Perjuangan pekerja rumah tangga mendapatkan pengakuan negara menuai tantangan berat. Hampir 20 tahun proses legislasi tak kunjung disahkan di parlemen.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Hari Kemerdekaan Ke-78 Tahun Indonesia, para pekerja rumah tangga di Jakarta dan kota-kota besar akan menggelar mogok makan. Aksi tersebut sebagai bentuk protes pada Dewan Perwakilan Rakyat yang tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Mogok makan akan berlangsung serentak pada Senin (14/8/2023). Di Jakarta, para pekerja rumah tangga (PRT) bersama keluarganya, dan jaringan organisasi masyarakat sipil akan beraksi di depan pintu gerbang Kompleks Parlemen Senayan.
Aksi yang sama dilakukan serikat PRT di seluruh daerah untuk menuntut DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU) PPRT. DPR diminta jangan lagi mengabaikan nasib PRT. Pembahasannya telah terkatung-katung selama 19 tahun.
”Kami kembali aksi mogok makan untuk menggugah sejauh mana hati nurani pimpinan DPR. Apakah yang ada digambaran DPR, PRT adalah ancaman? Sudah sembilan belas tahun RUU PPRT di DPR,” ujar Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT (Jala PRT), dalam keterangan pers bersama Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) di Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Mogok makan dipilih sebagai simbolisasi dari keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT yang menjadi korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sama artinya pembiaran praktik penyanderaan terhadap PRT.
”Mogok makan menggambarkan situasi PRT selalu berada dalam rasa lapar. Ketika sedang bekerja, PRT sering harus menahan lapar, atau diberi makanan basi, disiksa dan tidak diberikan makanan oleh majikan,” kata Lita.
Lita berharap para wakil rakyat tidak lagi ragu mengesahkannya. Semakin lama DPR menunda pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang, dikhawatirkan semakin panjang daftar PRT yang mengalami kekerasan dan diskriminasi.
”Selama 19 tahun berbagai kekerasan terus dihadapi PRT. Apakah kebanalan hati anggota dan pimpin DPR sudah sedemikian rupa sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap PRT dianggap wajar,” papar Lita.
Karena itulah, setelah berbagai aksi yang intens dilakukan beberapa tahun terakhir, mogok makan para PRT diharapkan menggugah hati para Wakil Rakyat.
Apakah kebanalan hati anggota dan pimpin DPR sudah sedemikian rupa sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap PRT dianggap wajar?
Suwartini, perwakilan Serikat PRT Sapulidi Jakarta, mengungkapkan sekitar 5.000 PRT dan keluarga akan mogok makan atau puasa untuk menuntut pengesahan UU PPRT disahkan. ”Cukup sudah 19 tahun, jangan lagi kami dijadikan korban politik,” kata Suwartini yang hadir bersama sejumlah perwakilan PRT.
Ketua YLBHI M Isnur menilai lamanya proses legislasi yang lama merupakan bentuk pengabaian dan pembiaran dari DPR terhadap PRT. Perlakuan itu sangat kontras dengan RUU yang lain, yang prosesnya berlangsung cepat, bahkan ada yang disahkan kilat.
”Pertanyaannya mengapa di UU lain sangat cepat ? UU Omnibus Law Kesehatan lima bulan selesai, UU Komisi Pemberantas Korupsi dua belas hari, UU Omnibus Law Cipta Kerja hanya lima bulan, UU MK hanya tujuh hari. Jadi sebenarnya tidak ada alasan DPR untuk menunda-menunda UU PPRT,” kata Isnur. Ia menilai DPR bukan tidak mampu, tetapi tidak mau menyelesaikan proses legislasi, serta tidak peduli pada PRT yang membutuhkan perlindungan.
Dukungan
Dukungan atas RUU PPRT juga disampaikan kalangan akademisi. Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati mengungkapkan, pengakuan akan keberadaan PRT tidak bisa lagi terus-menerus dianggap tidak penting.
”Kita tahu peran PRT sangat berharga, bukan cuma untuk mendukung keluarga, tapi juga mendukung keberlangsungan kehidupan perekonomian bangsa, termasuk kehidupan para anggota DPR yang terhormat. Karena PRT bukan pembantu tapi pekerja rumah tangga, hak-hak PRT sudah waktunya diatur dalam UU khusus tentang PRT,” tegas Mia.
Pada jumpa pers tersebut, sejumlah organisasi perempuan, mahasiswa, dan serikat buruh menaruh piring di meja dengan berisi batu-batu, pasir, dan peralatan untuk membersihkan rumah. Itu menjadi simbol situasi yang dihadapi PRT.
Listyowati, Ketua Kalyanamitra, menegaskan hampir setiap hari PRT mengalami diskriminasi dan kekerasan. Tidak ada alasan bagi DPR menunda-nunda lagi pengesahan RUU itu.
Secara terpisah, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT DPR Willy Aditya mengatakan masih menunggu rapat badan musyawarah atau rapat pimpinan pengganti yang akan membahas soalnya. Itu setelah Surat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPRT dikirim pemerintah ke DPR.
”Kita tetap berharap ada perlakuan yang adil dan berimbang terhadap mekanisme yang ada, karena publik melihat seolah-olah ada kesan bawang putih dan bawang merah, ada RUU yang lewat tol dan ada RUU yang macet,” ujar Willy.
Poster tuntutan PRT beserta piring dan sejumlah barang sebagai simbol kondisi PRT yang ditampilkan saat keterangan pers bersama Aliansi Mogok Makan untuk UU PPRT di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) di Jakarta, Minggu (6/8/2023).