Ancaman Besar Domestikasi Satwa Liar
Praktik domestikasi satwa liar harus memiliki dasar dan alasan yang kuat. Aspek konservasi mendesak dikedepankan.
Beberapa waktu terakhir, berita terkait kematian anak harimau benggala yang dipelihara seorang influencer (pemengaruh) menuai sorotan publik. Anak harimau yang baru berusia dua bulan tersebut diduga mati karena kelainan genetik pada paru-paru.
Publik kecewa dan mempertanyakan keseriusan pemengaruh tersebut dalam memelihara serta mengembangbiakkan satwa liar yang terancam punah. Sebab, bukan pertama kali harimau yang dipeliharanya mati. Pada 2022 lalu, seekor bayi harimau peliharaannya mati pada usia baru menginjak delapan hari.
Aktivitas sang pemengaruh juga dipandang sebagai bentuk domestikasi dan komodifikasi satwa liar. Satwa-satwa itu akibatnya terlalu sering berinteraksi dengan manusia dan menjadi obyek konten di media sosial.
Perwakilan Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, Hewan Eksotik Indonesia(Asliqewan), Nur Purba Priambada, menjelaskan, dalam definisi yang lebih luas, domestikasi merupakan adaptasi tanaman ataupun hewan dari keadaan liar atau alami dengan pembiakan selektif untuk hidup dalam hubungan dekat manusia. Jadi, domestikasi tidak sekadar memelihara, menjinakkan, dan mengembangbiakkan kehidupan liar tersebut.
”Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa sejarah domestikasi itu terdapat rangkaian proses seperti hubungan antara satwa dan manusia, terjadi simbiosis komensalisme, hingga ada kontrol di alam atau penangkaran, dan pembiakan,” ujarnya dalam diskusi tentang petaka domestikasi satwa liar secara virtual, Kamis (3/8/2023).
Seluruh proses dalam domestikasi tersebut pada akhirnya bertujuan untuk mendapatkan keturunan satwa yang bisa beradaptasi di lingkungan manusia, baik dari segi morfologi, fisiologi, maupun perilaku. Salah satu contoh umum dari domestikasi hewan ini adalah anjing dan kucing sejak 12.000 tahun. Ada pula sejumlah jenis reptil yang mulai didomestikasi sekitar abad ke-20 sampai abad ke-21.
Meski sudah dilakukan sejak lama, domestikasi satwa liar juga masih terus ada sampai sekarang. Namun, menurut Purba, peruntukan domestikasi di masa kini bisa jadi berbeda dibandingkan ribuan tahun lalu.
Salah satu peruntukan domestikasi juga terangkum dalam hasil studi para peneliti dari University of Missouri, Amerika Serikat, yang terbit di jurnal Nature, 2 November 2022. Peneliti menemukan transisi gaya hidup manusia di wilayah Timur Tengah kuno merupakan katalisator yang memicu domestikasi kucing pertama di dunia. Kucing dibawa serta menjadi teman perjalanan saat manusia mulai berkeliling dunia.
Baca juga : Ego Manusia di Balik Hobi Memelihara Satwa Liar
Penelusuran sejarah pun mencatat bahwa domestikasi kucing dimulai 10.000 tahun lalu di sebuah wilayah Timur Tengah yang mengelilingi Sungai Tigris dan Efrat. Masyarakat setempat yang baru beralih menjadi petani mengembangkan ikatan dengan kucing pemakan hewan pengerat yang berfungsi sebagai pengendali hama kuno.
Menurut Purba, domestikasi pada zaman dahulu bisa terjadi karena perbandingan jumlah atau populasi yang cukup signifikan antara manusia dan satwa. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, populasi manusia kini lebih banyak dibandingkan satwa. Oleh karena itu, domestikasi dikhawatirkan dapat mempercepat kepunahan satwa liar.
Dampak memelihara satwa liar
Tujuan menyelamatkan dari kepunahan juga kerap menjadi alasan pembenaran aktivitas memelihara satwa liar di rumah. Padahal, prinsip penetapan kelangkaan suatu satwa dihitung dari jumlah populasi di alam. Dengan kata lain, walaupun jumlahnya melimpah, suatu spesies satwa liar akan tetap terancam punah apabila tidak hidup di alam sebagai habitat aslinya.
Banyak pihak yang pro dan kontra terkait dampak memelihara satwa liar. Pihak yang mendukung akan menganggap bahwa memelihara satwa liar dapat mendukung kesehatan fisik ataupun mental bagi pemelihara. Memelihara satwa liar juga bisa menjadi peluang riset untuk konservasi di habitat asli (in-situ) ataupun di luar habitat asli (ex-situ).
”Bila dipelihara dan berhasil diperbanyak atau didomestikasi, nantinya diharapkan juga akan mengurangi perburuan di alam dengan menciptakan pasar yang berkelanjutan,” ucapnya.
Sementara pihak yang tidak mendukung menyebut bahwa memelihara satwa liar berpotensi membuatnya tersiksa. Sebab, banyak pemelihara yang justru lepas tanggung jawab karena memelihara satwa liar membutuhkan waktu, biaya, tenaga, keahlian, dan kebutuhan khusus. Pada akhirnya, satwa liar tersebut bisa menjadi sumber polusi patogen.
”Kemudian hal ini justru bisa mendukung kepunahan satwa karena ada gangguan ekologi dan pasarnya tidak jadi berkelanjutan. Orang-orang akan memilih membeli satwa liar ilegal yang lebih murah dan akhirnya mendukung kejahatan satwa liar,” katanya.
Ancaman terhadap harimau
Setiap satwa liar memiliki karakteristik masing-masing. Dalam konteks harimau, berbagai perbedaan karakteristik ini juga memengaruhi proses domestikasi. Ketua Forum HarimauKita Erni Suyanti menyebut bahwa secara umum perbedaan karakteristik membuat harimau sumatera lebih sulit didomestikasi dibandingkan jenis lain, seperti harimau benggala, meskipun ada intervensi manusia dalam proses perawatan sejak kecil.
Dari 23 lanskap habitat harimau, tutupan hutan yang tersisa hanya sekitar9,4 juta hektar.
Salah satu ancaman terbesar bagi konservasi harimau sumatera ialah deforestasi atau perusakan habitat. Dalam 10 tahun terakhir, terdapat penyusutan signifikan habitat harimau sumatera, khususnya pada 23 lanskap.
”Dari 23 lanskap habitat harimau, tutupan hutan yang tersisa hanya sekitar 9,4 juta hektar,” kata Erni. Perubahan tutupan hutan dan adanya intervensi aktivitas manusia dalam habitat harimau akan memicu konflik serta akses perburuan harimau lebih mudah. Kondisi ini, lanjutnya, juga akan memengaruhi jumlah harimau di habitat alam.
Selain deforestasi, ancaman terbesar yang memengaruhi kelestarian baik harimau sumatera maupun harimau jenis lain adalah perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar. Bahkan, laporan selama 20 tahun terakhir menunjukkan lebih dari 3.000 harimau disita sebagai barang bukti kasus perdagangan satwa liar ilegal.
”India berada di posisi tertinggi dari jumlah penyitaan, sedangkan Indonesia di urutan ketiga. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa minat terhadap kepemilikan satwa liar sangat tinggi dan ini merupakan ancaman besar terhadap konservasi harimau secara global, tidak hanya untuk harimau sumatera, tetapi juga jenis lainnya,” ungkapnya.
Baca juga : Satwa Liar Bukan Hewan Peliharaan
Erni menilai kepemilikan satwa liar dan fenomena menyebarluaskan aktivitasnya di media sosial dapat memicu praktik-praktik serupa. Hal itu bisa mendorong perburuan dan perdagangan satwa liar semakin parah.
Berkaca dari dampak ataupun ancaman tersebut, upaya domestikasi satwa liar harus memiliki dasar dan alasan yang kuat serta mengedepankan aspek konservasi. Bukannya komodifikasi yang hanya semata untuk mendongkrak popularitas, meraup keuntungan finansial, atau demi kepuasan batin semata.