Hasil uji klinis terbaru menunjukkan, pengobatan tuberkulosis bisa dilakukan lebih cepat, yakni dua bulan. Selama ini, pengobatan tuberkulosis berlangsung selama enam bulan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit tuberkulosis umumnya bisa disembuhkan melalui pengobatan teratur dalam jangka waktu enam bulan. Namun, hasil studi uji klinis menunjukkan pengobatan dengan durasi lebih pendek, yakni dua bulan, juga efektif untuk penyembuhan sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan ketaatan berobat pasien tuberkulosis.
Studi uji klinis terkait efektivitas pengobatan tuberkulosis (TB) dengan durasi lebih pendek tersebut dilakukan peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan tim Two-Month Regimens Using Novel Combinations to Augment Treatment Effectiveness for Drug-Sensitive Tuberculosis (Truncate-TB).
Dokter spesialis paru yang juga peneliti di FKUI, Erlina Burhan, mengemukakan, Truncate-TB merupakan strategi pengobatan TB sensitif obat yang dapat selesai dalam waktu dua bulan. Meski jangka waktunya lebih cepat, pengobatan selama dua bulan ini memiliki efektivitas yang sama dengan pengobatan TBC dengan standar jangka waktu enam bulan.
”Tahun 2022 terapi tuberkulosis dalam jangka waktu empat bulan. Namun, kita akan memangkas lagi lamanya pengobatan tuberkulosis agar mengurangi resistensi obat,” ujarnya dalam acara apresiasi studi uji klinis UI dan tim Truncate-TB di Kampus UI Salemba, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Truncate-TB yang saat ini dalam proses uji klinis fase 2-3 bertujuan untuk mengevaluasi strategi pengobatan TB sensitif obat selama delapan minggu atau dua bulan. Adapun periode pemantauan dilakukan 96 minggu atau 24 bulan. Rezimen atau jenis dan komposisi obat yang digunakan yakni bedaquiline, linezolid, isoniazid, pirazinamid, serta etambutol.
Tahun 2022 terapi tuberkulosis dalam jangka waktu empat bulan. Namun, kita akan memangkas lagi lamanya pengobatan tuberkulosis agar mengurangi resistensi obat.
Studi Truncate-TB dilakukan sejak Maret 2018 dengan melibatkan 1.179 subyek yang telah diskriningdan 675 di antaranya telah terdaftar dalam uji klinis. Sementara proses penelitian melibatkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan National University Hospital (NUH) Singapura. Truncate-TB juga telah diteliti di 18 lokasi yang tersebar di India, Thailand, Uganda, Filipina, dan Indonesia.
Riset operasional Truncate-TB terdapat di lima lokasi,yakniRumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta, RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo Surabaya, RSUD Dr Saiful Anwar Malang, dan RS Hasan Sadikin Bandung.
Laporan TB global tahun 2022 menunjukkan, insidensi TB Indonesia pada 2021 mencapai 969.000 kasus. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara kedua dengan insidensi TB terbesar di dunia setelah India (2,95 juta kasus) dan naik satu tingkat dari tahun sebelumnya. Bahkan, Indonesia juga tercatat berperan dalam 9,2 persen insidensi TB global.
Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus TB di Indonesia pada 2022 tercatat 717.941 kasus. Jumlah tersebut melonjak 61,98 persen dari tahun sebelumnya dengan 443.235 kasus.Tingkat keberhasilan pengobatan kasus TB pada 2022 juga turun menjadi 85 persensetelah setahun sebelumnya mencapai 86 persen.
Menurut Erlina, peningkatan angka TB di Indonesia ini disebabkan tidak semua kasus didiagnosis. Di sisi lain, jangka waktu pengobatan yang lama hingga enam bulan membuat sebanyak 80 persen pasien TB memutuskan untuk berhenti hingga putus obat.
Melalui Truncate-TB, Erlina berharap tingkat kepatuhan pasien untuk melakukan pengobatan dapat lebih tinggi karena jangka waktu yang semakin pendek. Pada akhirnya, meningkatnya kepatuhan dalam menjalani pengobatan akan menurunkan risiko resistensi obat pada pasien sehingga mempercepat upaya pemberantasan TB di Indonesia.
”Efikasi Truncate-TB membuat pasien merasa lebih nyaman. Dari segi keamanan, angka insidensi kejadian tidak diinginkan tidak banyak sehingga kesimpulannya adalah ini merupakan strategi baru dan sama efektifnya serta lebih diterima oleh pasien,” tuturnya.
Tidak terdeteksi
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi tidak menampik bahwa masih tingginya angka TB di Indonesia terjadi karena tidak semua kasus TBC terdeteksi. Bahkan, tidak seluruh kasus TB yang terdeteksi dapat ditangani dengan baik karena masih ada keraguan dari pasien.
Kemenkes mencatat, hingga pertengahan Juli 2023 angka TB yang terkonfirmasi sekitar 386.000 kasus. Sebagian besar penyebaran lokasi kasus TB di Indonesia diperkirakan masih sama dengan tahun 2021, yakni di Jawa, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Imran memastikan, pemerintah berkomitmen menangani kasus TB di Indonesia dengan berbagai program seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB. Dalam perpres tersebut disebutkan bahwa pemerintah menargetkan penurunan angka kejadian TB menjadi 65 dan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk pada 2030.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka TB yaitu dengan meningkatkan akses layanan. Hal ini diwujudkan dengan menambah sarana atau jejaring diagnosis TB, menyediakan logistik TB yang cukup dan berkesinambungan, serta memperluas layanan rujukan TB resisten obat.