Di zaman modern dan digital saat ini, manusia semakin bangga menunjukkan aktivitas memelihara satwa liar. Kelestarian satwa liar kian terancam oleh ego manusia yang ada sejak ribuan tahun itu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Ego manusia seolah tak ada hentinya. Tak cukup dengan mengeksploitasi alam, manusia juga kerap merenggut kesejahteraan satwa liar. Dengan beragam dalih, manusia mengambil satwa liar dari habitat aslinya untuk dikonsumsi maupun diperjualbelikan dan dijadikan hewan peliharaan.
Hasil studi dan laporan dalam Living Planet Index (Indeks Planet Hidup) yang disusun organisasi konservasi World Wide Fund for Nature (WWF) pada 2020 menyebutkan, sampai saat ini populasi satwa liar di seluruh dunia terus mengalami penurunan tajam. WWF mencatat, sepanjang 1970-2016 atau selama 46 tahun, penurunan populasi satwa liar mencapai 68 persen. Angka penurunan populasi ini didapat setelah WWF melacak lebih dari 4.000 spesies vertebrata.
Dalam laporan itu menyebutkan, penyebab utama penurunan populasi satwa liar di seluruh dunia adalah akibat deforestasi yang bertujuan untuk memberi ruang bagi lahan pertanian. Selain itu, penurunan spesies satwa liar terjadi karena konsumsi berlebihan terhadap sumber daya alam.
Manusia harus memiliki sesuatu jika ingin mendominasi dalam sistem sosial. Jadi, orang-orang yang memiliki satwa liar sebenarnya ingin menunjukkan dominansi atau kekayaannya.
Faktor perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal juga turut berkontribusi dalam penurunan populasi ini. Perdagangan satwa merupakan salah satu aktivitas ilegal dengan nilai ekonomi tinggi. Nilai ekonomi perburuan liar di dunia diperkirakan 10-20 miliar dollar AS per tahun atau terbesar keempat setelah perdagangan narkoba, senjata, dan orang. Di Indonesia, dari data statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), nilai ekonomi perburuan liar diperkirakan Rp 9 triliun.
Masih maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar ini tidak terlepas dari adanya rantai pasok yang tidak pernah surut. Satwa liar masih menjadi primadona bagi sebagian orang yang memiliki hobi khusus, seperti koleksi, pemeliharaan, hingga konsumsi. Bahkan, seiring berkembangnya teknologi, pehobi ini acap kali tak segan menunjukkan hobinya tersebut kepada publik dan menjadikannya konten di ranah digital atau media sosial.
Dari aspek psikologi sosial, perubahan dan perbedaan perilaku manusia dalam memandang maupun memperlakukan satwa liar telah menjadi sorotan. Beberapa hasil kajian dan penelitian khususnya di negara dengan biodiversitas tinggi juga telah fokus menganalisis karakteristik psikologi ini.
”Saat ini sudah ada beberapa penelitian tentang penyebab orang memelihara satwa liar karena ini merupakan sesuatu yang tidak umum. Secara evolusi, manusia memang banyak berinteraksi dengan satwa liar dan membuatnya menjadi domestik seperti anjing yang turunan serigala,” ujar psikolog sosial yang juga konservasionis Puspita Insan Kamil, Selasa (2/3/2022).
Meski demikian, Puspita menyayangkan saat ini masih sedikit psikolog klinis yang meneliti fenomena pemeliharaan satwa liar. Sebab, selama ini psikolog klinis, khususnya di Amerika Serikat, lebih menyoroti perilaku manusia dalam memelihara satwa domestik seperti anjing atau kucing.
Puspita menjelaskan, dari hasil kajian dan penelitian, orang yang memelihara satwa liar memiliki kecenderungan atau fenomena yang beragam. Pertama, orang tersebut bisa jadi memiliki kecenderungan biofilia atau kekaguman terhadap alam liar. Kecenderungan ini bisa terjadi akibat orang tersebut kerap menjelajah, mengunjungi, maupun melihat kehidupan satwa liar.
Orang yang memelihara satwa liar juga bisa jadi memiliki kecenderungan sebagai pengontrol lingkungan atau kehidupan liar, termasuk satwa. Kecenderungan ini merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup manusia selama ribuan tahun yang membuat mereka bisa berkembang.
Kecenderungan lainnya orang memelihara satwa liar dapat terjadi karena ingin menunjukkan sinyal kepada lawan jenis bahwa mereka mampu merawat makhluk hidup. Menurut Puspita, secara tidak sadar manusia melakukan kecenderungan ini untuk menarik lawan jenis. Level merawat makhluk hidup ini dipandang akan semakin meningkat ketika manusia bisa merawat satwa liar dibandingkan hewan domestik yang umum sebagai peliharaan.
Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan paedomorfisme atau mempersonifikasikan satwa. Kecenderungan ini menjadikan manusia tertarik kepada satwa liar dengan karakteristik tertentu, seperti dagu sempit, mata besar, dan badan seperti bayi. Karakteristik ini banyak dijumpai pada primata sehingga manusia kerap memelihara monyet, kera, dan kukang.
”Kecenderungan lainnya adalah soal dominasi. Manusia harus memiliki sesuatu jika ingin mendominasi dalam sistem sosial. Jadi, orang-orang yang memiliki satwa liar sebenarnya ingin menunjukkan dominansi atau kekayaannya. Dulu fenomena ini dimulai oleh orang kaya di Timur Tengah yang menunjukkan kekayaan dengan memelihara satwa besar dan eksotis,” kata Puspita.
Puspita menekankan bahwa seluruh penjelasan kecenderungan ini tidak bersifat mutlak bagi orang-orang yang memelihara satwa liar. Ia memberikan catatan bahwa setiap orang bisa memiliki lebih dari satu karakteristik atau fenomena yang bahkan belum diketahui oleh para peneliti.
Ketentuan penangkaran
Aturan di Indonesia memang memungkinkan masyarakat umum untuk memelihara atau menangkar satwa liar maupun satwa langka yang dilindungi. Namun, satwa tersebut harus berstatus F2 atau generasi ketiga yang dihasilkan dari penangkaran. Masyarakat juga harus mengajukan izin ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan mengantongi surat rekomendasi penangkaran dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA).
Setelah semua persyaratan terpenuhi, masyarakat juga tetap harus memastikan kesejahteraan hewan sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Aturan tersebut menyatakan bahwa kesejahteraan hewan dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan, termasuk untuk mengekspresikan perilaku alaminya.
Meski demikian, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Indra Exploitasia dalam rilis beberapa waktu lalu menyatakan bahwa satwa liar seharusnya tetap dibiarkan hidup di habitatnya. Hal ini bertujuan agar satwa liar tersebut dapat menjalankan fungsinya sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem di alam. Selain melanggar hukum, memelihara satwa liar yang dilindungi tanpa izin dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan pemiliknya.
Meski sudah dirawat dan dekat dengan manusia, pada hakikatnya satwa tersebut juga masih memiliki sifat liar dan buas dalam situasi tertentu. Di sisi lain, satwa liar dapat menjadi media penyebaranvirus bagi manusia dan memicu beragam jenis penyakit baru.
Dengan beragam pertimbangan dan kondisi tersebut, sudah sepatutnya manusia menyingkirkan egonya untuk menjadikan satwa liar sebagai hewan peliharaan. Akan jauh lebih bijak mengubah bentuk kecintaan terhadap satwa liar dengan melindungi habitatnya dari kerusakan alam.