Dalam Kubangan Kemiskinan, Berjuang Menggapai Mimpi dari Mentawai
Kemiskinan masih mendera masyarakat adat Kepulauan Mentawai meski memiliki sumber daya alam melimpah. Untuk meraih pendidikan lebih tinggi, anak-anak Mentawai harus berjuang keras.
Amos (ketiga dari kanan), siswa kelas II Jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan SMKN 2 Kepulauan Mentawai, mendampingi adiknya dari kampung, Deni Suryani (17); adik sepupunya, Ilarius Alex (17) dan Susanna (17); serta kakak beradik Theresia Cici Setiawati (17) dan Gilbert Tomingse (15) untuk mendaftar di SMK tersebut. Mereka adalah anak-anak dari Dusun Policoman dan Muara Sigep, Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Barat, sebelah timur dari Siberut Selatan.
Sinar matahari sangat menyengat, Sabtu (7/7/2023) siang. Suasana di kompleks Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Kepulauan Mentawai terlihat sepi. Namun, dari bawah bukit-yang dikenal dengan nama Bukit Sakkelo, di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, muncul enam remaja perempuan dan laki-laki.
Dengan mengenakan kaus oblong, mereka bergegas menuju gedung kecil di kompleks sekolah yang berdiri di atas bukit tersebut. Di gedung yang agak terpisah dari ruang-ruang kelas di SMK tersebut, lima remaja yang didampingi Amos Saputra Pikkok (19) menemui beberapa guru dan pegawai yang melayani pendaftaran ulang calon siswa tahun ajaran 2023/2024.
Amos merupakan siswa kelas II Jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan SMKN 2 Kepulauan Mentawai. Siang itu Amos mendampingi adiknya, Deni Suryani (17), dan adik-adik sepupunya Ilarius Alex (17), Susanna (17), serta kakak beradik Theresia Cici Setiawati (17) dan Gilbert Tomingse (15).
Mereka adalah anak-anak dari Dusun Policoman dan Muara Sigep, Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Barat, sebelah timur dari Siberut Selatan. Mereka sudah tiba beberapa hari sebelumnya diantar orangtua masing-masing ke Siberut Selatan. Mereka datang ke Siberut Selatan dengan menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Pokai menuju Pelabuhan Maileppet.
Seperti Amos, Hilarius dan Gilbert memilih jurusan nautika kapal penangkap ikan. Sementara Deni, Susanna, dan Theresia memilih jurusan perhotelan. Harapannya jika lulus nanti bisa langsung bekerja dan membantu orangtua. ”Saya ingin selesai sekolah bisa kerja, biar bisa bantu orangtua, karena adikku masih kecil,” ujar Susanna yang menangis jika ditanyai soal orangtuanya.
Amos dan adik-adiknya memilih sekolah di SMKN 2 Kepulauan Mentawai, yang berlokasi di Kecamatan Siberut Selatan, karena sekolah tersebut satu-satunya SMK yang ada di Pulau Siberut. Hanya ada tiga SMK di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dua SMK lainnya ada di pulau lain yang lebih jauh dari dusunnya, yakni Pulau Sipora (SMKN1) dan Pulau Pagai Utara (SMKN3).
Saya ingin selesai sekolah bisa kerja, biar bisa bantu orangtua, karena adikku masih kecil.
Kendati lokasi SMK masih satu pulau dengan dusunnya, untuk sampai ke sekolah mereka harus melalui perjalanan yang panjang, bahkan kadang membahayakan jika cuaca ekstrem. Mereka harus naik perahu motor dari desanya menuju Pelabuhan Pokai sekitar dua jam jika cuaca bagus.
Karena tidak ada pilihan sarana transportasi lain, mereka harus memilih perahu motor (sampan yang dipasang motor dengan kapasitas 5-6 penumpang jika tidak banyak muatan) dan mengeluarkan dana sampai Rp 1 juta untuk mencarter perahu. Jika ada pedagang yang datang ke desanya, biasanya warga setempat bisa ikut menumpang saat kembali ke Pokai dan cukup membayar Rp 100.000 per orang.
Ketika tiba di Pelabuhan Pokai, mereka harus menunggu kapal cepat dari Padang yang akan membawa mereka ke Pelabuhan Maileppet, Siberut Selatan. Biaya tiketnya sekitar Rp 125.000 per orang. Setiba di Maileppet, mereka masih harus mengeluarkan ongkos ojek sepeda motor untuk menuju tempat kos.
Seperti nasib anak-anak masyarakat adat lainnya yang tinggal di daerah terpencil, untuk saat ini mereka belum sampai pada bermimpi. Jangankan bermimpi, untuk merangkai mimpi-mimpi masa depan membutuhkan keberanian besar dari anak-anak. Ketika sadar kondisi ekonomi keluarga, mereka harus meredam mimpinya.
Bisa sekolah hingga tingkat menengah atas, apalagi perguruan tinggi, merupakan sebuah kemewahan bagi anak-anak di Kepulauan Mentawai. Meski memiliki semangat untuk bersekolah, tidak semua anak di pedalaman bisa sampai pada tingkat pendidikan tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai, jumlah sekolah menengah atas hingga tahun 2022 hanya ada 13 SMA negeri dan dua SMA swasta. Itu pun hanya ada di tingkat kecamatan. Adapun SMK hanya ada tiga sekolah.
Bagi anak-anak di pedalaman Mentawai, bukan hal mudah mengakses lokasi SMA. Untuk bisa bersekolah di SMA, anak-anak dari dusun-dusun terpencil harus kos atau tinggal di rumah keluarga (jika ada). Itu bukanlah hal yang mudah bagi mereka di saat kondisi keuangan tak mendukung dan fasilitas pendukung dari negara (pemerintah) tak ada.
Kenyataannya, meski sudah diterima di SMA/SMK, belum ada jaminan anak-anak tersebut bisa menuntaskan pendidikannya. Sejumlah siswa putus sekolah atau drop out karena orangtuanya tidak mampu lagi membiayainya atau karena beberapa faktor lainnya. Namun, yang paling banyak karena alasan ekonomi.
Untuk bekal hidup di perantauan, mereka biasanya mendapat kiriman hasil bumi atau hasil panen dari orangtua di kampung. Hidup mereka bergantung pada kiriman orangtua. Maka, ketika cuaca buruk, pasokan bahan makanan dari kampung terganggu. Bertahan tanpa makanan dengan cara masing-masing, itulah yang dilakukan anak-anak pedalaman Mentawai di tempat kos.
Pada situasi tersebut, ketika lapar mereka tidak mungkin menghubungi orangtua. Kontak telepon tidak mungkin karena kendala sinyal. Mereka hanya bisa menunggu telepon dari orangtua. Sebab, meski di tempat sekolah ada sinyal telepon, belum tentu di kampung mereka telepon orangtuanya mendapat sinyal.
”Kalau pas lapar, enggak ada beras dan lain-lain, paling-paling pinjam ke teman. Kalau teman enggak ada, terpaksa cari pekerjaan. Saya pernah enggak makan satu hari, hanya bisa minum air banyak dan melamun sendiri. Untung bapak kos bisa mencarikan pekerjaan,” ujar Amos. Biasanya ia mencari uang dengan bekerja sebagai pengikat rotan. Jika bertiga dengan teman laki-laki, sehari mereka bisa mengikat 1.000 batang rotan dibayar Rp 50.000.
Saya pernah enggak makan satu hari, hanya bisa minum air putih banyak dan melamun sendiri.
Mayoritas murid di SMKN 2 adalah perantau dari berbagai dusun di Pulau Siberut. Jumlah yang datang tiap tahun naik turun. Pada Tahun ajaran baru 2023/2024, jumlah murid yang diterima lumayan banyak, yakni 80 murid. Tahun sebelumnya, 2022/2023, hanya ada 47 murid. Tahun ini, jumlah murid perempuan 42 orang, sedangkan laki-laki hanya 38 orang.
Karena itu, para guru di SMKN 2 sudah hafal betul kondisi kesehatan para muridnya. Sebagian besar datang ke sekolah tidak sarapan. Bahkan, ada yang sampai jatuh saki, karena beberapa hari tidak makan, tetapi tetap masuk sekolah.
Desi Yuliani, guru sejarah di SMKN 2, menuturkan, murid-muridnya sering tahan lapar, bahkan dia pernah mendapati muridnya sudah tiga hari tidak makan. Pisang dan talas kiriman orangtuanya benar-benar habis. ”Saya pernah membawa murid perempuan yang kehabisan biaya, tinggal bersama ibu saya sampai lulus SMK,” ujar Desi.
”Kalau anak-anak sakit, kami sebagai guru yang bawa ke rumah sakit. Bahkan, untuk makannya kita juga yang mengurus,” ujar Willy Alfansa, guru bidang studi tata boga, yang kerap menerima telepon orangtua murid yang meminta tolong anaknya diurus makanannya karena orangtua terkendala mengirim bahan makanan dan uang.
Baca juga: Bertaruh Nyawa di Atas Sampan demi Sekolah
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai Oreste Sakeru mengungkapkan, problem yang dialami murid SMA hampir sama dengan SMP karena mereka sama-sama meninggalkan kampungnya.
Karena itu, Pemkab Mentawai dalam beberapa tahun terakhir ini membuat program membangun asrama bagi murid-murid SMP dan SMA dari desa terpencil. ”Membangun asrama Ini merupakan salah satu solusi dan mendesak dilakukan. Seharusnya tahun ini sudah ada asrama-asrama disertai pengawasnya,” kata Oreste.
Pemkab Mentawai juga bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa untuk menerima anak-anak lulusan SMA/SMK Mentawai.
Lulusan dari perguruan tinggi tersebut sebagian besar kembali ke Mentawai dan bekerja sebagai pegawai negeri di bidang kesehatan dan pendidikan. Namun, ada juga yang diterima sebagai dosen di perguruan tinggi tempatnya kuliah.
Oreske menyatakan, biaya menjadi kendala orangtua menyekolahkan anaknya. Dia mengakui, meskipun memiliki hasil bumi karena angkutan yang terbatas, orangtua tidak bisa menjual hasil bumi. ”Minat orangtua menyekolahkan anak sudah tinggi. Hanya saja mereka terhambat dengan persoalan ekonomi,” ujar Oreske.
Perjuangan baru dimulai
Tarida Hernawati, Manajer Program Sub-Mitra Program Estungkara (Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi) di Mentawai, mengungkapkan, perjuangan baru dimulai ketika anak-anak Mentawai diterima di sekolah.
”Meskipun hasil bumi berlimpah, tetapi bagaimana mereka bisa menjualnya. Kalaupun dibeli, harganya sangat rendah. Jadi, bagaimana mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan berlapis jika fasilitas pendidikan sulit terjangkau,” kata Tarida.
Kemiskinan berlapis dialami masyarakat adat Mentawai karena program pembangunan di Kepulauan Mentawai tidak komprehensif, terutama terkait pendidikan. Masyarakat dipaksa mendekat dan menjangkau fasilitas yang dibangun pemerintah, bukan fasilitas yang dibangun dengan masyarakat.
Padahal, seharusnya, kata Tarida, kebijakan di Kepulauan Mentawai berbeda dengan kebijakan untuk wilayah daratan lain di Sumatera Barat. Sebab, wilayah Kepulauan Mentawai, akses terhadap berbagai fasilitas publik, terutama transportasi, sangat terbatas dan minim.
Sebagai contoh, anak-anak meninggalkan kampungnya dan bersekolah di tempat yang jauh. Seharusnya mereka bisa tetap melanjutkan sekolah jika kiriman orangtua lancar. Bahkan, jika orangtua mereka bisa lancar menjual hasil bumi dengan harga yang sesuai, mereka tidak perlu bersusah payah mengirimkan hasil bumi ke anaknya sebagai bahan makanan.
Baca juga: Jerat ”Stunting” di Pelosok Mentawai
Jadi, orangtuanya cukup mengirim uang saja. Namun, karena hasil bumi tidak terjual, maka orangtuanya mengirimkan kepada anak-anak dalam bentuk hasil bumi, yang bisa terganggu saat cuaca di laut ekstrem. ”Hidup masyarakat adat Mentawai berputar-putar saja, ke sekolah, lalu putus sekolah kemudian balik kampung, mereka kemudian berladang atau menikah di usia dini,” kata Tarida.
Anak-anak sekolah dasar berjalan menyusuri Jalan Trans-Mentawai yang baru dibuka di Dusun Buttui, Desa Madobag, menuju SD 24 Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Jumat (29/7/2022).
Ia mengibaratkan, jika anak-anak di daerah lain sudah bermimpi dan bangkit mewujudkan mimpi-mimpinya, posisi anak-anak Mentawai saat ini justru baru ”akan” atau ”mulai” bermimpi indah untuk masa depannya.
Antropolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang, Maskota Delfi, mengungkapkan, pendidikan adalah jalan keluar untuk membuka cara pandang masyarakat adat Mentawai yang masih sangat kental dengan budaya patriarki.