Masyarakat adat mendambakan status hutan adat untuk melindungi kawasan hutan mereka. Hal ini sekaligus demi mencegah kerusakan akibat pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
TEMINABUAN, KOMPAS — Masyarakat adat di Distrik Konda, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, berharap kawasan hutan di lokasi mereka ditetapkan menjadi hutan adat. Pemetaan hutan partisipatif menjadi inisiatif warga dalam melindungi hutan dari ancaman kerusakan.
Pemetaan partisipatif melibatkan masyarakat dua suku besar di distrik itu, yaitu Tehit dan Yaben. Pemetaan yang difasilitasi oleh Konservasi Indonesia—yayasan yang berfokus pada pelestarian lingkungan—tersebut dilakukan di lima kampung atau desa.
Inisiatif ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sorong Selatan dengan membentuk panitia masyarakat hukum adat. Panitia ini juga melibatkan tokoh-tokoh adat.
Wakil Bupati Sorong Selatan Alfons Sesa mengatakan, pembentukan panitia itu untuk menghasilkan pemetaan kawasan adat dengan mencantumkan batas-batas hak ulayat. ”Kami mengapresiasi karena ini inisiatif masyarakat adat untuk melindungi hutan,” ujarnya saat melantik panitia tersebut di Teminabuan, Sorong Selatan, Jumat (28/7/2023).
Alfons menuturkan, tanah di kabupaten tersebut merupakan tanah adat. Jadi, investasi yang memerlukan penggunaan lahan akan bersinggungan dengan kawasan adat.
”Upaya ini tidak hanya memastikan siapa (suku) pemiliknya (lahan), tetapi juga untuk melindungi hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Saat ini belum ada hutan adat di Papua Barat Daya. Jika penetapan hutan adat di Distrik Konda terwujud, hal itu diharapkan menjadi contoh bagi pengelolaan kawasan adat di distrik-distrik lainnya.
”Saya akan lapor ke Bupati untuk memberikan dukungan. Kami pasti dukung inisiatif masyarakat,” ucapnya.
Tanah di kabupaten tersebut merupakan tanah adat. Jadi, investasi yang memerlukan penggunaan lahan akan bersinggungan dengan kawasan adat.
Sahul Papua Local Partner Engagement Coordinator Konservasi Indonesia Charles Tawaru menyebutkan, sebelum dilakukan pemetaan partisipatif, pihaknya terlebih dahulu menjelaskan skema-skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat adat di Distrik Konda. Masyarakat suku besar Tehit meliputi subsuku Gemna, Afsya, dan Nakna. Sementara suku besar Yaben terdiri dari subsuku Simora, Demen, dan Onipia.
”Setelah penjelasan itu muncul dua pilihan, hutan desa dan hutan adat. Kemudian masyarakat menginginkan hutan adat,” katanya.
Menurut Charles, pemetaan partisipatif merupakan langkah inisiatif masyarakat adat untuk melindungi hutan. Sebab, bagi mereka, hutan merupakan sumber penghidupan yang menyediakan bahan makanan, seperti sagu serta hewan buruan, di antaranya babi dan rusa.
”Dengan munculnya inisiatif warga, kami memfasilitasi supaya mendapat pengakuan dari pemerintah. Hal ini sangat penting demi mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan,” ujarnya.
Charles berharap usulan status hutan adat di Distrik Konda dapat diajukan pada Oktober-November 2023. Beberapa bulan lalu, perwakilan warga adat telah menghasilkan deklarasi komitmen pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Pendekatan identitas
Pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat dilakukan dengan pendekatan tempat penting. Salah satunya adalah tempat penting sebagai jati diri atau identitas budaya, seperti kampung awal, tempat keramat, dan makam leluhur.
Selain itu, tempat penting sebagai sumber penghidupan, misalnya dusun sagu, hutan berburu, dan tempat mencari ikan di sungai. Proses pemetaan melibatkan seluruh komponen masyarakat di Distrik Konda. Secara total, kegiatan ini diikuti 372 orang (240 laki-laki dan 132 Perempuan) dari usia remaja hingga lanjutdari lima kampung di Distrik Konda.
Pemetaan partisipatif ini diharapkan memberikan penguatan kepada masyarakat di setiap kelompok usia untuk menyadari pentingnya menjaga alam dengan nilai-nilai adat. Hal ini akan berpengaruh terhadap komitmen mereka dalam menjalankan program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ke depannya.
Kepala Kampung Bariat yang juga perwakilan dari subsuku Afsya, Adrianus Kemeray, menuturkan, hutan merupakan sumber penghidupan utama bagi warga suku tersebut. Selain sagu, mereka juga menjual kayu merbabu, getah damar, dan buah-buahan dari hutan, seperti durian, langsat, dan cempedak.
”Jadi, kami ingin tanah adat ini dilindungi oleh regulasi. Oleh karena itu, status hutan adat sangat penting untuk menjaga hutan kami agar tidak rusak karena pemanfaatan yang tidak baik,” ujarnya.