Diskriminasi terhadap perempuan terus terjadi. Padahal, sudah hampir empat dekade Indonesia meratifikasi konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Hampir empat dekade Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Tahun ini, tepatnya 24 Juli 2023, memasuki 39 tahun Indonesia meratifikasi konvensi tersebut.
Sebagai negara atau pihak yang telah mengesahkan CEDAW, Indonesia berkewajiban mengambil sejumlah langkah untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hingga kini, Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk regulasi untuk mendukung implementasi Konvensi CEDAW.
Salah satu pencapaian Indonesia terkait upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sebelumnya, tahun 2019 lalu, Indonesia juga melahirkan undang-undang yang melindungi perempuan, antara lain Perubahan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan sama, yakni 19 tahun. Pada 2004, juga diterbitkan UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Kendati sudah banyak terobosan dari sisi regulasi, berbagai hambatan masih dihadapi Indonesia dalam menerapkan Konvensi CEDAW. Kenyataannya, diskriminasi masih dialami perempuan Indonesia di berbagai bidang, dan lingkaran kekerasan perempuan tak kunjung putus.
Hampir setiap hari kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat maupun di ranah publik. Bahkan, kekerasan seksual tidak mengenal tempat dan waktu. Begitu juga dengan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, yang dulunya tersembunyi di balik rumah, kini semakin terbuka. Baru-baru ini seorang suami melakukan penganiayaan terhadap istrinya secara terbuka, disaksikan para tetangga.
Perempuan berhadapan dengan hukum
Di sisi lain, tantangan juga dihadapi perempuan penyintas kekerasan saat mencari keadilan atas kejahatan yang menimpanya. ”Diskriminasi masih dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum. Hingga kini masih banyaknya perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang diskriminatif terhadap perempuan berhadapan dengan hukum,” ujar Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, mengungkapkan, Rabu (26/7/2023)/
Selain itu masih terjadi pengabaian aspek relasi sosial dan jender yang timpang pada perempuan korban kekerasan. Misalnya, kasus SK, PRT yang disiksa oleh majikannya yang putusan pengadilan terhadap pelaku dinilai jauh dari rasa keadilan, atau pengadilan terhadap anak AG, anak berkonflik dengan hukum dalam perkara penganiayaan berat terhadap Cristalino David Ozora, yang menunjukkan implementasi CEDAW yang masih lemah dalam proses peradilan.
”Akibatnya, tidak sedikit kasus perempuan berhadapan dengan hukum yang mulai dari proses hingga putusan tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban,” kata Khotimun.
Karena itu, Pemerintah Indonesia diharapkan segera mempercepat upaya penguatan implementasi CEDAW, yang salah satunya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan berhadapan dengan hukum.
Diskriminasi masih dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum. Hingga kini masih banyaknya perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang diskriminatif terhadap perempuan berhadapan dengan hukum.
Di bidang politik, Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sejauh ini, Indonesia belum memenuhi amanat CEDAW terkait penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik.
Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan, sebagai negara-pihak yang telah mengesahkan CEDAW, Indonesia berkewajiban mengambil tindakan-tindakan yang memastikan penyusunan dan pemberlakuan secara efektif peraturan perundang-undangan yang melarang diskriminasi terhadap perempuan.
”Pasal 7 Konvensi CEDAW menyatakan negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya,” ujar Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan, dalam menyambut Peringatan 39 Tahun Ratifikasi CEDAW di Indonesia.
Sebagai contoh, soal kebijakan afirmasi 30 persen kuota keterwakilan perempuan haruslah diwujudkan sebagai komitmen negara demi mencapai kesetaraan substantif perempuan di bidang politik. Tindakan afirmasi 30 persen kuota keterwakilan perempuan merupakan tonggak penting bagi kehidupan berdemokrasi yang sehat dan substantif .
Pemerintah terus berkomitmen
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam berbagai kesempatan, mengungkapkan, Indonesia terus berkomitmen mengimplementasikan pasal-pasal yang tertuang di dalam CEDAW. Hal tersebut merupakan upaya perwujudan kesetaraan jender, pemberdayaan perempuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak perempuan dan anak perempuan, termasuk di masa pandemi Covid-19.
Dari sisi regulasi, salah satu pencapaian yang diperoleh Pemerintah Indonesia terkait upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yakni terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Perkembangan termasuk tantangan Indonesia dalam mengimplementasikan Konvensi CEDAW juga disampaikan Menteri PPPA saat berdialog dengan Komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada 28-29 Oktober 2021.
Berbagai terobosan dan kemajuan pun dilakukan untuk memastikan prinsip utama CEDAW, yaitu kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki, memastikan perempuan tidak mengalami diskriminasi, dan kewajiban negara dapat diimplementasikan di Indonesia.
”Kita harus optimistis, sudah banyak kemajuan yang kita raih. Sudah banyak hal yang menjadi harapan, tujuan, target-target dari CEDAW bisa dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia melalui program-program yang disusun,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, dalam ‘Webinar 39 Tahun Ratifikasi CEDAW di Indonesia: Sejarah dan Mandat Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan untuk Tatanan Hidup yang Adil’ secara daring, Senin (24/7/2023).
Sejauh ini sejumlah tantangan masih menghadang implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia. Sejumlah perempuan dan anak berada dalam ruang ketakutan akibat kekerasan yang mereka alami secara berulang di dalam siklus kekerasan di rumah, di tempat kerja, maupun di ruang publik. Maka, melindungi perempuan dari kekerasan dan menghapus berbagai praktik diskriminasi pada perempuan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.