Perlu upaya lebih masif untuk meningkatkan kapasitas diagnostik tuberkulosis. Sebab, sampai saat ini kapasitas teknologi diagnostik TBC di Indonesia masih terbatas.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas memeriksa kadar gula darah peserta kegiatan penjaringan tuberkulosis (TBC) secara aktif di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (14/12/2022). Penjaringan TBC secara aktif merupakan bagian penting upaya mengeliminasi penyakit tersebut di kalangan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas teknologi diagnostik penyakit tuberkulosis atau TBC di Indonesia masih terbatas dan tidak semua laboratorium memiliki teknologi yang sama. Oleh karena itu, perlu upaya lebih masif untuk meningkatkan kapasitas diagnostik TBC ini.
Kepala Pusat Penelitian Biomarker Translational Universitas Padjajaran (Unpad) Lidya Chaidir menyampaikan, saat ini TBC menjadi prioritas penelitian karena selama bertahun-tahun sejumlah negara, termasuk Indonesia, tidak berhasil mengeliminasi TBC.
Data Global TB Report 2022 menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia (969.000 kasus) setelah India (2,95 juta kasus). Jumlah ini membuat Indonesiaberkontribusi terhadap 9,2 persen kejadian TBC global.
Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus TBC di Indonesia pada 2022 tercatat 717.941 kasus. Jumlah tersebut melonjak 61,98 persen dari tahun sebelumnya dengan 443.235 kasus.Tingkat keberhasilan pengobatan kasus TBC pada 2022 juga turun menjadi 85 persensetelah setahun sebelumnya mencapai 86 persen.
”Masih banyak resistensi yang harus diusahakan oleh negara untuk mempercepat diagnostik TBC. Sebab, kapasitas diagnostik TBC kita masih sangat terbatas dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang dimiliki laboratorium kita,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Perkembangan Aplikasi untuk Diagnostik Tuberkulosis”, Senin (27/2/2023).
Pengembangan tes diagnostik untuk berbagai macam penyakit termasuk TBC perlu diiringi dengan produksi antigen.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Dokter memberikan obat kepada pasien TBC di Poliklinik Tuberculosis Multidrug Resistant (TBC MDR) Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta.
Berdasarkan penelitian selama 15 tahun terakhir, Lidya menyebut, baik deteksi maupun penanggulangan TBC di Indonesia harus dimulai dengan membangun kelompok sampel (kohort) yang baik. Hal ini termasuk mengumpulkan berbagai populasi berbeda dan jumlah sampel yang banyak dengan semua komorbid.
Selain itu, inovasi dalam deteksi ataupun penanggulangan TBC juga perlu dikomparasikan dengan metode standar yang berlaku. Di sisi lain, penting juga membangun metode atau mekanimse pengarsipan data biologi yang terstandar. Tujuannya, untuk menjaga data dan sampel biologi yang tersimpan atau dikumpulkan belasan tahun lalu.
”Hal tidak kalah penting lainnya adalah kolaborasi dengan rumah sakit, fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, atau laboratorium. Kolaborasi bertujuan untuk melihat seberapa jauh inovasi kita bisa diterapkan atau di mana perlu perbaikan,” ucapnya.
Peneliti Pusat Riset Vaksin dan Obat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irvan Faizal menyatakan, pengembangan tes diagnostik untuk berbagai macam penyakit termasuk TBC perlu diiringi dengan produksi antigen. Produksi ini penting sebagai bentuk kemandirian nasional dalam produksi bahan baku dan pengganti antigen impor.
Irvan juga menyebut, riset diagnostik penyakit infeksius harus terintegrasi dengan aspek komersialisasi dan industrialisasi. Sebab, hasil riset tersebut akan diproduksi secara massal dan digunakan langsung untuk kebutuhan masyarakat.
Upaya negara lain
Kolaborasi sektor publik dan swasta yang telah memainkan peran penting dalam pengendalian TBC ditunjukkan oleh Myanmar. Myanmar adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah mencapai target pengurangan 20 persen kejadian TBC dibanding basis data 2015 pada 2020 sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
INfografik Target Dunia Eliminasi Penyakit Tuberkulosis (TB) TBC
Merujuk keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kolaborasi sektor publik dan swasta dalam penanggulangan TBC di Myanmar telah meningkatkan penggunaan teknologi dan alat baru guna memudahkan penapisan dan diagnosis. Myanmar juga menginisiasi penggunaan klinik keliling dan membuat pengobatan terjangkau untuk seluruh masyarakat.
Saat membuka pertemuan multisektor pada High Level Meeting (HLM) Tuberculosis 2022 pada November tahun lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan untuk meningkatkan pemeriksaan TBC pada 2023. Sejak Januari 2023, pemeriksaan TBC ditargetkan mencapai 60.000 kasus per bulan untuk mendukung eliminasi TBC tahun 2030.
Kemenkes juga menggencarkan kegiatan penemuan KasusTBC dengan penapisan sinar-X dan pemberian terapi pencegahan TBC pada kontak serumah pasien TBC yang dilakukan secara serentak di 25 kabupaten/kota. Kegiatan pengentasan dan penapisan juga diperkuat dengan meluncurkan obat daily dose buatan dalam negeri.