Mengenal Teknologi Pendukung Penyelamatan Korban Reruntuhan
Pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan merupakan proyek korupsi yang tengah diusut. Alat seperti ”life locator” sangat membantu dalam mencari dan menyelamatkan korban reruntuhan akibat gempa bumi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Dugaan korupsi yang tengah terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas mencakup proyek pengadaan tiga teknologi untuk mendukung kegiatan pencarian dan penyelamatan. Tiga teknologi tersebut yakni alat pendeteksi korban reruntuhan, kendaraan operasi jarak jauh (remotely operated vehicle/ROV), dan peralatan keselamatan menyelam.
Salah satu teknologi yang paling disorot dalam dugaan korupsi tersebut ialah alat pendeteksi korban reruntuhan. Menurut aturan terkait standardisasi sarana SAR, alat pendeteksi korban reruntuhan ini meliputi pendeteksi lokasi (locator), pendeteksi suara (sound detector),teleskopik,breaching system, dan kamera pencitraan termal (termografis)
Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi, yang saat ini tengah terjaring kasus korupsi, pernah menyebut bahwa Basarnas memiliki berbagai peralatan canggih yang mendukung kegiatan penyelamatan korban gempa bumi. Sistem kerja peralatan tersebut mampu mendeteksi detak jantung manusia yang tertimbun reruntuhan bangunan.
Bahkan, menurut Henri, alat dari Basarnas juga digunakan oleh pasukan khusus di bidang terorisme berkat berbagai fitur dan kecanggihannya. Sebab, alat ini tidak hanya bisa mengidentifikasi keberadaan orang di reruntuhan, tetapi juga saat di dalam gedung.
Basarnas memiliki alat pendeteksi kehidupan (life detector) dari reruntuhan, yakni Xaver 100 dan Xaver 400.Alat ini beberapa kali digunakan Basarnas untuk pencarian korban reruntuhan gempa bumi seperti di Cianjur, Jawa Barat, tahun lalu.
Merujuk situs resmi Camero Tech, yang merupakan perusahaan teknologi pencitraan berbasis radar, produk Xaver 100 dikembangkan dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik untuk operasi taktis. Dengan kata lain, teknologi ini sebenarnya ditujukan untuk operasi militer, seperti serangan taktis serta pencarian dan penyelamatan sandera.
Xaver 100 memiliki fitur yang ringkas yang dapat dibawa oleh pasukan atau personel untuk memberikan informasi kewaspadaan situasional yang cepat dan penting. Desain dan bentukini dioptimalkan seperti alat komunikasi untuk memberikan genggaman yang nyaman.
Basarnas memiliki alat pendeteksi kehidupan (life detector) dari reruntuhan, yakniXaver 100 dan Xaver400.Alat ini beberapa kali digunakan Basarnas untuk pencarian korban reruntuhan gempa bumi seperti di Cianjur, Jawa Barat, tahun lalu.
Selain itu, alat ini juga memiliki fitur untuk mendeteksi orang yang bergerak di balik dinding bangunan. Informasi pencitraantersaji dalam format satu dimensi untuk memberikan informasi intuitif tentang jarak target. Pengoperasiannya pun cukup sederhana sehingga tidak memerlukan pelatihan lanjutan bagi para penggunanya.
Sementara Xaver 400 merupakan teknologi lanjutan yang lebih canggih dibandingkan Xaver 100. Bentuk Xaver 400 tidak lagi seperti alat komunikasi genggam, tetapi seperti alat pengatur pesawat nirawak (drone). Meski berbeda secara bentuk, cara kerja kedua alat ini hampir serupa dengan mendeteksi pergerakan dengan menempelkan ke dinding.
Teknologi Xaver 400 dibekali sensor ultra-wideband (UWB) berdaya mikro yang beroperasi pada bandwidth sangat tinggi. Adanya sensor tersebut memungkinkan alat ini dapat mendeteksi berbagai obyek. Penambahan sistem algoritma dalam alat ini juga akan menghasilkan gambar yang intuitif dan berkualitas tinggi.
Perbedaan paling signifikan dari Xaver 400 dibandingkan produk sebelumnya ialah mampu memberikan informasi tentang dimensi ruangan dan elemen infrastruktur utama yang ditampilkan langsung ke dalam monitor berbentuk grafik tiga dimensi. Kemudian terdapat pula pemancar video nirkabel internal untuk tampilan jarak jauh.
Cara penggunaan
Meski peruntukan utama sebagai pendukung operasi taktis, alat life detector seperti Xaver 100 dan 400 juga tetap dapat digunakan dalam mencari sekaligus menyelamatkan korban reruntuhan. Hal ini karena korban reruntuhan kerap memberikan getaran atau tanda-tanda pergerakan sehingga bisa dideteksi oleh alat ini.
Namun, penggunaan life detector untuk kegiatan ini masih memiliki kekurangan karena hanya bisa mencari korban dalam keadaan hidup. Pencarian korban yang terjebak di reruntuhan dalam keadaan sudah meninggal akan sulit dilakukan karena tidak ada getaran atau pergerakan apapun yang bisa dideteksi dengan alat ini.
Sebelum menggunakan alat life detector, petugas SAR terlebih dahulu mengerahkan anjing pencari (SAR dog) untuk mencium dan mendeteksi keberadaan korban. Setelah terdeteksi anjing, petugas kemudian menempelkan alat life detector ke setiap titik area tersebut.
Sebelum pemasangan alat, tim pencari juga akan mensterilkan area dalam radius tertentu seperti 15 meter atau 30 meter. Ini bertujuan agar alat itu bisa lebih optimal mendeteksi korban dan terbebas dari getaran pengganggu yang dihasilkan orang-orang di sekelilingnya.
Dari artikel yang dimuat di Kompas pada 2016, life detector bisa mendeteksi hingga 15 meter di bawah alat. Perangkat sensor ditempatkan di titik yang ditentukan lalu perangkat monitor sebesar ponsel akan menampilkan tanda jika di suatu titik terdeteksi adanya denyut nadi. Dengan cara itu, tim bisa memetakan berapa banyak korban yang kemungkinan ada di bawah reruntuhan dan di kedalaman berapa meter.
Tim lalu mengebor puing-puing untuk menurunkan kamera pencari guna memastikan posisi korban dan kondisinya untuk penentuan cara evakuasi. Setelah itu, tim mengebor membentuk segitiga sebagai jalan masuk petugas SAR. Tim tidak akan membuat lubang jalan masuk persis di atas korban. Teknik-teknik untuk evakuasi sesuai prosedur penanganan.
Penggunaan life detector untuk mendeteksi korban reruntuhan ini juga kerap didukung dengan kamera termografis. Jenis kamera ini merupakan sebuah perangkat yang membentuk suatu gambar dengan menggunakan radiasi inframerah. Kamera ini dapat mendeteksi manusia pada area yang panas, gelap, dan terhalang oleh bangunan.
Kepala Subbagian Hubungan Pers, Media, dan Publikasi BasarnasM Yusuf Latifmenyebut bahwa teknologi untuk pencarian korban sudah digunakan sejak tsunami Aceh 2004. Namun, saat itu teknologi yang digunakanbelum selengkap saat ini (Kompas, 13/12/2016).