Djoko Pekik: Saya Terus Melukis ”Sak Kuate”!
Almarhum Djoko Pekik adalah pelukis maestro sekaligus seniman yang berhasil mendokumentasikan sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F03%2Fe4363a94-750a-47b1-9a95-e2a19724d04b_jpg.jpg)
Pelukis Djoko Pekik di kediamannya, di Kecamatan Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (3/3/2022).
Baru tiga bulan lalu, para seniman menggelar pesta khusus bagi pelukis maestro Djoko Pekik di Taman Yakopan, Kompleks Omah Petroek, Karangklethak, Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Dalam acara bertajuk ”Pekik’an Jejeran Djoko Pekik” itu, para seniman memberikan penghormatan kepada Djoko Pekik dengan memasang patung dirinya, karya Dunadi, di halaman Taman Yakopan.
Sebelum memotong tumpeng sebagai penanda pembukaan selubung merah patung dirinya, Djoko Pekik berkata: ”Saya sudah tidak betah hidup,” ucapnya, Senin (29/5/2023). Sontak hadirin terenyak sesaat.
Kondisi fisik Djoko Pekik saat itu memang tidak prima. Setelah sempat terjatuh beberapa waktu lalu, pelukis kelahiran Purwodadi, 2 Januari 1937, itu tidak bisa lagi berjalan tanpa alat bantu. Ke mana-mana, ia harus diantar menggunakan kursi roda.
”Lik, ora usah ngomong mati, mati urusane Gusti Allah. Sing penting semangat, Lik.” Pelawak Marwoto Kawer spontan memberikan semangat kepada Djoko Pekik yang menangis haru malam itu. Ia didampingi pematung Dunadi, pimpinan Omah Petroek Sindhunata, Marwoto Kawer, dan pelawak Abah Kirun.
Djoko Pekik lalu berkata lagi, ”Saya masih melukis, terus melukis sak kuate (sekuatnya),” ucapnya yang disambut tepuk tangan para seniman dan semua penonton. ”Pak Pekik Panjang Umur,” teriak Abah Kirun.
Baca juga: Djoko Pekik, Sang Pelukis ”Berburu Celeng”, Meninggal
Mendokumentasikan sejarah
Djoko Pekik memang layak mendapatkan penghormatan malam itu. Ia adalah seniman yang berhasil mendokumentasikan sejarah penting reformasi Indonesia melalui lukisannya ”Indonesia 1998: Berburu Celeng”. Konon, lukisan iku laku terjual dengan harga fantastis pada masa itu, Rp 1 miliar!
Lukisan ini menggambarkan seekor celeng atau babi hutan berkulit hitam yang tertangkap dan digotong oleh dua orang penderita busung lapar. Celeng gemuk bertaring indah itu tak berdaya diusung dua rakyat jelata menggunakan sepotong bambu. Ribuan mata menjadi saksi peristiwa besar itu.
Saya masih melukis, terus melukis sak kuate.
Djoko Pekik menggambarkan seekor celeng besar tertangkap. Badannya gemuk, besar, dan bulat. Taringnya indah, meninggalkan kesan tentang kemegahan dan kejayaannya.
Akan tetapi, celeng itu tampak terhina dan tersiksa. Kakinya diikat pada bambu, digotong dua orang busung lapar, lambang dari rakyat yang menderita. Lukisan itu dipamerkan sebagai pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta, 16-17 Agustus 1998, untuk memperingati pesta proklamasi (Kompas, Selasa 11 Mei 1999).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F29%2F43a29f46-91d9-410b-998d-2e3bef7789e8_jpg.jpg)
Patung pelukis Djoko Pekik karya pematung Dunadi ditempatkan di halaman Taman Yakopan, Kawasan Omah Petroek, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (29/5/2023). Patung tersebut bersanding dengan patung ”Berburu Celeng” karya Pramono. Djoko Pekik dengan lukisannya berjudul ”Indonesia 1998: Berburu Celeng” menjadi salah satu penanda penting momen reformasi 25 tahun silam.
Jurnalis Sindhunata merefleksikan, dengan lukisan tersebut, orang boleh membaca betapa rumitnya reformasi. Celeng itu adalah simbol bagi keserakahan nafsu manusia. Reformasi telah merobohkan kekuasaan politik yang dikuasai oleh keserakahan nafsu itu.
”Ibaratnya itu seperti rakyat telah berhasil menangkap celeng. Namun, dengan tertangkapnya celeng itu, celeng-celeng lain berkeliaran dan merajalela di era reformasi ini. Setelah reformasi, masih banyak sekali ’celeng-celeng’ yang rakus, suka korupsi, suka menguasai, dan menang sendiri,” ujarnya.
Karena itulah, tepat pada peringatan 25 tahun reformasi, Omah Petroek dan para seniman menggelar acara ”Pekik’an Jejeran Djoko Pekik” yang ditandai dengan penakhtaan patung Djoko Pekik karya Dunadi. Patung itu kini diletakkan di samping patung ”Berburu Celeng” karya Pramono. Patung Djoko Pekik yang tengah duduk tampak santai di samping dua lelaki busung lapar dengan celeng buruan di pikulan pundak mereka.
Menurut Dunadi, Djoko Pekik melalui karya-karya lukisan bertema celeng mampu menyampaikan kritik yang sangat vokal. ”Pak Pekik adalah pelukis luar biasa yang layak untuk diabadikan,” ucapnya.
Penakhtaan patung Djoko Pekik di Taman Yakopan dirayakan dengan meriah. Perupa Ki Ampun Cermomimik-o mementaskan Dlemingan Celeng; pelawak Abah Kirun, Marwoto Kawer, dan Srundeng menyuguhkan Jula-juli Kebudayaan; grup Kenya Wanduk Mamok Cs menampilkan tari Celeng Dhegleng; pentas Hip Hop ”Ring Satu” Yogyakarta bersama Shoimah, dan ditutup dengan pergelaran wayang kulit lakonPatih Celeng Gugur.

Presiden Joko Widodo dan Djoko Pekik mengamati lukisan ”Petruk jadi Ratu” di Istana Presiden Yogyakarta (Desember 2019).
Kolaborasi Djoko Pekik-Sindhunata
Pada masa reformasi 1998, Djoko Pekik dan Sindhunata ibarat pedang bermata dua. Djoko Pekik dengan lukisannya, ”Indonesia 1998: Berburu Celeng”, memvisualisasikan momen bersejarah itu. Sementara Sindhunata dengan tulisan-tulisannya menarasikan sekaligus merefleksikan karya-karya Djoko Pekik.
Tema lukisan tentang celeng sebenarnya sudah diangkat Djoko Pekik sebelum reformasi. Pada Desember 1996, Djoko Pekik melukis ”Susu Celeng” yang kemudian dipamerkan pada peringatan sewindu (8 tahun) jumenengan (penakhtaan) Sultan Hamengku Buwono X.
Dalam lukisan itu, Pekik menggambarkan seekor celeng raksasa yang sangat agresif. Meski perutnya sudah gendut, kepala celeng itu menyeruduk rakus, seakan tak kenal kenyang. Tanah di sekitarnya merah darah. Susu celeng itu mentes-mentes, enam jumlahnya. Jauh di seberang tampak lautan manusia. Jarak antara celeng dan manusia itu demikian jauh sehingga tak mungkin celeng itu ditangkap, dan celeng itu keenakan dalam kerakusannya (Kompas, 11 Mei 1999).
Setelah reformasi merekah, Djoko Pekik melukis lagi. Ia memberi judul lukisannya ”Indonesia 1998: Berburu Celeng”. Lukisan legendaris ini dipamerkan dalam pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta, 16-17 Agustus 1998, untuk memperingati pesta proklamasi.
Setelah itu, Djoko Pekik membuat sekuens lukisan celeng lagi berjudul ”Tanpa Bunga, Tanpa Telegram Duka” yang menggambarkan tentang penguburan celeng yang sepi. Sindhunata dalam opini pinggiran di harian Kompas, 11 Mei 1999, menceritakan bagaimana Pekik dalam lukisannya ini ingin menggambarkan betapa sepi kematian celeng itu. Sudah mati saja ia masih tetap dijaga oleh pasukan keamanan supaya rakyat tidak mendekat.
”Tiada bunga, tiada telegram duka mengiringi kematiannya. Kata Horst Tomayer, ‘Die beste Freund des Menschen ist die Einsamkeit’ (Teman terbaik manusia adalah kesepiannya). Kata-kata ini tampaknya juga berlaku bagi seekor celeng,” kata Sindhunata.
Baca juga: Jejeran (Djoko) Pekik Penanda Zaman
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F12%2F8b48c76e-410b-4b4b-82ae-2f11a88180e6_jpg.jpg)
Jurnalis senior Sindhunata (berdiri) bersama pelukis Djoko Pekik menunjuk lukisan ”Gembala Celeng” karya Susilo Budi saat pembukaan Pameran ”Kita Berteman Sudah Lama-Ekspresi 100 Seniman dan Perupa Yogyakarta” Mengenang 25 Tahun Reformasi di Bentara Budaya Yogyakarta, Kotabaru, Yogyakarta, Sabtu (20/5/2023).
Menggembalakan celeng
Ucapan spontan Djoko Pekik tiga bulan lalu akhirnya terwujud hari ini, Sabtu (12/8/2023). Djoko Pekik mengembuskan napas terakhir di rumah sakit pukul 08.09. Ia benar-benar menggenapi niatnya untuk terus melukis sekuatnya.
Di tengah keterbatasan fisiknya, sebelum berpulang, Djoko Pekik masih rajin hadir di pameran-pameran seni rupa serta kegiatan-kegiatan budaya. Ia juga hadir saat pembukaan pameran ”Kita Berteman Sudah Lama” di Bentara Budaya Yogyakarta, yang merupakan rangkaian peringatan 25 tahun reformasi, Sabtu (20/5/2023).
Pada pameran itu, para seniman mengabadikan Djoko Pekik dalam karya-karyanya. Pelukis Susilo Budi, misalnya, ia menggambar lukisan berjudul ”Gembala Celeng”. Di lukisan itu tampak sosok Djoko Pekik dan Sindhunata tengah menaiki seekor celeng besar. Mereka sedang menggembalakan gerombolan celeng di sebuah padang luas.
Selamat Jalan Djoko Pekik, sang penggembala celeng....