi. Keahlian ini digunakan untuk menentukan masa berlayar dan menjelajah sejumlah daerah di Nusantara.
”Ini membuktikan kemampuan navigasi Suku Biak yang luar biasa. Mereka mempunyai banyak pengetahuan tentang benda-benda langit,” ujar peneliti astronomi tradisional Lisa Febriyanti dalam webinar ”Astronomi Tradisional Suku Biak: Kajian Astronomi Tradisional sebagai Pengetahuan Ekologi Nusantara”, Kamis (25/5/2023).
Menurut Lisa, astronomi tradisional tidak bisa dilepaskan dari pandangan kosmologi masyarakat lokal. Suku Biak mempunyai konsep kosmologi tentang Nanggi sebagai Tuhan langit. Nanggi memiliki hubungan selaras dan harmoni dengan manyoa atau manusia serta farsyos atau jagat raya.
”Di dalamnya ada ruang-ruang. Ruang ini tidak bisa dipisahkan untuk bisa memahami astronomi tradisional,” ucapnya.
Berdasarkan catatan Feuilletau de Bruyn pada 1920, terdapat sejumlah kata dalam bahasa Biak yang digunakan untuk mengenali benda-benda langit. Catatan Bruyn pada 1940 juga menyebutkan dua konstelasi bintang yang dikenal masyarakat Biak, yaitu romanggwandi (skorpio) dan sawakoi (orion).
Akan tetapi, masyarakat Biak lebih mengenal romanggwandi sebagai naga. Masyarakat lokal memberikan penamaan yang tidak selalu sama dalam mengenali benda-benda langit.
”Dua konstelasi bintang ini menjadi penanda perubahan musim. Ketika romanggwandi berada di atas cakrawala, berarti musim teduh. Namun, jika sawakoi yang di atas cakrawala, itu tandanya musim angin barat,” jelasnya.
Meski pengetahuan astronomi merupakan sebuah pengetahuan selangit, tetapi tidak demikian bagi masyarakat adat yang sejak zaman lampau telah mampu membumikan pengetahuan astronomi.
Pengetahuan ini membantu masyarakat Biak dalam menentukan waktu pelayaran. Saat musim teduh, laut lebih tenang sehingga menjadi saat yang tepat untuk melakukan pelayaran perdagangan ke tempat-tempat jauh.
Lisa menuturkan, sejumlah masyarakat Biak masih memahami pengetahuan astronomi tersebut. Namun, generasi muda mereka sudah jarang mendapatkan pengetahuan itu.
Kondisi ini dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya memudarnya jejak-jejak dalam memanfaatkan pengetahuan astronomi tradisional. Penggunaan perahu tradisional semakin minim, digantikan dengan perahu motor.
”Akhirnya lama-kelamaan pengetahuan navigasinya pun luntur. Jadi, sangat penting merevitalisasi pengetahuan astronomi itu. Penggunaan kembali perahu-perahu tradisional di Biak bisa menjadi wahana edukasi sekaligus mengajak mereka berlayar untuk belajar tentang bintang,” jelasnya.
Lisa menambahkan, revitalisasi itu tidak hanya perlu dilakukan untuk pengetahuan astronomi, tetapi juga tradisi lokal lainnya. Sebab, hal itu merupakan kearifan lokal Nusantara yang membangun kehidupan lintas generasi.
”Meski pengetahuan astronomi merupakan sebuah pengetahuan selangit, tetapi tidak demikian bagi masyarakat adat yang sejak zaman lampau telah mampu membumikan pengetahuan astronomi,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor Onny Dangeubun mengatakan, pengetahuan astronomi yang dimiliki Suku Biak sebagai bukti peradaban maju masyarakat suku tersebut. Pengetahuan itu pula yang membuat orang Biak melakukan ekspansi ke sejumlah wilayah.
”Aset kearifan lokal ini memiliki ruang cukup luas. Tidak hanya membaca fenomena alam, tetapi juga dalam mengelola Bumi yang disebut sebagai kearifan ekologi,” ujarnya.