Pemetaan hutan dengan melibatkan masyarakat adat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, diharapkan mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
TEMINABUAN, KOMPAS — Masyarakat adat berperan penting dalam mengelola sumber daya alam berkelanjutan. Oleh karena itu, mereka perlu dilibatkan dalam memetakan kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan secara turun-temurun.
Dalam dua tahun terakhir, masyarakat dua suku besar di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, yaitu Tehit dan Yaben, melakukan pemetaan hutan secara partisipatif. Pemetaan yang difasilitasi oleh Konservasi Indonesia—yayasan berfokus pada pelestarian lingkungan—itu dilakukan di lima kampung atau desa.
Tokoh masyarakat Suku Yaben, Yohanis Mabruaru, mengatakan, pemetaan partisipatif tidak hanya membantu warga mengetahui batas-batas dan lokasi penting di wilayah adat. Langkah ini juga penting untuk mendorong generasi muda tetap menjaga kelestarian hutan di masa depan.
”Kami mendukung pemetaan hutan dengan melibatkan masyarakat adat supaya tidak diganggu di kemudian hari. Bagi kami orang Papua, menjaga alam berarti menyelamatkan kehidupan,” ujarnya saat ditemui di pesisir Distrik Konda, Kamis (27/7/2023).
Pemetaan partisipatif oleh suku itu dilakukan pada Maret-Juni 2023. Mereka mengumpulkan informasi dari sejumlah warga mengenai kawasan adat, di antaranya kampung tua (awal), makam, dusun sagu, dan hutan yang ditumbuhi buah-buahan.
Tidak ada patok khusus sebagai penanda batas wilayah adat. Masyarakat menggunakan batas alam, seperti sungai, jurang, dan pohon tertentu.
Yohanis juga tidak mengetahui secara pasti luas hutan yang telah dipetakan. Namun, keterlibatan masyarakat dalam pemetaan itu diharapkan dapat meminimalkan konflik di masa mendatang.
Sebab, warga menyaksikan langsung batas-batas wilayah adat, baik secara suku maupun marga. Pemetaan itu bukan untuk menetapkan kepemilikan lahan secara pribadi, melainkan pemanfaatan secara bersama berdasarkan aturan adat masing-masing.
Di kawasan adat Suku Yaben juga terdapat hutan mangrove dan kawasan laut. Sebagian warganya menjadi nelayan ikan dan udang.
”Kami harus jaga mangrove supaya bisa terus tangkap ikan dan udang. Ada banyak rusa di sana yang biasa diburu untuk dimakan atau dijual,” ujarnya.
Yohanis berharap, pemetaan itu mendapatkan dukungan regulasi dari pemerintah. Menurut dia, penetapan kawasan adat oleh pemerintah akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan.
”Kalau perusahaan sawit masuk, hutan ini pasti akan habis. Lalu, anak cucu kami mau makan apa? Jika hutan hancur, masyarakat pasti menderita,” ucapnya.
Kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua bergantung pada hutan dan laut. Pemetaan hutan secara partisipatif bertujuan untuk mengajak warga mengelola hutan secara berkelanjutan agar tetap lestari.
Di Kampung Bariat, Distrik Konda, pemetaan hutan secara partisipatif oleh Suku Tehit diikuti oleh ratusan warga pada Oktober-Desember 2022. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan batas alam dan jejak-jejak permukiman leluhur mereka.
Hutan menjadi sumber penghidupan utama bagi warga suku Tehit. Selain sagu, mereka juga menjual kayu merbabu, getah damar, dan buah-buahan dari hutan seperti durian, langsat, dan cempedak.
”Hutan punya makna penting buat kami. Hasil dari hutan sudah cukup menghidupi keluarga kami. Jadi, jangan sampai dirusak hanya untuk kesenangan sesaat,” ujar Kepala Kampung Bariat, Adrianus Kemeray.
Investasi perkebunan menjadi salah satu ancaman kelestarian wilayah adat di Sorong Selatan. Oleh sebab itu, banyak warga adat menolaknya karena menganggap investasi itu hanya memberikan keuntungan jangka pendek bagi warga.
”Sementara dusun sagu dan hutan memberikan manfaat jangka panjang. Selama dipertahankan, kami yakin tidak akan kekurangan makanan,” ujarnya.
Tantangan pengelolaan
Pengelolaan hutan di Sorong Selatan juga menemui sejumlah tantangan. Menurut Adrianus, jika hasil pemetaan itu disetujui pemerintah daerah untuk ditetapkan dikelola oleh masyarakat adat, warga tetap memerlukan pendampingan dalam pemanfaatannya.
”Apa hutan ini hanya dijaga saja? Menurut kami, perlu ada tempat yang bisa dikelola sehingga memberikan manfaat bagi warga,” katanya.
Adrianus mengatakan, salah satu pemanfaatan itu dapat berupa hutan wisata. Pihaknya berharap pendampingan dari pihak ketiga untuk membantu warga mengelola hutan tanpa merusak ekosistem di sekitarnya.
Tantangan pengelolaan wilayah adat lainnya adalah maraknya galian pasir di Distrik Konda. Pengamatan Kompas, terdapat puluhan lokasi galian di lokasi tersebut. Bekas galian itu meninggalkan lubang-lubang menganga.
Raja Ampat Program Manager Konservasi Indonesia Kristian Thebu menyebutkan, kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua bergantung pada hutan dan laut. Pemetaan hutan secara partisipatif bertujuan untuk mengajak warga mengelola hutan secara berkelanjutan agar tetap lestari.
”Harus punya komitmen kuat untuk menjaga hutan. Generasi sekarang jangan meninggalkan air mata, tetapi wariskanlah mata air. Caranya, melindungi hutan agar terus memberikan manfaat untuk generasi berikutnya,” katanya.