Modus perdagangan orang semakin berkembang dan korbannya kian beragam. Upaya bersama melawan perdagangan orang perlu ditingkatkan dan diperkuat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan pekerja migran Indonesia yang menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri paling rentan menjadi korban perdagangan orang. Untuk itu, penegakan hukum harus diperkuat untuk memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus keadilan bagi korban.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2020-2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban tindak pidana perdagangan orang yang dilaporkan.
”Dari data itu, 96 persen korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati pada peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia, Minggu, (30/7/2023), di RPTRA Kalijodo, Jakarta.
Saat ini, modus TPPO tidak hanya menjanjikan korban menjadi pekerja migran, tetapi juga menjerat korban dengan iming-iming tawaran magang kerja, beasiswa, penjualan organ (ginjal), hingga pendapatan instan melalui perekrutan tenaga kerja secara daring (online scamming). Korbannya mulai dari masyarakat ekonomi rendah hingga mereka yang berpendidikan.
”Di banyak kasus yang terjadi, teknologi bahkan dimanfaatkan pelaku dalam setiap fase eksploitasi, mulai dari perekrutan, pengiklanan korban, bahkan manajemen keuangan dari bisnis pelaku pun dilakukan secara daring,” ujar Ratna.
Sementara itu, bertepatan dengan peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meluncurkan Kertas Laporan Perdagangan Orang ”Menjadi Korban Berulang Kali, Mengungkap Realita Lemahnya Penegakan Hukum”, Minggu petang.
Dari dokumentasi SBMI itu tercatat, pada 2020-Juni 2023, jumlah kasus TPPO sebanyak 1.343 kasus dengan korban laki-laki (882 orang) dan perempuan (461 orang). Laki-laki rentan menjadi korban TPPO dengan modus online scamming, terutama iming-iming bekerja di luar negeri, seperti di Kamboja, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Selandia Baru.
”Dalam rentang waktu tiga tahun ke belakang ini korban TPPO banyak laki-laki. Namun, jika melihat kembali data keseluruhan kasus yang dimiliki oleh SBMI, perempuan tetap yang paling rentan,” ujar Zaina Devi Ariani, Koordinator Bidang Media dan Komunikasi SBMI.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kasus TPPO modus pengantin pesanan menurun. Meski begitu, modus dijadikan pekerja rumah tangga ada 362 kasus, modus scam online 279 kasus, modus dipekerjakan di sektor peternakan 218 kasus, modus menjadi buruh pabrik 193 kasus, dan modus awak kapal perikanan migran 153 kasus. Adapun negara tujuan TPPO dengan kasus terbanyak ialah Polandia (364 korban). Negara lain yang menjadi tujuan TPPO adalah Arab Saudi (220 korban), Kamboja (212 korban), Malaysia (105 korban), dan Taiwan (92 korban).
Penegakan hukum lemah
Walaupun banyak kasus TPPO terungkap, SBMI mencatat, penegakan hukumnya masih lemah dan akses korban terhadap keadilan juga sulit. Banyak kasus TPPO dampingan SBMI yang berhenti di kepolisian. Salah satunya kasus anak buah kapal (ABK) Cape Town pada tahun 2014.
”Ada kasus yang didampingi SBMI diputus oleh pengadilan, hak restitusi korban tidak dipenuhi. Kepolisian dalam bulan Juni-Juli 2023 menangkap 511 tersangka TPPO yang beberapa di antaranya menempatkan awak kapal perikanan migran secara tidak prosedural,” kata Koordinator Departemen Advokasi SBMI Juwarih.
Hariyanto, Ketua Umum SBMI, mengatakan, ada lima tantangan pemberantasan TPPO, yakni sejumlah pelaku yang merupakan saudara dekat korban, proses hukum yang panjang dan berbelit-belit, ancaman kepada keluarga korban jika membawa kasus ke proses hukum, perspektif penyidik yang belum berpihak pada korban, serta korban yang menghilang.
”Yang harus digarisbawahi adalah penyidik tidak punya perspektif korban dan cenderung mengintimidasi korban. Faktor inilah yang membuat harapan korban untuk berjuang pupus,” tegas Hariyanto.
Jangan tunggu viral
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengungkapkan, penanganan korban perdagangan orang masih stagnan. Bahkan, untuk mendapat perhatian publik dan pemerintah, kasus TPPO harus viral dulu di media sosial.
Setelah ASEAN Summit ke-42 di Labuan Bajo Mei lalu, upaya penegakan hukum Polri meningkat. Hal ini merespons perintah Presiden Jokowi untuk merevitalisasi Gugus Tugas Anti-Perdagangan Orang agar lebih efektif memerangi perdagangan orang.
Penegakan hukumnya masih lemah dan akses korban terhadap keadilan juga sulit.
”Harus ada langkah-langkah luar biasa untuk memerangi tindak pidana perdagangan orang. Hal yang harus dilakukan adalah menegakkan integritas aparat hukum dan peradilan. Kepolisian harus membersihkan jajarannya dari dugaan keterlibatan melindungi pelaku dan memfasilitasi praktik perdagangan orang,” tutur Wahyu.
Peradilan juga harus benar-benar berorientasi pada penegakan hukum yang berkeadilan, penghukuman pada pelaku, dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan penyintas.
Selain itu, harus ada langkah konkret mengakhiri praktik mafia peradilan yang menghasilkan impunitas bagi pelaku perdagangan orang. Korban dan penyintas harus mendapatkan akses, skema ganti rugi (restitusi yang memadai), serta perlindungan dari ancaman pelaku.