Asal-usul, Mutasi Genetik, dan Tantangan Baru Bajo
Sebagian orang Bajo telah menepi ke pesisir, seperti di Kampung Wuring, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Mereka menghadapi tantangan hidup di tempat baru, termasuk ancaman tsunami.
Orang Bajo yang mengembara di lautan selama lebih dari 1.000 tahun memiliki mutasi genetika spesifik yang membuat mereka dapat menyelam hingga puluhan meter tanpa alat bantu. Kini, sebagian mereka telah menepi ke pesisir, seperti dialami orang Bajo di Kampung Wuring, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Mereka menghadapi tantangan hidup di tempat baru, termasuk ancaman tsunami.
Rumah-rumah orang Bajo di Kampung Wuring dibangun di pinggir laut, dengan tiang-tiang kayu dan bambu sebagai penyangga. Sebagian tiang itu sudah dibeton, demikian juga bangunannya sudah ditembok permanen.
Rumah-rumah itu berimpit dengan toko, sekolah, dan masjid. Sebagian adalah bangunan baru, yang dibangun kembali setelah gempa bumi dan tsunami dahsyat menghancurkan kampung ini pada 12 Desember 1992.
Bajau Kendari memiliki umur pembauran genetik yang lebih tua dibanding Bajau Kotabaru yang lokasinya lebih dekat dengan Kalsel.
Petaka itu dimulai oleh gempa berkekuatan M 7,5 sekitar pukul 13.29 Wita. Pusat gempa di jalur Sesar Belakang Flores di kedalaman laut, 35 kilometer (km) arah barat laut Kota Maumere. Gempa itu lalu memicu longsor bawah laut, membangkitkan ketinggian tsunami hingga lebih dari 25 meter yang melanda 300 meter ke daratan.
Terjadinya longsor bawah laut itu dipetakan para peneliti Jepang yang berkunjung ke pantai utara Flores, dua pekan setelah petaka itu. ”Kami ke pantai utara Flores mengunjungi 40 desa di sana untuk mengukur ketinggian tsunami,” tulis Yoshinobu Tsuji dan tim dalam publikasi berjudul ”Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami” (1995).
Dilaporkan, ketinggian tsunami di Kampung Wuring mencapai 3,2 meter. Seluruh Kampung Wuring, yang rata-rata dibangun di atas tiang setinggi 2 meter di atas permukaan laut itu, tenggelam. Sebanyak 87 orang tewas di sana dari sekitar 2.500 penduduk di Flores yang meninggal saat itu.
Haji Mona (59), tokoh Bajo di Wuring yang selamat dari gempa dan tsunami itu, masih ingat betapa dahsyat bencana itu. Siang hari itu, Mona sedang membuat kue untuk pesta.
Baca juga: Gempa yang Mengingatkan Tsunami Flores 1992
”Sekitar tengah hari ada gempa kecil-kecilan. Tidak sampai lima menit, guncangannya sangat hebat. Rumah-rumah ambruk, tanah rekah, dan air laut surut hingga ratusan meter sampai karang-karang kelihatan,” katanya.
Tak lama kemudian, air laut menyerbu ke daratan. Mona segera berlari menjauh dan sempat tergulung air. Dia bisa selamat.
”Kami semua cari selamat diri, tak lagi ingat di mana keluarga. Kebanyakan yang meninggal itu karena terimpit bangunan setelah gempa sehingga tidak bisa menyelamatkan diri lagi,” ujar Mona.
Setelah kejadian itu, sebagian warga Wuring yang selamat berpindah ke Nangahure, sekitar 8 km ke arah perbukitan. Namun, banyak warga menolak pindah. Bahkan mereka yang sudah pindah kebanyakan kembali menetap di Wuring.
Penduduk Kampung Kampung Wuring kini mencapai 2.999 jiwa, terdiri atas 718 keluarga. Mayoritas yang tinggal di Wuring orang Bajo. Jumlah ini, menurut warga Bajo, Wahida Kamal (52), sekitar dua kali lipat lebih padat dibandingkan sebelum 1992.
Baca juga: Gempa Flores Mengingatkan Pentingnya Mitigasi Bencana
Terbiasa hidup di laut dan bergantung dari makanan laut, mereka mengaku sulit hidup di darat yang jauh dari pantai. ”Kami tak bisa hidup kalau tidak melihat laut. Dari lautlah, kami bisa hidup,” kata Wahida.
Bagaimana jika tsunami kembali datang?
Menurut Mona, hampir semua warga Wuring sebenarnya telah menyadari risiko bahaya gempa dan tsunami. ”Kalau kata orang tua dulu, saat masih hidup di laut, sebenarnya lebih aman kalau ada tsunami. Sekarang, kami sering sampaikan ke anak-anak kalau ada gempa segera lari ke darat atau justru segera naik perahu untuk ke tengah laut,” katanya.
Penyebaran suku Bajo
Mona mengatakan, orangtuanya dulu tinggal berpindah-pindah di laut. Mereka menetap di sekitar Pulau Kabaena, termasuk wilayah Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebelum pada tahun 1969 berpindah ke Wuring. ”Orang Bajo di Wuring ini dulu asalnya dari Sulawesi Tenggara,” katanya.
Suku Bajo, terkadang juga disebut Bajaw, Bajau, atau Sama-Bajau, diperkirakan berjumlah sekitar satu juta orang, yang tinggal tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Filipina Selatan. Di Indonesia, suku Bajo tersebar di wilayah geografis yang luas, meliputi pesisir Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara.
Meskipun beberapa komunitas Bajo saat ini hidup berjauhan, mereka masih memiliki kemiripan budaya, termasuk pembuatan kapal dan teknik penangkapan ikan, serta tradisi dan mitos yang sama. Sementara bahasa mereka termasuk dalam satu subfamili, subkelompok Sama-Bajau di Barat Cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia.
Baca juga: Pertautan Asal-usul Bugis dan Bajo
Peneliti genetik Bajo, Pradiptajati Kusuma dalam papernya di European Journal of Human Genetics pada 2017 menyebutkan, orang Bajo tidak memiliki sejarah tertulis, tetapi mengandalkan tradisi lisan, terutama dalam bentuk syair lagu. Berdasarkan cerita lisan dan studi linguistik tersebut, diaspora Bajo diduga bermula dari Johor, Malaysia, atau bahkan Arab. Brunei dan Sulawesi Selatan juga telah diusulkan berdasarkan cerita Bajo lainnya.
Adapun survei linguistik menunjukkan Sama Bajau ke Kepulauan Sulu di Filipina. Namun, sebelum bermigrasi ke Sulu, Sama Bajau diketahui mirip dengan Barito Tenggara, yang kini dituturkan Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan. Ini membuat para linguis beranggapan bahasa Sama Bajau berasal dari Kalsel.
Pradiptajati telah meneliti materi genetik dari tiga komunitas Bajo, yaitu Kendari (Sulawesi Tenggara), Kota Baru (Kalimantan Selatan), dan Derawan (Kalimantan Utara). Hasilnya menunjukkan, Bajau Kendari memiliki umur pembauran genetik yang lebih tua dibanding Bajau Kotabaru yang lokasinya lebih dekat dengan Kalsel.
Dari data bahasa dan genetika ini, Pradiptajati kemudian mengonstruksi asal-usul dan migrasi Bajo. Pada awalnya Bajau Kendari yang terbentuk sekitar 1.700 tahun yang lalu ini belum berbahasa Sama Bajau. Mereka disebut ”Pra-Bajau”.
Perlu diteliti lebih lanjut bagaimana implikasi dari varian genetik ini ketika gaya hidup Bajo berubah dan tidak lagi melakukan penyelaman.
Dari unsur genetiknya, Pra-Bajau ini dibentuk oleh bauran gen Austronesia dan Papua. Sementara itu, penutur Austronesia ini berasal dari dua kelompok, yang lebih awal dari China selatan melalui Semenanjung Melayu dan kelompok kedua dari Filipina.
Menariknya struktur genetika Pra-Bajo ini sama dengan yang membentuk populasi Bugis di Sulawesi Selatan, dengan waktu pembentukan yang sama. Data ini yang membuat Pradipta dan timnya menyimpulkan bahwa Pra-Bajau di Kendari ini masih merupakan satu bagian dengan Bugis.
Invasi Sriwijaya ke Kalsel sekitar 1.100 tahun lalu mengakibatkan komunitas Pra-Bajau yang berbahasa Sama Bajau di Kalsel menyebar luas ke berbagai perairan, termasuk ke sekitar Kendari. Sejak saat itu, Pra-Bajau Kendari mereka berbahasa dan berkultur Sama Bajau dan hidup mengembara di lautan.
Mutasi genetik orang Bajo
Selama bergenerasi hidup di lautan dan mencari hasil laut dengan menyelam,tubuh orang Bajo ternyata bisa beradaptasi dalam kondisi kurang oksigen. Orang Bajo kini dikenal sebagai penyelam andal.
Laporan Schagatay E dan Abrahamsson E di jurnal Human Evolution pada 2014 menyebutkan, orang Bajo rata-rata menghabiskan 60 persen dari waktu kerja harian di bawah air. Sementara itu, rekor penyelaman terdalam tercatat pada bulan Agustus 2013 saat kompetisi menyelam yang diselenggarakan di Kota Davao, Filipina, dalam kategori ”tanpa batas” oleh Jaringan Sosial Freediving Filipina dan Sinama untuk orang Sama dan Bajau Laut.
Baca juga: Tubuh Orang Bajau Telah Beradaptasi terhadap Kondisi Hipoksia
Perlombaan diikuti 18 kontestan, 12 di antaranya putra Bajau Laut. Semua pria di kompetisi ini bisa menyelam hingga 33 m atau lebih. Penyelaman terdalam mencapai 79 m dan menghabiskan waktu di bawah air hingga 3 menit 1 detik.
”Variasi genetik yang khas pada orang Bajau (Bajo) didapatkan karena leluhur mereka selama bergenerasi memiliki gaya hidup melakukan penyelaman di lautan,” kata ahli genetika Herawati Supolo Sudoyo di Maumere, Rabu (19/7/2023).
Herawati dan tim saat ini tengah memeriksa sampel genetik dan kesehatan orang Bajo di Wuring, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka. Penelitian meliputi mekanisme adaptasi orang Bajo terhadap kondisi kekurangan oksigen atau hipoksia dan implikasinya bagi kesehatan.
Penelitian sebelumnya oleh Melissa A Ilardo dari University of Copenhagen dan tim di jurnal Cell pada 2018 terhadap orang Bajo di Sulawesi Tenggara menemukan seleksi khusus pada gen PDE10A. Gen ini meningkatkan ukuran limpa pada orang Bajau, memberi mereka reservoir sel darah merah teroksigenasi yang lebih besar.
Gen lain yang bervariasi di antara suku Bajo lebih dari rata-rata pada populasi umum dikaitkan dengan cara tubuh merespons penyelaman, yaitu BDKRB2. Salah satu gen tersebut menyebabkan darah bisa mengalir lebih efisien dari anggota tubuh dan area non-esensial tubuh sehingga otak, jantung, dan paru-paru dapat terus menerima oksigen. Manfaat lain dari gen ini adalah mencegah penumpukan karbon dioksida tingkat tinggi di dalam darah.
Baca juga: Manifestasi Genetik Orang Bajau yang Bisa Menyelam Lebih Lama Diperiksa
Menurut Herawati, selain kemampuan menahan napas, tubuh orang Bajo juga telah beradaptasi terhadap besarnya tekanan massa air. ”Mereka menyelam tanpa alat sehingga tekanan yang dialami tubuh, termasuk telinga, pasti juga sangat besar. Selain itu, mata mereka kemungkinan juga beradaptasi terhadap kondisi minim cahaya di kedalaman air,” katanya.
Saat ini sebagian orang Bajo telah mengalami perubahan gaya hidup, seperti terjadi di Wuring. Sekalipun masih ada yang menjalani hidup sebagai penyelam, frekuensinya sudah berkurang.
Herawati mengatakan, variasi genetik pada Bajo ini terbukti membantu mereka dalam kondisi hipoksia atau kekurangan oksigen saat menyelam di laut. ”Perlu diteliti lebih lanjut bagaimana implikasi dari varian genetik ini ketika gaya hidup Bajo berubah dan tidak lagi melakukan penyelaman, misalnya apakah bisa memicu risiko penyakit lain,” katanya.
Selain tantangan hidup baru di daratan, seperti ancaman gempa bumi dan tsunami, pola hidup menetap orang Bajo ini juga rentan memicu masalah kesehatan. Risiko perubahan gaya hidup itu juga antara lain berupa gizi buruk dan tengkes pada anak-anak Bajo.
Baca juga: Ironi Gizi Buruk dan ”Stunting” di Kampung Wuring yang Berlimpah Ikan
Sekalipun kaya protein laut, banyak perkampungan yang dihuni orang Bajo, termasuk di Wuring, memiliki prevalensi tengkes lebih tinggi dari rata-rata. Menjadi ironis, karena hasil laut ini banyak yang dijual untuk dibelikan aneka makanan instan.